Sulit untuk percaya jika kalian membacanya sekarang: saat pertama kali diluncurkan pada 2002, Crocs diniatkan sebagai sepatu khusus para pemancing. Fungsinya buat dipakai pas naik kapal. Selama 16 tahun selanjutnya, sepatu buruk rupa ini berubah citra menjadi andalan para juru masak, anak balita, staf rumah sakit, digemari ortu kita, dan kini akhirnya, diakui industri fashion global. Citra konsumen terhadap fungsi sepatu sandal Crocs telah berkembang sampai-sampai, meski bentuknya jelek (memang jelek kok, mau diapain lagi?), sepatu ini akan terus ada. Dengan kata lain, kita sebetulnya terobsesi sama Crocs.
Secara kolektif, faktanya, kita sangat terobsesi dengan sepatu yang saham perusahaannya lebih lukratif ketimbang Bitcoin ini. Reporter New York Times Jack Nicas menyebarkan grafis di Twitter yang menunjukkan perubahan harga bagi Crocs dan mata uang kripto selama setahun belakangan.
Videos by VICE
Angka-angka ini menerangkan meski saham bitcoin meningkat lebih tinggi daripada Crocs selama setahun—dengan lonjakan valuasi hingga 300 persen dalam beberapa hari—Crocs lebih bernilai sebagai investasi jangka panjang. Buktinya, nilai saham Crocs secara konsisten berlipat ganda selama setahun terakhir tanpa turun drastis seperti Bitcoin. “Marilah kita beri tepuk tangan untuk sepatu plastik yang terus bertahan ini!” tulis Jack.
Pada 2016, Crocs secara resmi diakui industri fashion, dengan debut di pagelaran musim semi/ musim panas rancangan Christopher Kane. Sebagai bagian dari kolaborasi resmi tersebut, Kane merancang Crocs jadi bling banget, berhiaskan batu akik gitulah. Rancangan tersebut langsung memicu perdebatan.
Faktanya, sepatu rancangan Kane tersebut sangat kontroversial sampai-sampai perancang ini terpaksa merilis pernyataan pembelaan. “Crocs itu oke. Saya suka Crocs,” ujarnya. “Saya gak peduli apa yang dipikirkan orang-orang. Saya rasa siapapun tidak punya hak untuk menghakimi salah atau benar, kecuali mereka Tuhan. Jadi diam saja lah.
“Saya sudah mengira orang-orang akan bereaksi demikian,” imbuh Kane. “Tapi ini bukan soal mencari kontroversi. Ada orang-orang yang betulan menyukai Crocs dan itu adalah segmen pelanggan berbeda yang ingin saya jangkau. Saya ingin bisa menjangkau semua orang dan tidak jadi orang yang songong.”
Ternyata ada desainer lain yang turut serta melawan snobisme fashion yang sering “mendiskriminasi” Crocs. Dalam koleksi musim gugur/ musim dingin 2016, Balenciaga menampilkan rancangan Demna Gvasalia berupa Crocs berhak tinggi. Terlepas dari (lagi-lagi) pendapat internet dan dunia fashion yang terpecah belah, Crocs sangat tertarik dengan kolaborasi itu. “Bekerja sama dengan Balenciaga adalah pengalaman seru bagi tim kami,” ujar Wakil Presiden Direktur Crocs, Michelle Pool, kala itu. “Ketika Balenciaga mendekati kita, kami tertarik pada kesempatan untuk mendorong batasan rancangan kita dan kemampuan mencetak kita untuk melihat apa yang bisa kita ciptakan bersama-sama.” Hasilnya adalah Crocs versi jelek-tapi-keren dan anti-estetik.
Bukan hanya merek fashion papan atas yang tertarik kolaborasi bareng Crocs. Merujuk laporan eBay baru-baru ini, sepanjang April 2018, ada 25,000 pencarian atas Crocs di website itu, dan 15,000 penjualan sepatu tersebut. Itu setara dengan 20 pasang per jam. Dan itu adalah jumlah Crocs yang banyak.
Jauh dari kesukaan blogger fashion, yang biasanya sulit diakses atau dikenakan, Crocs adalah sepatu orang kebanyakan. Mereka cocok dikenakan, mau itu catwalk ataupun saat kita lagi di ruang tamu menonton televisi. Mereka dicintai semua orang, bahkan saat berita tersebar bahwa perusahaan tersebut menutup pabrik terakhir di Italia, media sosial penuh ucapan belasungkawa. “SELAMATKAN CROCS KAMI,” tulis salah satu penggemar, sementara penggemar lain menulis: “Oh, jadi seperti ini ya rasanya sakit hati.”
Respon warganet begitu masif sampai-sampai Crocs terpaksa merilis pernyataan bahwa mereka tidak bangkrut, hanya merampingkan proses manufaktur. “Jangan panik, #CrocNation. Masa depan kita tetap cerah, terang, dan penuh warna,” tulis pernyataan resmi perusahaan ini saat meyakinkan penggemar dari seluruh dunia.
Kondisi Crocs tak langsung dicintai seperti sekarang lho. Pada awal-awal Crocs rilis, sepatu ini selalu dicerca. Pada 2006, empat tahun setelah perusahaan ini dirilis, artikel Washington Post menyamakan sepatu ini seperti “hama,” serta tegas menjuluki bentuknya “buruk rupa.”
Setahun kemudian, Majalah Maxim menyertakan Crocs dalam urutan 6 daftar 10 hal terburuk yang bisa terjadi pada laki-laki di 2007, sementara pada 2010 Time Magazine menyebut Crocs sebagai salah satu dari “50 penemuan terburuk sepanjang sejarah.” Sebuah laman Facebook berjudul “I don’t care how comfortable Crocs are, you look like a dumbass” mempunyai 1,2 juta penggemar. Nama page itu tegas mengolok-olok siapapun yang nekat pakai Crocs. Lantas, bagaimana pandangan orang-orang bisa berubah sangat drastis sekarang? Bagaimana Crocs berubah dari hal yang awalnya terus dicerca menjadi barang fashion wajib dimiliki?
Sebagiannya berkat dukungan label fashion dan selebriti. Meski dicerca di media sosial, Crocs Christopher Kane, dan Balenciaga telah mengubah persepsi sepatu ini. Dari nyaman-tapi-jelek menjadi mahal-dan-fashionable. Pada tahun-tahun setelah kolaborasi tersebut, Crocs terlihat dikenakan orang-orang kaya dan berkuasa. George W. Bush, Michelle Obama dan Pangeran George terlihat mengenakannya. Dan berkat Pangeran George, pencarian sepatu ini di Amazon meningkat 1500 persen—sehingga disebut “efek Pangeran George.”
Meningkatnya pembelian Crocs boleh jadi juga disebabkan oleh nostalgia. Ini adalah tren dari era 2000an, dan sekarang anti-estetika kembali digemari, setelah tracksuit Juicy Couture kembali ditampilkan pada New York Fashion Week, dan Jeremy Scott menciptakan sepatu lars Ugg.
Selebihnya, saya berargumen bahwa kita sendiri adalah penyebab kecintaan dunia pada Crocs. Ini salah kita. Kita bereaksi begitu keras melawan Crocs pada masa awal hidupnya, sampai-sampai kita mengalami titik balik dan akhirnya mencintainya. Semacam kebalikan dari skenario milkshake duck, kita membenci Crocs terlalu dalam sampai akhirnya kita jadi jatuh cinta.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.