Seberapa Mampu Kita Memperpanjang Batas Usia Manusia?

Artikel ini pertama kali tayang di situs baru VICE seputar kesehatan: Tonic

“Yah, selama apa aku bisa hidup?” pertanyaan itu meluncur dari mulut anak perempuan saya. Umurnya baru enam tahun. Saya baru saja kembali dari pemakaman ayah saya di India. Ayah—seorang lelaki tua yang bugar—meninggal di usia 85 tahun setelah menderita dementia akut yang berlangsung selama 3 tahun.

Videos by VICE

Sepintas, pertanyaan anak perempuan saya tampak sepele. Silakan susuri catatan angka harapan hidup selama satu abad kemarin, anda akan mudah saja mendapatkan jawabannya. Lewat pencarian web sekenanya, angka yang saya cari pun muncul: 78,8 tahun untuk anak yang terlahir pada tahun 2010 (tahun lahir anak saya), lebih tinggi 12 – 15 tahun sejak tahun 1940an

Tapi tentu saja, itu bukan pertanyaan tepatnya pertanyaan buah hati saua. “Berapa lama saya bisa hidup?” adalah pertanyaan yang gampang-gampang susah. Pertanyaan ini memaksa kita menghadapi sebuah misteri yang berbeda—bukan tentang rerata angka harapan hidup tapi justru tentang batas-batas umur manusia. Namun, apakah memang benar-benar ada batas terhadap umur manusia? Ketika Jeanne Louis Calment, wanita asal Arles, Perancis, meninggal pada tanggal 4 Agustus 1997 di usia 122 tahun, dia tercatat sebagai manusia paling tua yang pernah tercatat dalam sejarah (untungnya, Jeanne pernah mengaku ia tak pernah punya tubuh atletik dan melahap 1 kg coklat dalam satu minggu). Pertanyaanya kemudian: apakah anak-anak angkatan putri saya bisa hidup lebih lama dari Jeanne?

Bulan lalu, sebuah makalah yang diterbitkan oleh jurnal ilmiah Nature berusaha menjawab pertanyaannya ini. Di luar dugaan, makalah ini justru panen kontroversi. Penulis makalah tersebut—Xiao Dong, Brandon Milholland dan Jan Vijg, semuanya dari Albert Einstein College in New York—memulai makalahnya dengan membeberkan fakta yang tak banyak diketahui orang: binatang yang jadi objek manipulasi genetik dan hidup dalam lingkungan buatan bisa hidup dua atau tiga kali lebih lama dari kawanannya. Logika di balik pernyataan ini adalah sebagai berikut: karena gen-gen misterius dan faktor lingkungan ikut berperan dalam memperpanjang masa hidup binatang-binatang ini, mungkinkah dua hal yang sama—gabungan gen yang misterius dan lingkungan yang unik—membuat manusia hidup melebihi batas-batas umur normalnya? Jika benar demikian, maka data tentang kenaikan angka harapan hidup yang terus naik sejatinya tak bisa memprediksi selama kita bisa hidup—mirip seperti data rerata masa hidup tikus tak bisa memprediksi selama apa tikus yang gennya sudah dimanipulasi bisa hidup di laboratorium. Pendeknya, usia maksimum manusia bisa melonjak jauh, meski di saat yang sama angka harapan hidup cuma perlahan naik dari tahun ke tahun.

Lalu, bagaimana kita bisa menentukan batas-batas umur manusia? Bagaimana kalau kita menyusuri dari tahun ke tahun dan melihat umur kematian paling tinggi yang dilaporkan tiap tahunnya? Misalnya, umur saat mati yang tercatat pada tahun 1974 adalah 110 tahun, 112 tahun di tahun 1975, 113 tahun di tahun 1975—dan seterusnya. Apa yang terjadi jika terus menarik garis yang menghubungkan titik-titik ini? Apakah umur kematian yang tercatat akan terus naik sampai akhirnya kita menjadi menjadi methuselah? Atau umur kematian justru akan mendatar dan menandakan batas-batas umur manusi sesungguhnya?

Atau malah menurun tajam, menunjukkan bahwa bahwa umur manusia makin lama makin turun? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis makalah yang dimuat oleh Nature menggunakan database International Database on Longevity (IDL) untuk menentukan usia saat mati dan menandai titik-titik dari tiga dekade dari tahun 1970an sampai tahun 2010an. Sesuai dengan perkiraan, grafik yang dihasilkan menunjukkan pergerakan naik. Pada dekade 1970an, misalnya, umur saat mati adalah 110 tahun. Angkanya naik jadi 114 di tahun 1990an. Baru pada pertengahan dekade 1990an, angkanya mencapai 115 tahun.

Dari titik ini lah sesuatu yang aneh terjadi: data diteliti mulai menunjukkan pergerakan yang aneh. Usia saat mati mencapai puncaknya pada tahun 1997, ketika Jeanne Calment meninggal pada usia 122 tahun. Dua tahun kemudian, perempuan asal Pennsylvania AS, Sarah Knauss, berpulang pada usia 119. Setelah itu, usia saat mati terus turun, mencapai 115 tahun pada tahun 1999 dan 2010.

Bagi tim Vijg, data tentang usia saat mati ini menunjukkan kurva berbentuk huruf V. Garis yang menghubungkan titik-titik naik terus dar dekade 1970an sampai 1990an. Puncaknya dicapai ketika Jeanne dan Sarah meninggal. Setelah itu, garis itu patah, melandai dan turun sampai angka 115 atau 116. Implikasinya kentara: kurva V ini menunjukkan bahwa batas usia manusia telah tercapai. “Ada batasan umur manusia, yakni pada usia 115 tahun,” begitu konklusi yang disodorkan oleh tim Vijg dalam sebuah diskusi makalah yang dimuat di Nature. “Yang hidup lebih lama dari 115 tahun seperti Jeanne akan ada, tapi kemungkinannya di tiap tahunnya kurag dari 1 dalam 10.000.” Vijg mengatakan bahwa batasan usia yang muncul sungguh mencengangkan. “Mungkin anda mengharap munculnya orang-orang seperti Jeanne Calments dalam beberapa tahun ke depan, tapi rasanya susah”

Kesimpulan Vijg ditingkahi dengan berbagai respon negatif di berbagai bloh. Bagi beberapa pembaca, sebaran titik-titik usia saat mati ini bisa dibaca dengan cara yang sama sekali berbeda. Ketika Philipp Berens dan Tom Wallis, peneliti dari University of Tübingen, jerman, mengamati data yang digunakan dalam makalah Vijg, mereka bisa menarik garis tulis dalam grafik yang disusun dari data tentang usia saat mati. Alih-alih melandai atau menurun, garis yang mereka hasilkan (dibuat dengan menggunakan software statistik dengan menggunakan dasar asumsi yang berbeda) terus naik. Sudah jelas, kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda: jika garisnya terus naik maka batas usia manusia belum tercapai. Namun, ketika kembali menarik garis ini pada grafik dengan data yang lebih besar—mereka mundur sampai tahun 1990an, mereka menemukan garis yang mereka tarik melandai, seperti yang terjadi pada penelitian Vijg.

Jadi, mana yang benar? Jelas, tak ada jawaban yang memuaskan. Intepretasi data statistik, apalagi jika mencakup data denganc cakupan yang luas, sangat tergantung pada siapa yang melakukannya, atau lebih lagi, pada asumsi matematika yang digunakan. Apakah Jeanne dan Sarah hanyalah manusia yang beruntung, atau mereka mewakili ujung-ujung umur manusia? Jika anda menggunakan salah satu asumsi matematika, batas-batas umur manusia sepertinya sudah melandai (seperti yang ditunjukkan Vijg). Jika anda mengganti asumsinya, data yang sama akan menunjukkan batas-batas umur manusia terus meningkat (seperti hasil intrepetasi Berens dan Wallis). Malah, jika anda menambahkan data di awal atau di akhir kurva, garisnya melandai lagi atau malah menurun. Coba ganti parameternya, garis yang berbeda akan muncul. Begitu seterusnya.

Dus, ketidakpastian statistik ini diakibatkan oleh akar semua ketidakpastian: intervensi manusia. Apa jadinya jika manipulasi yang dilakukan pada hewan lab diaplikasikan pada manusa? Cangkok sel punca (stem cell), organ buatan, pemograman metabolisme dengan mengubah pola makan, lingkungan yang sepenuhnya baru untuk memperlambat penuaan dan pembusukan—semua hal ini akan menantang berbagai usaha, bahkan yang paling mutakhir sekalipun, untuk menciptakan model umur panjang manusia berdasarkan data dari masa lampau. Teknologi uniknya sering memakan dirinya sendiri. Seorang dokter yang berusaha mempertahankan pendapatnya tentang batas terapi anti mikrobial menjelang ditemukannya Penicillin nyata dalam sekejap jadi bulan-bulan sejarah.

Sekarang, coba bayangkan dunia yang diisi manusia yang bisa hidup sampai 160 tahun. Jika peningkatan durasi hidup manusia ini terjadi pada angkatan anak saya, dia bisa hidup sampai tahun 2170. Sebagai perbandingan, seorang yang berumur 160 tahun saat ini dilahirkan pada tahun 1856. Dia pasti telah hidup melalui berbagai macam peristiwa penting seperti pembunuhan Abraham Lincoln, penemuan bohlam, dua perang dunia, naik dan turunnya mbah Harto serta—ini lebih personal—wisuda cicit-cicitnya (ketika Sarah Knauss menjadi manusia paling tua yang masih hidup pada tahun 1998, salah satu anak perempuannya masih hidup. Usianya saat itu sudah 96 tahun.)

Dengan usia sepanjang itu, manusia bisa menjawab berbagai pertanyaan ilmiah yang belum terjawab saat ini. Seperti, organ mana yang lebih dulu rusak dan mana yang bertahan dalam usia setua itu? Apakah organ bisa diganti dan terus diganti jika rusak? Bisakah jaringan tubuh diregenerasi dari sel punca yang menua, atau kita harus mengambil dan menyimpan jaringan tubuh saat kita masih muda? Apakah sistem kekeluargaan akan berubah dalam empat generasi keturunan? Memori macam apa yang bisa tetap nempel saat kita berusia 160 tahun?

Yang penting, setelah kita mengumpulkan data—genome, perilaku, lingkungan dan pola makan—dari wanita dan laki-laki yang beruntung punya umur panjang, bisakah kita menggunakannya untuk memperpanjang rerata umur manusia secara drastis?

Untuk saat ini, daripada terlihat dungu atau bloon, saya menyodorkan jawaban yang manis meski terkesan klise pada putri saya : “tentunya selama yang kamu bisa, Sayang.”