Bisakah Blockchain merevitalisasi sektor pertanian Indonesia yang makin melemah? Sebuah startup teknologi percaya akan kemungkinan ini — selama mereka dapat meyakinkan puluhan juta petani yang tinggal di daerah dengan (atau tanpa) sambungan broadband yang terbatas untuk menyetujui teknologi yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Gampang, kan?
“Yang membatasi kami sekarang adalah masalah skalabilitas,” ujar Imron Zuhri, kepala petugas teknologi di HARA Token, sebuah startup yang berusaha menyambungkan petani padi Indonesia pada Blockchain, di sebuah konferensi Blockchain di Indonesia. Yang pertama kita harus lakukan adalah memasyarakatkan blockchain.”
Videos by VICE
Ketertarikan banyak startup pada teknologi seperti Blockchain bukan tanpa alasan. Sistem buku besar digital ini pertama mencapai tingkat kesadaran massal dengan popularitasnya cyptocurrency seperti Bitcoin. Blockchain merupakan buku besar yang transparan yang memungkinkan sebuah mata uang yang terdesentralisasi. Blockchain pada dasarnya adalah daftar semua transaksi, kepemilikan, dan data terkait yang di- pdate secara terus-menerus oleh sebuah jaringan komputer dan server individual di seluruh dunia. Artinya, sebuah “blok” data dalam sebuah “rantai” (chain) yang panjang dan tidak terputus. Tidak hanya itu, Blockchain juga dapat dimanfaatkan di luar cryptocurrency.
Akhir-akhir ini Blockchain telah dimanfaatkan untuk mengoordinasikan distribusi listrik kepada daerah-daerah di Thailand yang kekurangan listrik, mengurangi kejadian pemalsuan pemilihan di Sierra Leone, dan memimpin seluruh pemerintah di Estonia. Di Indonesia sudah ada pembicaraan untuk meluncurkan sistem Blockchain yang mengizinkan 92 juta anggota Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera untuk ikut serta dalam pemilihan — dengan harapan instansi ini bisa menjadi penelitian percobaan untuk mendukung ekspansi sistem ini pada pemilihan umum nasional.
Dalam sektor pertanian, HARA Token ingin menggunakan informasi kritis seperti kualitas tanah, harga beras, dan kepemilikan tanah dari petani dan agen-agen untuk membantu petani Indonesia meningkatkan panen tahunan. Indonesia memiliki tanah yang subur untuk menanam padi, tapi industri ini penuh dengan berbagai masalah seperti penggunaan tanah yang tidak efisien serta perantara yang kurang jujur. Rantai pasokan ini sangat terbelah dan tidak transparan.
Petani yang memasukkan data ini ke dalam Blockchain akan dihadiahi token HARA, yang bisa ditukar dengan barang-barang yang mereka butuhkan seperti pupuk. Pada akhirnya, blockchain membantu para petani agar bisa terus memantau harga jual hasil panen mereka, pangsa pasar hasil pertanian dan praktik pertanian yang paling bisa diandalkan saat ini. Sementara itu, bagi LSM dan institusi pemerintah, blockchain menciptakan data set berharga yang menunjukkan perkembangan terbaru dalam pertanian padi secara real time.
Namun, ekosistem transparan seperti ini sangat bergantung pada teknologi. Token HARA ditargetkan untuk mencapai dua juta petani pada tahun 2020 mendatang dengan memanfaatkan metode pengumpulan data akar rumput dengan melibatkan drone dan anggota komunitas pertanian. Sayangnya, hingga bulan lalu, Token HARA baru mencapai 7.000 petani.
Untungnya, meski cakupannya masih sangat terbatas, trial yang baru-baru ini dilakukan oleh HARA ternyata cukup menjanjikan hingga mampu menarik partner dengan nama besar seperti BNI. Lebih dari itu, perusahaan rintisan ini berencana memperluas cakupannya dengan menggunakan ICO, sebuah upaya penggalangan mata uang kripto yang mekanismenya mirip Initial Public Offering (IPO) di pasar saham. Lewat proses ini, HARA menargetkan bisa mengumpulkan dana antara Rp106,5 miliar hingga Rp228 miliar.
Meskipun begitu, masih ada yang menghambat perkembangan ini. Pang Xue Kai, CEO Tokocrypto, mengatakan bahwa perkembangan Blockchain di Indonesia benar-benar tergantung pada seberapa baik hal ini diperkenalkan ke pengguna potensial.
“Secanggih apapun teknologinya, tidak akan bermanfaat jika tidak ada yang tahu cara menggunakannya, atau apabila penemu tidak bisa mengintegrasikannya sesederhana mungkin sehingga orang dapat menggunakannya tanpa menyadarinya,” katanya dalam diskusi panel di konferensi tersebut.
Selain itu, ada juga masalah regulasi lokal. Indonesia melarang transaksi Bitcoin karena adanya potensi penggunaan bitcoin sebagai sarana untuk melakukan kegiatan yang melanggar hukum seperti prostitusi, perdagangan senjata dan narkoba. Meskipun begitu, Kai yakin kalau kurangnya regulasi ini dapat membantu perkembangan industri dengan cara menunjukkan dampak positif program percontohan kepada regulator (pemerintah).
“Kami tahu kalau peraturannya belum disahkan,” terang Kai. “Ini cukup bagus, karena orang jadi bisa memahami lebih dalam teknologi ini sebelum membuat keputusan.”
Tanpa peraturan, industri Blockhain beroperasi secara bebas. Perusahaan startup nekat mengambil risiko supaya mereka bisa memanfaatkan inefisiensi di negara ini. Seusai diskusi, Kai memberi tahu VICE bahwa dia sudah memperkirakan “perkembangan teknologi Blockchain yang luar biasa” di Indonesia suatu saat nanti.
“Setelah itu, Indonesia akan menjadi negara yang jauh lebih baik lagi. Asalkan pemerintah mau mendukung teknologi ini,” katanya.
Lagipula, ini bukan pertama kalinya pemerintah melarang suatu industri sebelum akhirnya mengizinkannya dan melihat perkembangan yang pesat di Indonesia, seperti saluran televisi atau mesin fax misalnya.
“Pada suatu waktu di tahun 90’an pakai fax aja enggak boleh di Indonesia,” kata Imron. “Mesti daftar dulu di Indosat. Jadi kalau misalkan regulasi, kalau tujuan [teknologi] nya jelas, penggunaannya jelas, saya pikir bahwa pemerintah pasti akan mengadopsi one way or another.”