Sehari Bersama Pembalak Liar Hutan Leuser Aceh

Sehari Bersama Pembalak Liar Hutan Leuser Aceh

Truk Colt Diesel keluaran dua dekade lalu itu sama sekali tak bertenaga. Jalannya merayap. Arul, si pengemudi, paham betul kalau mesin yang dia kemudikan sudah tak prima, tapi tetap saja truk tersebut dipaksakan menapaki jalan setapak terjal di perbukitan Hutan Lindung Leuser, Aceh. Arul sama sekali tidak khawatir, keyakinannya terbayar. Truknya bisa melahap semua tanjakan dan jalan makadam terjal walaupun lajunya bak siput sejak matahari baru sepenggalah ketika kami memulai perjalanan masuk hutan.

Dalam perjalanan amat lambat tersebut—setengah hari lebih dari dalam hutan menuju badan jalan desa hingga jalan lintas nasional—Arul mempertaruhkan banyak hal. Keselamatannya sendiri sekaligus masa depan hutan lindung Aceh. Arul dan dua kernet membawa muatan lima kubik kayu-kayu yang seharusnya terlarang ditebang. Mereka adalah pembalak liar.

Videos by VICE

Lima tahun belakangan, saban hari Arul selalu menempuh perjalanan lambat itu, mengangkut hasil tebangan dari hutan, mengantarnya ke majikan yang menampung kayu-kayu tersebut. Sepanjang karirnya Arul mengaku belum pernah ditangkap aparat hukum.

“Saya juga hati-hati, karena sebelum kami bawa kayu, kami pantau keadaan dulu, selain itu kami sudah hafal mana jalan yang bisa kami lalui, supaya tidak diketahui oleh aparat,” kata Arul kepada VICE Indonesia, yang mengikuti aktivitasnya mengangkut kayu seharian pertengahan Januari lalu.

Arul mengaku sadar risiko menjadi pembalak liar sangat besar. Hukuman berat menantinya, karena kayu-kayu yang dia angkut berasal dari hutan lindung. Dia mengambil risiko ini untuk memberi makan empat anaknya. Tak adakah pilihan pekerjaan lain?

“Saya sudah coba mencari perkerjaan lain, tapi semuanya telah terisi orang. Saya ingin kerja tukang bangunan, tapi kontraktor disini tidak memperjakan kami lagi, karena mereka sudah membawa pekerja dari luar Aceh dari pulau Jawa dan Sumatera Utara,” ujarnya. Pilihan mengurus kebun, terutama lahan sawit, juga tak memungkinkan bagi Arul lantaran keterbatasan modal. Satu-satunya sumber pendapatan yang pasti adalah menjadi illegal logger. “Lahannya sudah luas itu milik hartawan di sini, mereka juga sudah ada orang untuk menjaga kebun, kami rakyat jelata ini, kalau tidak berkerja seperti ini laparlah.”

Pemasukan menebangi hutan lindung Aceh sebetulnya tidak terlalu sepadan antara risiko dengan bayaran yang didapat. Sekali jalan mengangkut kayu, Arul dibayar Rp500.000. Dipotong ongkos bensin dan dibagi dengan dua kernet, Arul hanya mendapat untung bersih Rp100.000.

“Dalam sehari dapat dua trip, jadi saya dapatkan uang sebesar Rp200.000, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saya dan lainnya,” ujarnya.

1517558575122-illegal-logging-1

Setibanya di bibir rimba, truk Arul disambut Udin (57). Dia adalah penebang yang memasok kayu kepada Arul. Udin menjelaskan, sebelum menebangi pohon di hutan lindung, dia pasti bermalam di atas gunung. Berbeda dari Arul yang rutin keluar hutan, dalam sebulan Udin betul-betul menghabiskan nyaris seluruh waktunya dalam rimba Leuser.

“Dalam satu hari mampu kumpulkan satu atau dua kubik kayu, saya mendapatkan bayaran per kubik Rp100.000, dalam satu bulan dapat 24 kubik,” ujarnya.

Saat menjarah kayu, Udin mengaku biasa berpindah-pindah dari bukit ke bukit lain, sepanjang Hutan Leuser yang melintasi sejumlah kabupaten di Aceh. Penebang macam Udin tak pernah bekerja sendiri. Dia selalu bersama tim berjumlah lima orang.

Jenis kayu yang mereka potong tidak sembarangan. Penebang liar biasanya memilih kayu ulin, meranti, benuas, atau balau karena harganya di pasaran mahal. Semuanya batang dipotong seukuran 10×25 centimeter dengan total panjang maksimal tiga meter.

Oleh si majikan, selain dibekali gergaji mesin, Udin juga memperoleh uang dan bahan makanan untuk bertahan hidup dalam hutan. “Dari pada tidak ada bisa dikerjakan, di sini bisa makan dan bisa kasih lagi buat keluarga,” ujarnya.

Arul maupun Udin sama sekali tidak pernah bertemu langsung sosok yang membiayai operasi mereka. Semuanya melalui perantara yang menjadi kepercayaan si majikan. Masyarakat Aceh menjuluki penadah kayu ilegal sebagai juragan panglong. Sistem ini sedemikian rapi, sehingga ketika misalnya terjadi penangkapan oleh aparat, seolah-olah pelakunya hanya masyarakat biasa saja. Bukan pemodal yang memiliki organisasi dengan jejaring luas.

VICE menjumpai ‘A’, makelar yang terhubung kepada seorang pemilik panglong besar. A mengongkosi pembalakan liar di salah satu desa pinggiran Hutan Leuser. Dia menolak menyebut namanya karena tak ingin diburu aparat. A mengaku punya 10 pekerja, dari sopir hingga penebang kayu. Saat memulai bisnis ilegal ini, A menghabiskan modal ratusan juta rupiah. Ongkos itu dia pakai untuk membeli gergaji mesin, truk, BBM, serta menalangi dulu kebutuhan para pekerja bermalam di hutan.


Baca juga liputan VICE soal kebijakan pembangunan jalan di Aceh yang merusak ekosistem Hutan Leuser:

A sudah memulai bisnis pembalakan liar sejak 2009. Dulu dia sendiri yang merambah hutan lindung. Sekarang dia tinggal menikmati keuntungan bersih tanpa harus capek bekerja, berkat koneksi kepada beberapa panglong alias juragan besar yang tinggal di Banda Aceh dan beberapa kota besar lainnya. A hanya menyetor kayu. Urusan menjual kayu jarahan tadi ke pasar ditanggung oleh panglong.

“Dulu saat pertama [jadi pembalak liar] tahun 2009 agak sulit, karena belum kenal dengan orang panglong, kalau sekarang tinggal terima beres, dari yang ambil uang hingga lainnya, sudah ada,” ujarnya.

Masih tingginya harga kayu—tanpa pernah ada kepedulian konsumen melacak sumbernya—membuat bisnis pembalakan liar tak pernah mati. Bahkan, ketika pada 2016 pemerintah benar-benar memperketat sertifikasi legalitas kayu, para pembalak masih saja menemukan celah menjual hasil jarahan dari hutan lindung Aceh. Dua kayu olahan terfavorit adalah jenis meranti dan merbau. Panglong biasanya menjual ke pasaran dipatok Rp5.000.000 per kubik. Sementara jenis kayu gelam dan akasia dia jual per kubik seharga Rp4.000.000.

“Untuk saat sudah sulit dapatkan kayu bagus, hanya jenis kayu akasia dan gelam yang banyak,” ujarnya.

Pembalakan liar ini berlangsung terang-terangan, namun minim sekali penegakan hukum oleh aparat. Menurut perkiraan Panglong yang ditemui VICE, kayu yang diperjualbelikan di Aceh 70 persennya adalah hasil ilegal logging.

Panglong kayu dari kecamatan Tanoh Jambo Aye, Aceh Utara, mengatakan permintaan pasar terhadap kayu hasil pembalakan liar tidak pernah turun. Kayu dari hutan Leuser diminati warga karena kualitasnya bagus dan kuat.

Disebutkan oleh si pengelola panglong, di Kabupten Aceh Utara terdapat 30 kilang kayu. Dia berani menjamin semuanya mendapatkan kayu dari para pelaku pembalakan liar dalam hutan lindung. “Setiap hari [saya] mendapatkan 1,5 ton kayu dari tauke illegal logging,” ujarnya.

Mata rantai pekerjaan ini—dari Udin ke Arul hingga pemilik Panglong seperti yang kami temui di Aceh Utara—sudah sedemikian mengakar di Negeri Serambi Makkah. Kegiatan perusakan hutan lindung meningkat sesudah bencana alam tsunami dan konflik Aceh berakhir.

Berdasar data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, kondisi hutan Aceh makin kritis dengan laju kerusakan mencapai 26.835 ha per tahun dari luas hutan Aceh yang mencapai 3,5 juta hektar.

“Pada kurun 2018 hingga 2025, Aceh berpotensi kehilangan kawasan hutan sekitar 29.928 hektar per tahun,” kata kata Muhammad Nur, selaku Direktur Eksekutif Walhi.

Nur mengatakan pembalakan liar hanya satu dari tujuh persoalan lingkungan yang menjadi persoalan besar di Aceh. Problema lain yang menghantui hutan lindung adalah ekspansi industri yang tak terkontrol, pembangunan infrastruktur jalan raya dekat hutan lindung, konflik agraria, serta pembangunan tanpa izin dalam kawasan hutan. Dampak gabungan masalah itu adalah rentetan bencana alam, baik banjir maupun tanah longsor.

“Sepanjang 2017, di Aceh terjadi 120 bencana alam dan lingkungan. Dari persoalan itu Aceh mengalami kerugian mencapai Rp1,5 triliun,” kata Nur.

1517558627629-illegal-logging-4

Walhi berharap agar pemerintah Aceh wajib mengambil tindakan tegas, terutama memberantas pembalakan liar di Aceh.

Adapun menurut data Forum Konservasi Leuser (FKL), data lapangan sejak Januari sampai Desember 2017 menunjukkan terjadi peningkatan signifikan kasus illegal logging di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Database Manager FKL, Ibnu Hasyim mengatakan, data itu mereka dapatkan berdasarkan pengamatan lapangan tim di 12 kabupaten yang mengitari KEL. Terdapat 1.528 kasus illegal logging terjadi sepanjang tahun lalu. Tim FKL menaksir sekitar 7.421,3 meter kubik kayu ditebang para pembalak.

“Angka aktivitas ilegal tersebut meningkat dari tahun 2016, di mana hanya 1.534 kasus pembalakan liar dengan volume 3.665 meter kubik kayu,” ujarnya.

Hasyim mengungkapkan, ada tiga kabupaten yang mengalami kerusakan paling parah akibat pembalakan liar, yakni Kabupaten Aceh (luas kerusakan 2.348 hektar), Kabupaten Aceh Tengah (1.928 hektar), disusul Kabupaten Aceh Selatan (1.850 hektar). Diduga, akibat pembalakan liar itulah, akhirnya marak terjadi sembilan banjir yang melanda Aceh Utara beberapa waktu lalu.

Sepanjang kurun 2015-2016, Aceh Utara adalah wilayah urutan kedua di Indonesia dalam hal kerusakan hutan. Penyusutan luas hutan di KEL dicatat para pegiat lingkungan mencapai 6.875 hektar sepanjang Januari-Desember 2017. Tanpa komitmen pemerintah, pegiat meyakini hutan lindung dengan keanekaragaman fauna terbesar se-Asia itu akan tinggal nama saja.

“KEL yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) ini harus dijaga dan dikelola dengan mengedepankan konsep perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan yang lestari,” tandas Hasyim.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, saat dihubungi terpisah, berjanji melakukan tindakan serta menindak tegas perusahaan kayu yang melanggar peraturan dan melakukan illegal logging di Aceh.

“Tolong sampaikan kepada aktivis lingkungan hidup untuk mencari data terkait dengan penebangan ilegal dan berikan kepada saya. Akan saya tindak,” ujarnya.