Vincenzo Paparelli lahir di Roma, 1 Mei 1946. Setelah melewati jenjang sekolah, Vincenzo sempat magang beberapa tahun sebagai mekanik sebelum akhirnya menikahi Vanda, seorang asisten di sebuah toko, dan membuka bengkel bersama saudaranya di pinggiran kota.
Vincenzo begitu mencintai mobil, terutama Alfa Romeo 1750 miliknya. Pada 28 Oktober 1979, mobil itulah yang dia kendarai menuju Stadion Olimpico. Lazio, kesebelasan kesayangan Vincenzo, hari itu berjumpa seteru satu kotanya, AS Roma. Satu paruh pertandingan baru saja kelar saat sebuah suar yang ditembakkan seorang tifosi AS Roma mengenai tubuhnya. Vincenzo meninggal di tempat. Dokter yang pertama datang di lokasi mengatakan luka di tubuh Vincenzo adalah yang terparah yang pernah dia lihat.
Videos by VICE
Pelaku penembak suar itu akhirnya bisa dikenali. Seorang pemuda 18 tahun bernama Giovanni Fiorillo. Giovanni sudah lebih dulu angkat kaki saat polisi sampai di Olimpico. Empat belas bulan berselang, pemuda itu akhirnya menyerahkan diri dan dijatuhi hukuman kurungan enam setengah tahun.
Perilaku kekerasan di stadion sepakbola Italia tak bermula, apalagi tamat pasca tewasnya Vincenzo Paparelli. Namun, kematiannya untuk pertama kali menandai awal pengorganisasian kebencian antara tifosi Roma dan Lazio. Selama bertahun-tahun setelahnya, fan Lazio masuk ke stadion dengan membawa spanduk bertuliskan “Paparelli, kematianmu akan kami balas!” atau “Kami tak akan melupakanmu Paparelli”.
Kemarahan atas kematian Vincenzo memicu debat yang melibatkan seluruh penduduk Roma tentang betapa berbahayanya hooliganisme sepakbola. Debat itu berujung pada pelarangan sejumlah tradisi yang sebelumnya dianggap suci dalam fandom sepakbola kota Roma. Pembatasan ini sejatinya dimaksudkan untuk mengenyahkan hooliganisme di ibu kota Italia, menurunkan tensi dalam tiap match day di Olimpico dan mengembalikan kultur fan yang relatif tenang pada dekade ‘50an—nahasnya, pembatasan ini tak mengubah apapun.
Grup-grup penggemar sepakbola di Roma terbentuk pada masa-masa tenang di dekade ‘50an. Kendati begitu, beberapa dekade kemudian, demografi fan yang datang ke stadion mengalami pergeseran, yang sedikit banyak mengubah definisi fandom di Italia.
Berkat turunnya harga tiket pada dekade ’60an, pertandingan sepakbola di stadion mulai menarik fan muda dari kelas pekerja. merekalah yang kemudian memicu perubahan dalam fesyen dan politik sepakbola. Bila generasi sebelum mereka kerap datang mengenakan kemeja polos, fan baru yang lebih muda ini menyerbu stadion dengan seragam paramiliter dengan pola-pola kamuflase dan sepatu boot perang. Mereka pun tak malu memamerkan afiliasi politik mereka. Sebagian memakai simbol-simbol politik ekstrem, semacam kapak bermata dua neo-fasis, bintang lima milik kaum kiri ekstrem dan huruf “A” dalam lingkaran yang mewakili kaum anarkis.
Bahkan para bintang di lapangan hijau juga ikut mendukung percampuran sepakbola dan politik. Paolo Sollier, yang membela Perugia, mulai mempraktekan ritual pra-pertandingan. Sollier memberi salut kepada penonton dengan mengangkat telapak tangan yang terkepal—tanda bahwa dirinya adalah pendukung kelompok marxist Avanguardia Operaia.
Di kurun waktu yang nyaris sama, bintang Lazio Luciano Re Cecconi dan Luigi Martini sangat vokal memamerkan dukungannya kepada Movimento Sociale Italiano, partai neo-fasis yang berdiri pada 1946. Di pertengahan dekade ’70, segelintir pemain Lazio masuk ke lapangan dengan kalung bersimbol fasis di melingkar di leher mereka. sedangkan Fedayn—grup tifosi Roma yang dibentuk pada tahun ‘70an—dengan bangga menunjukan bahwasanya mereka adalah sekumpulan komunis dan tak ragu memamerkan gestur kebencian pada tifosi lawan. Dalam iklim seperti inilah, derbi kota Roma menjelma menjadi laga yang paling dipolitisasi di Italia.
Sementara itu, dua grup ultras terbentuk di kalangan pendukung Lazio—Eagles yang dianggap pilih-pilih dalam hal latar belakang dan afiliasi politik anggotanya, Vikings yang lebih sering dipandang sebagai sebuah gerakan politik radkial. Vikings, pada masanya, dihuni oleh fan-fan paling termashur di kancah sepakbola Italia. Salah satu suporter mereka dikenal dengan julukan “Er Maciste”. Desas-desus yang beredar di kalangan penggemar sepakbola mengatakan bahwa Er Maciste pernah melempar satu Fiat 500 seorang diri saat berjibaku dengan kelompok ultras rivalnya. Hingga kini, titik di dekat lokasi tempat Er Maciste tewas dalam kecelakaan masih dibanjiri syal dan karangan bunga dari sesama pendukung Lazio.
Hooliganisme terorganisir tak terbatas di Roma semata. Tifosi AC Milan mendirikan Fossa dei Leoni pada 1968, grup ultras pertama yang didirikan di italia. Di Turin, fan Juventus mendirikan Panthers pada 1975 dan Fighters dua tahun kemudian.
Pada 1980, Italian director Daniele Segre membuat dua buah dokumenter yenyang kelompok ultras Juventus: Il potere deve’essere bianconero dan Ragazzi di stadio . Kedua film itu dengan sempurna menjelaskan perbedaan antara ultra dan suporter: ultra tak peduli jalanan pertandingan.
“Yang aku pedulikan cuma atmosfer stadion,” ujar pendiri Fighters, Beppe Rossi kepada Segre pada 2007. “Saban kali aku hadir di stadion. aku malah banyak melewatkan jalannya pertandingan. Aku seringkan melewatkan gol. itu terjadi karena aku berdiri menghadap penonton dan memusatkan perhatian untuk menyemangati suporter kami. Yang paling penting itu ada di stadion.” Beppe toh tak sendirian—salah satu yel-yel paling populer di antara kelompok ultras berbunyi kira-kira begini: “Kami tak peduli dengan jalannya pertandingan.”
Dalam wawancaranya dengan La Repubblica, Daniele Segre mengenang saat-saat dia menghabiskan waktunya mengabadikan Panthers dan Fighters: “Banyak hal aneh yang terjadi di dalam stadion, seperti senjata yang diedarkan kepada para suporter. Banyak pendukung yang ada di dokumenter saya berpartisipasi dalam kejahatan terorganisir setelahnya.”
Pada 1970 dan 1980an, lagu-lagu yang mengandung unsur narkoba menjadi sangat populer di antara kelompok pendukung. Pierluigi Spagnolo, jurnalis Gazzetta dello Sport, menyebut beberapa nyanyian di bukunya, I Ribelli Degli Stadi [Pemberontak Stadion]. Contohnya, pendukung Lazio akan bernyanyi: “We start on Monday with LSD / We do amphetamines until Wednesday / We cause trouble and get high as we please / But what’s really messed up is Lazio in Serie B.” Dan dengan menggunakan irama “Yellow Submarine” The Beatles, pendukung Roma akan bernyanyi: “Even your dad will smoke / If he meets us he will get high / Doing heroin with the ultras.”
Tetapi, sudah banyak yang berubah sejak 1970. Banyak dari pendukung ini – Fossa dei Leoni Milan contohnya – yang membubarkan diri, mengurangi afiliasi politik mereka atau bahkan berubah haluan. Sedangkan Curva Romanistis Roma yang sangat anti-fasis pada 1999, mulai berani membentang spanduk berslogan neo-Nazi sejak 2006.
Menurut survei terbaru oleh Kementerian Dalam Negeri Italia, saat ini masih ada 382 fan base aktif di Italia. Dari jumlah ini, 151 kelompok secara terang-terangan menunjukkan orientasi politik mereka. 85 nya menganut sayang kanan, 54 nya sayap kiri, dan 12 nya memiliki “ideologi campuran.”
Dalam hal ultra, masih ada sekitar 40.000 pendukung di Italia. Banyak dari mereka masih bersikap kasar dan fanatik, serta “tidak peduli dengan pertandingan.”