Lantunan vokal Nia terdengar cukup nyaring tatkala dia membawakan balada “Cinta Bukanlah Kapal” yang dipopulerkan Iis Dahlia. Malam itu, Nia tampil percaya diri. Dia menguasai keseluruhan lagu, dari awal hingga akhir. Bahkan dalam beberapa kesempatan Nia unjuk kemampuan lebih, menampilkan beragam bebunyian cengkok, sebagaimana disajikan oleh sang idola.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, mulai senyap. Di samping kiri dan kanan jalan utama, tepatnya depan stasiun, suara bising kendaraan yang menyurut tergantikan keriuhan lain, ketika orang-orang saling berdendang dan bergoyang berkat dangdut gerobak.
Videos by VICE
Jalanan seketika berubah fungsi layaknya panggung hiburan. Bunyi ritmis ketukan kendang yang berkelindan dengan nada serta melodi khas Melayu terdengar sangat menggelegar, seperti menandakan bahwa pintu pesta telah dibuka.
“Akhirnya bisa nyanyi lagi,” kata Nia, salah satu biduanita berusia 28 tahun yang dijumpai VICE. “Rasanya senang banget karena setelah berbulan-bulan enggak bisa main.”
Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia, turut mempengaruhi mereka yang berkecimpung di bisnis dangdut gerobak. Diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), guna memutus mata rantai penyebaran virus, membikin gerak seniman jalanan terhambat.
Perlahan, seturut dengan dilonggarkannya PSBB oleh pemerintah DKI, para pemain dangdut gerobak mulai menggeliat kembali. Kehadiran dangdut gerobak di Jatinegara pun direspons dengan suka cita: menjadikannya sebagai ruang pelarian atas keadaan dunia yang sedang tidak baik-baik saja.
“Lumayan banget [terhibur] dan sekarang [mulai] enggak stres lagi [gara-gara Corona],” papar Eno, pengunjung dangdut gerobak, selepas bergoyang bersama biduan, menyanyikan tembang “Memori Berkasih” yang dipopulerkan Nella Kharisma.
Keberadaan dangdut gerobak bisa dengan mudah kamu jumpai di Jakarta. Setiap malam, mereka akan berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya, membelah keheningan ibu kota yang tengah bersiap memejamkan mata.
Tidak ada yang mampu memastikan kapan eksistensi dangdut gerobak pertama kali lahir ke realitas masyarakat. Akan tetapi, menurut Michael H.B Raditya, peneliti dan penulis seni pertunjukan, musik populer, serta tari kontemporer, akarnya dapat ditelusuri dari dikotomi kesenian urban (perkotaan) dan rural (pedesaan).
“Dangdut gerobak itu membuat kesenian dangdut seperti enggak terikat. Artinya, dangdut yang mulanya hanya dimainkan pada momen-momen tertentu, seperti perayaan panen, menjadi dapat dinikmati di setiap waktu,” terang peraih gelar master dari Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM tersebut tatkala dihubungi VICE via sambungan telepon.
Karena sifatnya yang lebih luwes itu, ujar Michael, dangdut gerobak mampu mengakomodasi dahaga masyarakat atas kebutuhan hiburan, tanpa harus lebih dulu menanti pada waktu-waktu khusus.
“Dari situ dangdut gerobak menjadi hiburan tersendiri. Mereka menghibur [orang-orang] yang lewat dan dilewati. Dan mereka juga tahu pasar. Targetnya jelas: para pekerja kelas menengah ke bawah yang butuh relaksasi atau mereka yang butuh ruang rehat di tengah gempuran kapitalisme,” katanya.
Saat membahas kiprah dangdut gerobak, rasanya kurang lengkap bila tak menyebut Jatinegara. Kawasan yang kesohor berkat pasar dan stasiun besar di sisi timur Jakarta itu tak ubahnya episentrum dangdut gerobak, mengingat banyaknya pemain dangdut mengadu peruntungan di daerah yang terkenal keras ini. Mereka saling mengisi sudut jalanan dan menawarkan hiburan alternatif yang dapat ditebus dengan harga terjangkau.
Sesuai namanya, dangdut gerobak menampilkan hiburan musik dangdut live dengan perangkat suara di atas gerobak. Mereka tak butuh perkakas musik konvensional, cukup dengan tumpukan pengeras dan sistem suara, mixer, dan equalizer. Untuk memainkan lagu pun tak usah repot-repot: sediakan smartphone dan YouTube. Meski begitu, ada pula yang tergolong niat membawa keyboard sendiri.
Orkes dangdut gerobak biasanya terdiri dari kurang lebih lima sampai delapan orang. Mereka terbagi sesuai job description yang sudah ditentukan: dari pimpinan orkes, teknisi, pemain, hingga penyanyi. Sehari-hari, mereka beroperasi dari jam sepuluh malam sampai tiga dini hari.
“Makin malem, biasanya, makin ramai. Terutama di atas jam 12 malam,” ungkap Ari, kepala orkes dangdut gerobak, kepada VICE.
Pendapatan yang dikumpulkan orkes dangdut gerobak yang dikomandoi Ari tidak tetap. Bila ramai, dia dan teman-temanya bisa mengumpulkan hingga Rp1 juta. Sebaliknya, mereka hanya dapat kurang dari Rp500 ribu kalau kondisi sedang sepi, terutama saat cuaca tidak bersahabat—seperti hujan deras.
“Pernah satu waktu cuma ngumpulin Rp100 ribu,” ujarnya yang disambut gelak tawa.
Ada dua sumber pemasukan yang dimiliki dangdut gerobak. Pertama, tarif yang dipatok untuk permintaan lagu sebesar Rp10.000 per track. Yang kedua adalah saweran. Soal saweran, jumlahnya tak tentu sebab tergantung kemurahan hati penonton.
Semua uang yang masuk ke kas akan dikelola secara fair. Artinya, masing-masing anggota orkes memperoleh hasil yang sama, tak peduli posisinya apa, entah itu pimpinan atau penyanyi sekalipun. Ari mengatakan bahwa tujuan pembagian sama rata ini ialah untuk menjaga kesolidan di antara personel orkes dangdut gerobak. Dia tak ingin menciptakan kecemburuan satu sama lain, karena semua anggota tim punya kontribusi.
Maka dari situ, penting bagi dangdut gerobak agar dapat tampil maksimal pada setiap pementasan. Semakin bejibun lagu yang mampu dimainkan, potensi menarik penonton pun ikut terbuka lebar, yang nantinya juga berdampak pada pendapatan yang dibawa pulang.
Untuk itulah orkes dangdut gerobak (diharuskan) punya satu penata musik yang bisa diandalkan. Wajah penata musik ini, jamaknya, termanifestasikan melalui seorang keyboardist. Berbicara ihwal keyboardist gerobak dangdut yang handal, scene Jatinegara memiliki Agus Gonzales.
Jemari Agus meliuk dengan lincah di atas tuts keyboard. Tatapannya begitu fokus memperhatikan nada-nada yang dia bikin. Dia tampil kalem. Namun, saat memasuki bagian solo, Agus terlihat seperti kemasukan arwah Thelonious Monk, pianis jazz tersohor yang namanya mekar di era 1960-an.
Perkenalan Agus dengan musik sudah terjalin sejak masa remaja. Mulanya, dia menyukai rock yang dimainkan band-band lawas macam God Bless atau AKA. Pelan tapi pasti, selera musik Agus berubah, yang tadinya gila rock menjadi kesengsem dengan dangdut, terlebih ketika popularitas Rhoma Irama dan gerbong Soneta-nya menanjak di warsa 1980-an.
“Ada bagian dangdut yang dimainkan Rhoma yang bikin saya suka. Dia kayak bisa memainkan dangdut dengan keren,” jelasnya di tengah-tengah waktu rehat.
Sejak itu, Agus mengulik segala hal yang berkorelasi dengan dangdut. Semua dilakukannya secara otodidak, termasuk saat dia belajar keyboard. Bagi Agus, hal wajib dimiliki keyboardist orkes dangdut gerobak, selain punya referensi musik yang luas dan beragam, yakni mampu memahami karakter lagu yang hendak dimainkan.
“Ada lagu yang cocok untuk digubah, ada juga lagu yang enggak cocok. Pemain musik mesti ngerti ini,” terang lelaki berusia 20 tahun ini. “Kalau enggak ngerti, lagunya bisa jadi enggak bisa dinikmati. Misalnya, kurang tahu kapan mesti masukin [warna] koplo. Rasanya pasti beda.”
Kepiawaian Agus terbukti manakala saya memesan lagu “Sewu Kutho” ciptaan almarhum Didi Kempot, sobat ambyar anak-anak muda masa kini. Sepanjang tiga menit lagu berjalan, lewat keyboard KORG-nya, Agus menyelipkan banyak improvisasi. Dia tak sebatas berpaku pada struktur aslinya, campursari, melainkan turut memasukkan unsur koplo bahkan hingga bebunyian orkestra yang membuat “Sewu Kutho” jadi terdengar gagah dan makin menyayat ulu hati di waktu bersamaan.
Menurut Agus, dangdut tak hanya soal goyang, tapi juga tentang bagaimana agar para pendengar dapat menyatu dengan lagu secara emosional. Pandangan yang saya pikir sederhana secara teori, tapi sulit diterapkan di lapangan.
Tuntutan untuk menguasai berbagai lagu dangdut bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, Agus tak merasa terbebani. Dia berkeyakinan bahwa totalitas adalah kunci.
“Meski cuma [orkes] dangdut gerobak, saya enggak kepingin setengah-setengah,” ujarnya mantab.
Sudah sejak SMP Sari mengenal dunia tarik suara. Awalnya, Sari hanya menjadikan menyanyi sebagai bentuk hobi. Seiring waktu, niat untuk melangkah lebih jauh tertanam di benaknya. Sari ingin kesenangannya dalam bidang olah vokal tak cuma jadi kegiatan mengisi waktu senggang.
Dibantu kakaknya, Sari mulai berlatih. Referensi yang dia pakai ialah Rita Sugiarto, penyanyi dangdut legendaris yang melejit lewat lagu-lagu seperti “Sejuta Luka,” “Percuma,” sampai “Terima Kalah.”
“Aku suka banget sama Rita Sugiarto. Suaranya bagus banget, dan itu membuatku percaya bahwa aku bisa jadi penyanyi dangdut,” kata perempuan 29 tahun ini kepada VICE.
Setelah merasa modal menyanyinya cukup, Sari membuka jalan hidupnya sebagai biduanita. Petualangannya terbentang dari panggung acara pernikahan hingga kafe-kafe malam. Sari menikmati pekerjaannya itu dan percaya bahwa semua bakal bergulir sebagaimana mestinya.
Nyatanya yang diharapkan tidak kesampaian.
Selama menjadi biduanita dangdut, Sari kerap mengalami pelecehan. Pengalaman yang cukup bikin dia trauma adalah saat bekerja di kafe. Di sana, Sari kerap dipaksa minum sampai mabuk, sebelum akhirnya memperoleh perlakuan tak pantas dari pengunjung pria, entah itu secara verbal atau yang paling buruk sekalipun: digrepe-grepe.
“Aku takut banget,” kenang Sari.
Sari menilai berbagai sikap brengsek yang muncul dari para lelaki itu disebabkan karena mereka punya kuasa dalam bentuk uang. Ketika punya uang, Sari bilang, mereka dapat melakukan apa saja, dan memandang biduan dangdut tak lebih “alat hiburan” semata.
Pengalaman buruk tersebut membuat Sari hanya bertahan seminggu di kafe tempat dia bekerja. Setelah itu, dia memutuskan untuk mencari rezeki di jalanan lewat orkes dangdut gerobak. Sayang, kondisinya tak jauh beda, walaupun, seperti penuturannya, “enggak separah di kafe.” Pelecehan tetap dia alami.
“Pasti ada. Apalagi kalau udah malem di sini banyak orang mabuk. Kelakuannya sering enggak bisa diatur. Ketika mereka udah mabuk, pasti ujung-ujungnya rese,” imbuhnya.
Hal yang serupa turut dirasakan Nia. Tak jarang, Nia jadi target pelecehan verbal oleh para pengunjung yang mabuk.
“Kadang enggak nyaman kalau digodain,” jelasnya. “Tapi, mau gimana lagi, kan? Risiko kerja [jadi biduan dangdut], ya, kayak begini.”
Pementasan dangdut dikenal tak ramah terhadap perempuan. Pandangan bahwa para biduanita adalah objek belaka menjadi masalah serius yang tak kunjung bisa dicabut dari permukaan. Ini, mau tak mau, membuat biduanita dangdut berada di titik paling rentan terhadap serangkaian aksi pelecehan sampai kekerasan seksual.
Kondisi tersebut, Michael mengungkapkan, dipengaruhi dinamika yang terjadi dalam kancah dangdut itu sendiri. Sejak era 80’an, sebetulnya, kebutuhan ruang aman untuk biduanita sudah bermunculan. Contohnya ialah panggung yang berjarak dengan penonton. Jam pementasan pun dibagi menjadi dua sesi, walaupun menampilkan repertoar yang sama. Faktor ini membikin para penonton tak bisa seenak jidat memperlakukan biduanita.
Seiring waktu, dangdut tak hanya dimainkan di panggung-panggung besar nan berjarak, tapi juga merembet hingga gig berskala kecil tanpa sekat. Walhasil, batas-batas yang sebelumnya berdiri tegak itu lantas mencair. Penonton mulai bertindak secara berlebihan, yang kemudian mendorong lahirnya pelbagai bentuk pelecehan.
Keadaan diperparah dengan budaya masyarakat yang masih seksis dan patriarkis, demikian jelas Irfan R. Darajat, pemerhati dangdut sekaligus peneliti yang aktif di LARAS, lembaga riset serta kajian independen yang berfokus pada studi musik, sosial, dan budaya.
“Di pementasan dangdut, pikiran itu masih terbawa. Jadinya, perlakuan buruk yang ditujukan kepada para biduanita pun enggak bisa terhindarkan,” kata Irfan yang pernah menulis tesis bertajuk Iramanya Orang-Orang Kalah: Analisis Wacana Kritis Politik Dangdut Koplo Menggoyang Kemapanan ini saat dihubungi VICE.
Perlu upaya keras untuk menghentikan pelecehan yang terjadi di arena dangdut. Jalannya, sudah pasti, bakal berliku, bila melihat bagaimana keadaan masyarakat sekitar yang tidak ideal dengan segala dinamikanya.
Walaupun begitu, upaya untuk membangun ruang aman mulai disadari para pelaku di industri dangdut, tak terkecuali di semesta orkes dangdut gerobak. Baik Sari maupun Nia, misalnya, sudah banyak belajar dari pengalaman. Tatkala sudah ada pengunjung yang mulai ruwet, mereka akan jaga jarak supaya terhindar dari pelecehan.
“Aku udah bisa tahu mana [pengunjung] yang kira-kira bakal rese, mana yang enggak akan aneh-aneh,” papar Sari.
Selain itu, dari pimpinan orkes dangdut gerobak sendiri juga tak tinggal diam. Ari mengaku bahwa saat situasi sudah tidak kondusif lagi, pendeknya banyak penonton yang rusuh, cabul, dan tak bisa diatur, dia segera menghentikan pementasan dan bergegas pulang.
“Kami enggak mau ada apa-apa sama penyanyi kami,” ungkap Ari.
Irfan turut menambahkan, kesempatan untuk memperbaiki situasi bakal terbuka lebar mengingat biduanita pada hakikatnya punya kuasa yang besar atas apa yang terjadi di panggung dan kerumunan penonton.
“Ada contoh kasus di mana biduanita dangdut bisa menghentikan tawuran antarpenonton. Dia intinya bilang, kalau masih ada yang berantem lagi, maka dia enggak bakal lanjutin nyanyi, dan penontonnya nurut,” tuturnya. “Ini membuktikan biduanita dangdut bisa bertindak lebih, walaupun enggak semuanya bisa kayak gitu.”
Mengalami pelecehan merupakan pengalaman buruk. Namun, Sari dan Nia tidak punya pikiran untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai biduanita dangdut. Menurutnya, dangdut dan menyanyi adalah dua hal penting dalam hidupnya, yang senantiasa di jalani sepenuh hati, apa pun konsekuensinya.
“Aku enggak bisa bayangin [akan jadi seperti apa hidupku] kalau tanpa dangdut,” tegas Sari.
Andrew N. Weintraub, Profesor Musik di University of Pittsburg, dalam bukunya yang jadi rujukan otoritatif berjudul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, menulis bahwa dangdut memiliki persambungan dengan rakyat yang terjadi pada tiga tataran intertekstual: dangdut adalah rakyat, dangdut untuk rakyat, serta dangdut sebagai rakyat.
Argumentasi Weintraub didasarkan pada karakter musik dangdut itu sendiri yang selama perkembangannya memang identik dengan keberadaan “rakyat” atau wong cilik. Misalnya, lirik berbahasa Indonesia dan mudah dipahami sampai substansi dalam lagu yang menggambarkan realitas sehari-hari masyarakat—pahit atau tidak.
Akan tetapi, pendapat Weintraub tidak seratus persen akurat karena pada perjalanannya, dangdut, sebagaimana dijelaskan Michael, tak sekadar menghibur lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dangdut turut pula menyemai benih-benih keriaan di antara kelompok elite dan anak-anak muda yang tumbuh di kota urban, yang selama ini dipersepsikan alergi terhadap dangdut.
“Kita bisa lihat di Synchronize Festival ketika Rhoma Irama dan Nasida Ria ditonton banyak orang. Atau, jauh sebelum itu, pada era 1990-an, dangdut juga menyebar di klub-klub malam di pusat kota Jakarta,” ujarnya.
Senada dengan Michael, Irfan menegaskan bahwa dangdut, sebagai produk budaya pop, “berhasil berdiri tegak di alam mana pun,” dan kemunculan orkes dangdut gerobak hanyalah secuil contoh yang menggambarkan karakter tersebut.
“Aku enggak ingin berkomentar apakah kedangdutan dalam dangdut gerobak itu berkurang karena mereka bentuknya seperti itu. Yang jelas, keberadaan mereka itu memperlihatkan betapa dangdut bisa cair, bergerak sesuai kebutuhan dan konteks sosial-ekonomi yang ada,” jelasnya.
Ungkapan di atas bukan sekadar pepesan kosong. Di Jatinegara, dangdut melebur dalam satu imaji utuh tentang rakyat, keriaan tak terbatas, juga pesta yang tak henti-hentinya digelar.
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas yang bermukim di Jakarta. Follow dia di Twitter
Semua foto oleh Hafitz Maulana, karya-karyanya yang lain bisa dilihat di laman ini.