Penelitian dari Stanford University, yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology, menemukan bahwa kecerdasan buatan (Artifical Inteligence – AI) kini mampu menebak orientasi seksual seseorang dari fotonya. Dan hasilnya? Sangat akurat. Para peneliti mempertunjukkan kemampuan algoritma mesin tersebut dalam secara langsung. Percobaannya menggunakan foto yang ada di situs kencan online.
Penelitian ini, yang dilakukan oleh Yilun Wang dan Michal Kosinski, membuat orang semakin khawatir teknologi tersebut nantinya disalahgunakan untuk menindas anggota komunitas LGBT. Anggapan peneliti soal privasi seseorang bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarah Jamie Lewis, peneliti cybersecurity yang mendalami privasi komunitas queer.
Videos by VICE
“Penelitian ini malah memperkuat stereotip yang mati-matian mereka (komunitas queer) lawan. Walaupun kita bisa menerima premis mereka bahwa seseorang bisa kelihatan seperti queer, tapi penelitiannya masih sangat bermasalah. Fotonya diambil tanpa seizin pemilik dan tujuan penelitiannya masih dipertanyakan,” terangnya. Menurut Lewis, peneliti seharusnya menggunakan foto yang sudah disetujui peserta.
Teknologi yang digunakan peneliti berhasil menebak 81 persen laki-laki gay dan hetero, dan 71 persen perempuan hetero dan lesbi dari satu foto yang diberikan. Apabila ada lima foto yang digunakan untuk meneliti satu orang, maka algoritmanya bisa menebak laki-laki gay sebanyak 91% dan perempuan lesbi 83%. Penelitiannya menggunakan 35.326 sampel foto yang diambil dari sebuah situs kencan di AS. Peneliti juga menggunakan preferensi pengguna yang ada di profilnya untuk membuktikan kalau tebakannya benar. Selain itu, algoritma juga diuji menggunakan sampel data Facebook.
Penelitian menemukan bahwa laki-laki gay dan perempuan lesbi cenderung memiliki “bentuk, ekspresi, dan gaya wajah yang menyerupai khas gender atipikal.” Laki-laki gay biasanya memiliki rahang tirus, hidung mancung dan dahi yang lebih besar daripada laki-laki hetero. Sedangkan perempuan lesbi memiliki rahang yang lebih besar dan dahi yang lebih kecil.
“Perbedaan feminitasnya hanya kentara saat mengamati rata-rata foto dari wajah berbeda,” tulis peneliti.
Objek penelitiannya terbatas pada gender dan orientasi seksual seseorang. Mereka tidak menggunakan foto orang kulit berwarna, transgender dan biseksual. Penelitian ini dikhawatirkan akan semakin menindas kelompok LGBTQ, dan menunjukkan betapa mudah kita memanfaatkan kecerdasan buatan dalam menyalahgunakan privasi seseorang.
Teknologi ini bisa saja digunakan oleh kelompok anti-LGBTQ untuk menargetkan atau melacak seseorang, atau oleh orang tua yang ingin tahu orientasi seksual anaknya. Walaupun begitu, para peneliti menyadari apa dampak yang bisa terjadi.
“Kami sangat terganggu dengan hasilnya dan sempat tidak yakin mempublikasikannya. Kami tidak ingin ini dimanfaatkan untuk menyerang komunitas LGBTQ,” tulis Kosinski dan Wang dalam catatan penulis yang diterbitkan bersama penelitian mereka.
Menurut mereka, penelitian ini akhirnya diterbitkan untuk memperingatkan aktivis LGBTQ atas ancaman yang akan mereka hadapi. “Mereka perlu tahu soal ini agar bisa melakukan pencegahan. Kami tidak bermaksud membuat teknologi yang menyalahgunakan privasi seseorang. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa alat ini bisa mengancam privasi dengan mudahnya,” imbuh peneliti di catatannya.
Wang dan Kosinski berpendapat kalau sudah tidak ada privasi di internet. “Hilangnya privasi semakin tak terelakkan. Keamanan komunitas gay dan kelompok minoritas lainnya tergantung pada hak asasi dan toleransi dari orang lain,” lanjutnya. “Orang yang intoleran harus belajar menghargai orang lain agar privasi kelompok minoritas terjaga.”
“Penelitian ini sebenarnya bisa saja berguna bagi komunitas queer, tapi seharusnya dilakukan sesuai persetujuan orang-orang yang memahami isu ini,” ujar Lewis.