Sekelompok Perempuan di Korsel Bikin Gerakan “Bebas-Korset” Menentang Budaya Operasi Plastik

Gerakan “corset-free” yang diinisasi kelompok feminis Korsel

Di kawasan kelas atas Gangnam yang terletak di selatan Sungai Han, warga di jalanan terlihat memakai tutupan hidung dan pembalut wajah adalah hal biasa. Gedung-gedung tinggi menghiasi langit, dengan klinik operasi kosmetik di setiap lantai dan tembok-tembok yang ditutupi iklan yang menunjukkan perempuan dengan mata seperti boneka, dagu lancip, dan kulit muda—mereka menyampaikan pesan bahwa kamu juga bisa berpenampilan seperti mereka jika kamu memilih klinik yang benar (jumlah klinik macam ini dilaporkan ada 500). Selamat datang di Beverly Hills-nya Seoul, yang menarik pengunjung dari seluruh Korea dan juga negara tetangga seperti Cina, Jepang, dan Thailand.

Jumlah operasi kosmetik per orang di Korea Selatan adalah yang tertinggi di dunia dengan hampir 1 juta operasi setiap tahun. Menurut Gallup Korea, sebuah konsultan penelitian dan manajemen, sekitar satu dari setiap tiga perempuan Korea Selatan dari umur 19 sampai 29 telah melakukan operasi kosmetik, sedangkan sumber-sumber lain memperkirakan angka ini lebih tinggi. Tetapi sejak suksesnya gerakan #MeToo, yang menyebar setelah skandal Weinstein dengan jutaan perempuan di seluruh dunia yang berbagi cerita-cerita pelecehan seksual di tempat kerja, semakin banyak orang Korea mulai mempertanyakan dan memprotes tekanan sosial yang dilemparkan pada perempuan.

Videos by VICE

Dijuluki gerakan “bebas korset”— yang diambil dari ide penindasan sosial perempuan yang disamakan dengan perasaan diikat korset — perempuan-perempuan Korsel telah memanfaatkan media sosial untuk melawan standar kecantikan tidak realistis yang mewajibkan mereka untuk menghabiskan berjam-jam memakai makeup dan melakukan perawatan kulit ekstensif secara rutin. Gerakan ini, yang pertama kali muncul di platform seperti Instagram dan Naver, mendorong orang untuk melihat lebih dalam standar kecantikan sempit yang diterapkan oleh masyarakat. Caranya dengan keluar rumah tanpa makeup, memakai kacamata daripada softlens, dan memakai baju dan celana dalam yang nyaman. Akhir-akhir ini, perempuan-perempuan memberontak dengan menghancurkan makeup dan lipstik mereka, lalu mengunggahnya online dengan hashtag #feminist (#페미니스트).

https://www.instagram.com/p/Bo83Uxfn8MK
https://www.instagram.com/p/BoYkEv5nfrN
https://www.instagram.com/p/Bo6rs2IForO
https://www.instagram.com/p/BpLyh_inyIY

Gerakan ini muncul pada saat banyak sekali perempuan yang turun ke jalanan dan mengkampanyekan kesetaraan gender, memprotes pembebasan mantan calon presiden Korsel Ahn Hee-jung, yang dituduh memerkosa asisten perempuannya, dan untuk melawan kamera-kamera tersembunyi di kamar mandi atau di bawah rok mereka di stasiun kereta api. Ini fenomena yang menarik mengingat Seoul adalah masyarakat yang patriarkis dan sering mempromosikan pentingnya operasi kecantikan. Untuk bisa mengerti obsesi Korea Selatan dengan kecantikan, kita harus memahami bahwa operasi kosmetik tidak pernah dilihat sebagai sesuatu yang negatif atau “palsu,” dan justru dianggap sebagai upaya untuk memperbaiki diri sendiri. Dalam persaingan pasar tenaga kerja yang kompetitif, kecantikan dianggap sebagai kelebihan yang menguntungkan

Meskipun presiden progresif baru Korea Selatan Moon Jae-in telah menyatakan bahwa dia sedang berusaha menyingkirkan syarat foto pada CV, peraturan itu masih ada. Jadi, jika operasi kosmetik meningkatkan status sosial dan kesempatan yang bisa diperoleh seseorang, maka pastinya operasi kosmetik itu tidak hanya dapat dibenarkan, tapi juga layak dipuji.

“Ini sangat terkait dengan daya saing orang Korea sebagai masyarakat serta keinginan mereka untuk menjadi lebih baik daripada yang lain, entah untuk menjadi sarjana yang lebih baik, mendapatkan gaji yang lebih tinggi, atau memiliki penampilan yang lebih cantik,” ujar Jainnie Cho asal Seoul, editor T Brand Studio di The New York Times. “Kecantikan luar di Korea bukan sekedar wajah yang cantik -itu bagai senjata yang memamerkan nilaimu sebagai individu dalam masyarakat yang begitu kompetitif.”

“Ada pepatah di Korea bahwa ‘kecantikanmu adalah senjatamu.’ Generasi muda yang baru lulus cenderung operasi plastik supaya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kecantikanmu merupakan semacam CV.” kata Celine Hong, fotografer dan videografer asal Korea yang melayani Vogue Korea, Hypebeast, Linda Farrow, dan MM6 Maison Margiela. Korea memang merupakan salah satu negara di dunia yang meminta foto di CV, dan peraturan ini tentunya meningkatkan jumlah prosedur operasi plastik. Menurut sebuah situs lowongan kerja Saramin, sekitar 93 persen dari 760 perusahaan meminta foto untuk lamaran kerja.

Setiap negara memang memiliki standar kecantikannya masing-masing, tetapi rentetan konformis Korsel telah mendorong jutaan orang untuk memiliki penampilan yang serupa. Bagi Hong, hal ini didorong akibat masyarakat Korsel yang homogen. “Biasanya orang enggak mau tampil unik atau berbeda. Semuanya mau mengikuti apa yang sudah dilakukan orang lain dan hasilnya mereka kehilangan kepribadian mereka sendiri.”

Tetapi perubahan sudah dimulai. November lalu, Kereta Metro Seoul mengumumkan larangan iklan operasi kosmetik di stasiun-stasiunnya. Sejak 2015, saat orang mulai sadar akan isu-isu gender, sudah ada keluhan terkait poster-poster yang mempromosikan penggambaran terdistorsi mengenai penampilan perempuan. Musim panas ini telah tayang K-Drama My ID is Gangnam Beauty, yang fokus pada seorang perempuan yang melakukan terlalu banyak prosedur operasi kosmetik. (Istilah ‘Gangnam Beauty’ dimaksud sebagai hinaan dan mendeskripsikan orang yang kecanduan operasi kosmetik sehingga terlihat tidak alami. Sekarang ucapan tersebut menjadi populer akibat K-Drama ini.) Drama tersebut dipuji oleh pengkritik karena menjawab pertanyaan mengapa masyarakat mementingkan kecantikan dan apa arti sebenarnya kecantikan dan kebahagiaan.

Para YouTuber, yang biasanya membagi tips-tips kecantikan online, juga ikut serta dalam gerakan ini. Bae Li-na, yang baru mulai mengunggah video Agustus kemarin, melihat jumlah penonton dan subscriber naik setelah mengunggah video yang berjudul “Aku Enggak Cantik” bulan Juni, sebuah video satiris yang menunjukkan Bae memakai makeup, lalu diejek-ejek di seksi komentar karena wajahnya “jauh dari standar kecantikan masyarakat.”

Bae kemudian menghapus make-upnya dan berkata: “Kalian jangan mengeksploitasi diri hanya untuk memuaskan penilaian orang akan dirimu” sambil mengembangkan senyum lebar. Video itu sejauh ini telah ditonton sebanyak 5,1 juta kali dan dibanjiri ribuan komentar. Kebanyakan di antaranya dari perempuan-perempuan muda yang merasa terwakili oleh video itu. (sayangnya, Bae baru-baru ini mengunci kolom komentar dalam video itu setelah menerima banyak risakan dari netizen.)

Dampak gerakan ini, menurut Julia Kang, seorang penerbit di Hearst-Joongang yang menerbitkan majalah sejenis Elle Korea, InStyle Korea, Cosmopolitan Korea, Céci and Heren, ternyata sangat positif. “Perempuan-perempuan muda mulai sadar dan menemukan suara mereka.” Cho mengamini hal ini. Dia mengatakan “saya bisa melihat perbedaan tegas antara generasi tua dan generasi milenial yang lebih bisa menerima penampilan diri dan lebih vokal menyuarakan isu-isu politik.”

https://www.youtube.com/watch?v=Zq51xKG-hyU

Namun, bukan berarti tren operasi plastik bakal turun pamor dalam waktu dekat. Lantaran sudah kadung meneken sejumlah perjanjian, pihak Metro mengatakan belum bisa mencopot iklan tentang operasi plastik sampai 2022 mendatang. Terlebih lagi, bisnis kecantikan bakal terus jadi lahan basah bagi brand-brand kosmetik Korea Selatan yang memproduksi perban pengurus dagu, sekresi bekicot hingga ekstrak bintang laut. Catatan terakhir menunjukkan bahwa tahun lalu nilai ekspor komoditi kosmetik ini melonjak dari $1 miliar menjadi $2,64, seperti yang dirilis Dinas Bea Cukai Korea Selatan.

Sejumlah netizen menanggapi kemunculan gerakan ini. Mereka tak begitu menghiraukannya dan mengatakan lebih suka “terlihat cantik” dan “memakai make-up.” Adapun sejumlah netizen lainnya berpendapat bahwa inti gerakan ini bukan anjuran agar semua perempuan melepas make-up, tap memberikan ruang agar semua jenis perempuan bisa nyaman tampil sebagai dirinya sendiri di masyarakat Korea Selatan. “Saya jarang menemukan komentar yang suportif di internet, karena banyak yang belum paham kenapa perempuan-perempuan ini melakukan ‘hal yang aneh dan tak berguna,’” jelas Hong.

“Saya tak bilang operasi plastik itu buruk,” Hong menambahkan. “Yang paling penting adalah percaya diri, berani menyuarakan pendapatmu, berpikiran terbuka dan menghormati karakter orang lain.”