Sel Teror di Indonesia Sanggup Bikin Bom Dipicu Wi-Fi, Niatnya Serang Massa di KPU

Sel Teror di Indonesia Sanggup Bikin Bom Dipicu Wi-Fi, Niatnya Serang Massa di KPU pas 22 Mei 2019

Koneksi nirkabel alias wi-fi amat diidamkan banyak orang yang ingin mengakses Internet gratisan. Sayangnya, karena yang berminat semua orang, maka teroris pun termasuk di dalamnya.

Seorang terduga teroris berinisial EY ditangkap Densus 88 di Bekasi pekan lalu. Terduga teroris tersebut, menurut kepolisian, adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi yang berperan sebagai perakit bom. Bom yang dia siapkan hendak dipakai menyerang mereka yang mendatangi momen pengumuman pemenang pemilu 2019 di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Mei 2019.

Videos by VICE

Keahlian merakit bom, kata polisi, tercermin dari kemampuan EY membuat pemicu yang menggunakan jaringan wi-fi. Juru bicara Mabes Polri Dedi Prasetyo mengatakan bom yang disiapkan EY memakai Wi-Fi, karena saat di lokasi unjuk rasa pilpres 2019 di KPU nanti, dia memprediksi sinyal telepon seluler diacak oleh polisi.

“EY sudah memprediksi di KPU ada jammer handphone. Artinya bahwa saat demo, sinyal telepon seleksi tidak bisa maksimal dioperasikan sebagai switching. Ia memodifikasi switch menggunakan router [untuk meningkatkan sinyal Wi-Fi],” ujar Dedi saat jumpa pers.

Ketika menggeledah rumah EY, polisi menemukan bahan triacetone triperoxide, yang kondang dijuluki mother of satan, alias “induk setan” karena saking besar daya ledaknya. Bahan tersebut menjadi favorit teroris yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), digunakan di sejumlah serangan mematikan seperti aksi teror Paris, Sri Lanka, dan serangan gereja di Surabaya 2018. Tak cuma bahan bom, polisi juga mengungkap bahwa EY termasuk memiliki keahlian yang mumpuni dan berperan sebagai instruktur bom sekaligus penyandang dana.

Pengacakan sinyal oleh polisi sudah menjadi hal biasa saat terjadi unjuk rasa, gunanya untuk mencegah serangan bom yang menggunakan pengendali jarak jauh. Namun Dedi mengatakan mengacak sinyal wi-fi bakal lebih sulit. Dengan menggunakan router untuk memperkuat sinyal wi-fi, seorang calon pengebom dapat mengendalikan serangan dari jarak 200 hingga 500 meter.

Ini termasuk hal baru dalam sejarah teror di Asia Tenggara dan bahkan Timur Tengah. Maklum, di Suriah misalnya, militan ISIS justru mengharamkan warga yang tinggal di wilayah kekuasaannya untuk memiliki internet dan hotspot wi-fi. Namun Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), tak begitu kaget dengan temuan tersebut.

“Cuma butuh satu orang dengan keahlian elektronik, itu saja,” kata Sidney saat dihubungi VICE.

Ada indikasi EY mendapat pelatihan dari WNI yang hijrah ke Suriah belajar membuat bom asap di Aleppo. IPAC lewat laporan terbarunya menduga keahlian bom para anggota JAD hingga saat ini didapat dari manual yang disebarkan oleh Bahrun Naim, lulusan ilmu komputer Universitas Sebelas Maret yang pergi ke Suriah pada 2015 dan menjadi otak serangan teror di Sarinah. Bahrun tewas setelah terkena bom serangan udara pasukan koalisi 2018. Namun ajaran dan teknik membuat bomnya kadung tersebar di tangan militan Indonesia.

“Manual yang tersebar online, pertama lewat blog-nya, kemudian tersebar di media sosial dan akhirnya dikumpulkan menjadi e-book, telah menjadi bacaan wajib untuk setiap calon teroris yang hendak melancarkan aksi,” demikian kesimpulan IPAC dalam laporannya.

Serangan teroris di Indonesia, biasanya menggunakan bahan peledak terimprovisasi (IED) yang tergolong sederhana. Kebanyakan peledak yang digunakan militan Indonesia menggunakan panci (pressure cooker) dan pipa dengan menggunakan bahan-bahan yang relatif mudah didapat seperti potasium klorat.

Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan asumsi soal teknik pemboman sederhana harus dibuang oleh aparat. Pola pikir kelompok teroris selalu dinamis dalam melihat situasi. Apalagi, berdasar informasi yang dia terima, EY punya kecerdasan sebagai orang yang paham dengan teknik elektronika.

“Serangan teror terus berevolusi,” kata Ridlwan kepada VICE. “Tidak menutup kemungkinan bentuk bentuk baru disiapkan mereka.”

Hingga artikel ini dilansir, tak kurang 30 terduga teroris telah ditangkap oleh Densus 88 sepanjang Mei 2019, karena diduga hendak melakukan serangan saat KPU mengumumkan pemenang pilpres, apakah Jokowi atau Prabowo. Polisi menagatakan motif JAD bukan karena mendukung salah satu paslon. Sel teror yang terkait ISIS ini sekadar ingin menewaskan massa sebanyak-banyaknya dalam aksi tersebut, menurut juru bicara polisi, “dengan cara melemparkan bom di kerumunan massa.”

Pada momen 22 Mei, ribuan orang diperkirakan akan menggelar pawai di depan gedung KPU. Plus, serangan ini akan jadi aksi simbolis, mengingat pemilu dianggap sebagai contoh nyata kekafiran mereka yang menolak khilafah Islamiyah di mata pendukung ISIS.

“[Saat] pemilu, kampanye, debat, mereka mungkin akan lakukan serangan, termasuk [saat pengumuman hasil] penghitungan suara 22 Mei,” kata Al Chaidar saat dihubungi BBC Indonesia. “Mereka akan memanfaatkannya sebagai sebuah momen menyerang polisi dari jarak dekat yang tentunya akan mengorbankan nyawa demonstran dan tentunya ini sudah mereka rencanakan.”

Meski tergolong sederhana, IED terbukti mematikan. Di Afghanistan, sepanjang 2018, korban tewas akibat IED mencapai 1.056 orang, dan 2.569 orang lain luka-luka, menurut laporan PBB.

Departemen Pertahanan AS, Pentagon, dalam pernyataan yang dirilis 2012 sempat memprediksi bila penggunaan IED oleh militan akan semakin canggih ke depannya. “[Para militan] akan menggunakan alat elektronik yang fleksibel serta teknologi komunikasi seperti Bluetooth, 4G, Wi-Fi broadband,” begitu hasil analisis Pentagon.

Jaringan wi-fi memang bisa disalahgunakan, dan salah satu pihak yang menyadari itu adalah kepolisian di Mumbai, India menyusul serangan teroris mematikan pada 2008 yang menewaskan 174 orang. Setelah serangan tersebut, polisi di Mumbai berencana menutup jaringan wi-fi yang tak terproteksi setelah berkesimpulan bahwa serangan teroris tersebut sangat dibantu oleh adanya hotspot wi-fi.

“Jika wi-fi di suatu tempat tidak terproteksi password maka polisi berhak memberi peringatan kepada pemilik untuk menutup atau mengamankan koneksinya,” kata juru bicara kepolisian Sanjay Mohite.

Kelompok JAD resmi dibekukan pemerintah pada Juli 2018, setelah pemimpin spiritual Aman Abdurrahman dijatuhi hukuman mati. Kendati begitu, sel-sel independen yang tak memiliki afiliasi dengan JAD justru terus bermunculan, merujuk laporan IPAC.

Contohnya adalah insiden bom di Sibolga, Sumatera Utara pada pada 12-13 Maret yang dilakukan Asmar Husain alias Abu Hamzah, mantan anggota Darul Islam/Negara Islam Indonesia. Istri dan anak Husain tewas dalam insiden tersebut. Husain diketahui tak terikat dengan jaringan JAD dan memilih bergerak secara independen.