Jalan kaki itu sehat untuk badan kita. Selain melatih stamina, mengeluarkan racun lewat keringat, sekaligus—untuk perempuan—bisa dipakai latihan uji nyali karena kalian jadi obyek suit-suitan serta digoda. Iya, catcall maksudnya. Aku yakin hampir semua perempuan yang jalan sendirian pernah menjadi korban catcalling. Metode merespons catcalling tiap orang juga beda-beda, tergantung keberanian sekaligus ‘kemageran’ tiap insan.
Ada yang memilih untuk teriak atau memaki pelaku, sebagian memilih tetap santuy dengan jalan terus dan mencuekki mereka. Itu dua respons utama yang kudapat dari sesama perempuan, saat membahas isu catcalling.
Videos by VICE
Aku sendiri belakangan merasa enggak puas kalau hanya membalas dengan respons yang itu-itu aja. Jadi, aku berpikir, rasanya perlu ada langkah berbeda ketika berurusan sama catcaller.
Alkisah di suatu pagi hari yang cerah, di hari saat aku memutuskan untuk berjalan kaki dari kos ke kantor, aku mendapatkan catcall (lagi). Kali ini aku “disapa” tiga lelaki yang dua di antaranya kutaksir sudah berusia paruh baya. Besar kemungkinan bapak-bapak ini sudah berkeluarga. Mereka bilang “eneng, liat sini dong,” dengan nada setengah menggoda setengah pamer dengan temannya kalau ia sedang beraksi.
Wajah mereka nyengir bangga itu rasanya mendukung pernyataan riset yang menyimpulkan lelaki suka menggoda perempuan di jalanan sebagai ajang bonding dengan teman lelakinya. Astaga, bonding ternyata bisa sekamseupay ini ya. Hadeh…
By the way sebelum aku lanjut, bapak-bapak tadi itu sedang memperbaiki kabel sambungan di tiang listrik loh, dan mereka sempat aja gitu nggodain perempuan yang jalan sendirian. Kejadian itu membuatku muak dan merasa sikap mereka enggak bisa dibiarkan.
Didorong rasa marah itu, aku segera balik badan mendekati mereka, mengeluarkan ponsel, lalu segera memotret mereka. Ekspresi muka mereka langsung kaget bercampur bingung, yang jelas PRICELESS. Terlukis jelas di foto itu ada satu bapak yang sedang bengong, yang masih muda ikutan bengong, dan bapak di ujung paling kanan senyum bingung harus berbuat apa.
Selesai memotret catcallerku, aku segera beranjak pergi. Aku sebenarnya tak berpikir hendak menyebarluaskan foto mereka, tapi dalam benakku, minimal gambar-gambar ini bisa menjadi katarsis buatku sendiri. Bahwa ada hal yang bisa kulakukan untuk merespons pelecehan verbal di jalanan.
Dari sana, aku terpikir untuk menjadikannya eksperimen sederhana. Aku ingin memberanikan diri memotret setiap momen saat mengalami catcalling di jalan, dalam kurun seminggu. Semua foto ini kuambil ketika aku sedang di Jakarta.
Ketidakseimbangan kuasa antara harasser dan korban, kurasa, bisa dibalik berkat kamera ponsel kita. Selama ini catcaller selalu melanggengkan aksi mereka karena mereka tidak pernah berpikir akan ada konsekuensi nyata dari tindakan mereka. Memang, tindakanku ini belum langsung bisa memberi efek jera, sebab kita belum bisa melaporkan catcalling pada aparat.
Di Prancis, menggoda seseorang di jalan masuk tindakan kriminal. Sementara untuk Indonesia, boro-boro, RUU Perlindungan Kekerasan Seksual saja lamban sekali pembahasannya di DPR. Bahkan beleid yang penting itu justru dikritik banyak pihak yang mendukung langgengnya budaya patriarki.
Tapi, sekali lagi, yang diberdayakan dari eksperimen kecil ini adalah diriku sendiri. Aku pun berniat menyebarkan hasilnya di medsosku sendiri.
Sembari memikirkan eksperimen sosial ini, aku menyadari bila keselamatan tetap harus diutamakan. Akhirnya aku membuat aturan mainnya: hanya memotret pelaku bila terjadi di tempat yang terlihat aman, terang, mereka bisa melihatku mengambil gambar, serta dilakukan pada orang-orang yang sekilas tak berpotensi menyakitiku secara fisik.
Siapa sangka, di hari yang sama setelah digoda trio petugas perawatan instalasi listrik itu, aku segera mengalami catcalling berikutnya. Sorenya, aku berjalan melewati sekumpulan pengendara ojek sedang bersantai di taman dekat Blok S, Jakarta Selatan.
Salah satu dari mereka bersiul ketika aku berjalan dekatnya. Dengan tekad bulat aku mengeluarkan handphone dan mencoba memfoto target kedua. Target keduaku ini lebih muda dan beraksi sendirian. Kali pertama coba memfotonya, dia segera bersembunyi di balik badan temannya. Tapi aku tidak kalah gigih memfoto. Akhirnya aku dapat juga wajahnya yang nampak kebingungan.
Di hari ketiga eksperimen ini, aku berjalan melewati pasar blok A, di sana aku di catcall oleh segerombolan bapak-bapak. Lebih dari satu orang berteriak, “cantik, mau ke mana?” sambil tertawa dan menenggak kopi yang mereka pesan dari warung sebelah.
Awalnya aku lumayan gentar mengambil gambar, karena mereka lebih dari dua orang. Tapi aku akhirnya tetap memfoto mereka dengan selfie mode, berjarak sekitar tiga meter dari mereka. Berbeda dari dua pelaku sebelumnya, mereka cuek saat kufoto.
Sambil meneruskan jalan, aku berpikir, memangnya bapak-bapak ini bersedia ya anak perempuannya digoda saat jalan sendirian?
Namun tetap tidak ada yang membuatku lebih kecewa dari semua hal itu dibanding yang kualami saat meliput demonstrasi mahasiswa pada 24 September 2019, hari keempat eksperimenku. Sedari pagi aku menjadi saksi mencekamnya suasana area Senayan, melihat mahasiswa dihujani water canon dan dipukul mundur menggunakan gas air mata.
Di momen demonstran maupun aparat sedang beristirahat untuk salat maghrib, beberapa petugas kepolisian dalam seragam satuan anti huru-hara menggodaku. Mereka memanggil-manggil berombongan, padahal aku hanya sebentar lewat di depan mereka dan aku sedang menjalankan tugas sebagai wartawan.
Hari itu emosiku bercampur aduk menahan kekesalan, sebab harassment ini justru datang dari pihak yang diharapkan dapat melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Setelah aku memotret mereka sekilas (karena emosi hasilnya blur), aku balik badan meninggalkan rombongan aparat itu. Mereka tetap tertawa dan bercanda setelah difoto.
Jadi selama kurang lebih hari kumulatif satu minggu, aku berhasil memperoleh empat foto pelaku catcaller. Apakah hanya itu catcall yang kuterima? Tentu tidak. Sebenarnya ada momen lain lagi, ketika ada catcaller yang berteriak menggodaku saat jalan di trotoar. Dia naik motor, menggodaku, lalu menghilang. Sosoknya tak sempat kufoto.
Memang hanya empat, tapi itupun rasanya sudah terlalu banyak. Bayangkan, ini eksperimen yang kupatok asal saja selama seminggu tanpa banyak rencana. Aku jadi berpikir, berapa banyak perempuan yang harus jalan sendirian di jalanan kota-kota besar mengalami pelecehan verbal macam ini?
Teriakan macam “eneng sendirian aja” atau “yuk sini ditemenin abang” itu tak pernah terasa sebagai sanjungan (sebagian manusia misoginis akan berdalih kalau pujian tersebut hanya disampaikan pada mereka yang ‘cantik’. Omong kosong). Dampak dari aksi ingin tampil keren ini justru kerugian psikis bagi perempuan, seperti trauma jalan di tempat umum.
Minimal, upayaku memotret balik pelaku menunjukkan kadang keberanian kita bisa membuat pelaku menyadari tindakannya memicu rasa tak suka. Ada yang bingung sendiri, ada yang malu. Tapi setidaknya kita sebagai korban—jika memang berani—harus bisa mengirim sinyal ketidaksukaan itu secara tegas ke pelaku. Sebagian dari mereka memang tidak tahu kalau catcall sudah masuk kategori pelecehan.
Jadi kusimpulkan, memotret catcaller-mu rasanya bisa menjadi opsi. Sekali lagi, minimal untuk melawan balik rasa takut dalam dirimu dan membantu kalian lebih berdaya. Asal, tentu saja, lakukan itu sambil menjaga keselamatan kalian.
Elisabeth Glory Victory adalah vlogger sekaligus penulis lepas, bermukim di Surabaya. Follow dia di Instagram.