SEND7 menyelesaikan sebuah ‘throw-up’. Foto oleh penulis.
Waktu menunjukkan lewat tengah malam, saat seorang seniman graffiti berjuluk SEND7 bergantung di sebuah jembatan penyeberangan Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Berdiri di bawah jembatan, saya menyaksikan dia beraksi bersama dua anggota kru BTV021: BONGR dan DARTE1. SEND7 (dibaca “sendseva”) mencoret sebuah throw-up khasnya yang berukuran besar di sebuah billboard kosong. Setelah 20 menit, sepatu Nike usang yang dikenakan SEND7 kembali menyentuh tanah. Ketiga anggota kru BTV meloncat ke atas motor-motor vespa mereka yang butut, bersiap menuju rute ngebom mereka berikutnya. Aksi mereka akan berlangsung semalaman penuh.
Videos by VICE
“Gua bombing di satu tempat nih yang gak ada taggingan-nya, tiga minggu kemudian ada handstyle baru, ada nama nama baru,” jelas SEND7. “Dan gua kalo muter keliling jakarta tuh efek-nya luar biasa banget sih. Sampe sekarang lo liat tiap meter ada coretan, walaupun itu toy, tapi graffiti udah hidup lagi sih sekarang.”
Kru BTV021 (disingkat BTV) dibentuk oleh DARTE1 dan almarhum CNGR, bersama dengan teman-teman satu lingkungan: YUK07, HAPZ, TIROE1, NELI4, FAKER, BAKE, KAJE, DOEMS, dan SEND7.
Jika dibandingkan dengan nama-nama besar di scene street art Indonesia seperti Darbotz, Eko Nugroho atau POPO, maka SEND7 bersama rekan-rekannya di bawah bendera BTV tergolong tidak populer. Mereka bahkan tidak menganggap diri mereka seniman. Bagi kru BTV, graffiti adalah ranah bagi para ‘penulis’—biasa disebut writer. Graffiti bukanlah ‘hanya’ karya seni, melainkan suara jalanan, rekaman hidup para kru dan writer yang menganggap ibukota negara ini sebagai rumah.
“Kalo menurut gue sih, street art tuh seni yang dibawa ke jalan,” jelas SEND7. “Kalo graffiti itu emang dari awal lahir di jalanan.”
Jika kamu tinggal di Jakarta, kemungkinan kamu pernah berpapasan dengan karya SEND7. Coretannya biasanya dapat dikenali dari pemakaian huruf-huruf menggelembung beraksen bintang bertitik enam minimalis, serta ada tag nama SEND7 tercoret dimana-mana. Karyanya simpel merupakan bentuk graffiti yang dibuat secepat kilat, berbeda dari mural-mural yang kompleks karya anak-anak segenerasinya. Perselisihan SEND7 dengan banyak pelaku-pelaku street art lainnya juga kerap terlihat di media sosial.
Saya pertama kali mengenal nama SEND7 setelah melihat unggahan di akun Instagram Darbotz. Nama yang disebut belakangan adalah seniman graffiti ternama dunia lewat motif yang menyerupai sisik berwarna hitam putih dan karakter ikonik buatannya bernama KONG. Unggahan instagram Darbotz memperlihatkan tujuh mural miliknya telah ditiban (istilah khas dunia graffiti ketika sebuah coretan ditimpa oleh gambar lain) dengan huruf mengelembung yang menggunakan bintang bertitik enam. Pelakunya SEND7, lelaki yang eksistensinya di internet nihil.
Foto digunakan seijin BTV021.
SEND7 tidak mudah ditemukan. Banyak seniman graffiti Jakarta tidak bisa membantu saya menemukan sosok satu ini. Ada yang bilang SEND7 sengaja menghindari media sosial sebagai bentuk dedikasi old school terhadap karya-karyanya. Ada juga yang bilang dia punya gangguan mental atau tidak punya ponsel. Setelah seminggu kelimpungan mencari informasi, akhirnya justru SEND7 yang menemukan saya. Dia menambahkan nomor saya di sebuah aplikasi pesan, dan setelah bernegosiasi, dia setuju diwawancarai. Syaratnya? Dia boleh mengajak beberapa anggota krunya.
“Street-nya dimana? Dia ngaku street art, tapi street-nya itu dimana? Graffiti ya graffiti, street art ya street art.” —BONGR
Saya bertemu dengan SEND7, BONGR dan DARTE1 di luar minimarket Panglima Polim. Mereka sengaja mengenakan sneaker belel dan hoodie untuk melindungi identitas pribadi. Pada malam itu mereka akan ngebom tembok-tembok di Jakarta, termasuk beberapa lokasi yang riskan.
Awalnya, mereka enggan membuka mulut di hadapan saya. Namun ketika kami hendak menuju Tendean dan Mampang Prapatan, salah seorang dari mereka mulai berbicara.
BONGR menjelaskan bahwa baginya graffiti seperti iklan yang ilegal. Namun alih-alih mempromosikan sebuah merek atau bisnis, karya graffiti mempromosikan nama pembuatnya. Kru BTV memfokuskan karya mereka dalam bentuk tags dan throw-ups— bukan mural yang lebih wah—karena inilah dasar dari gaya graffiti. Tags dan throw-ups merupakan perwujudan akar dari kultur graffiti—pemberontakan, kebusukan kota, dan hip-hop. BONGR dan kru BTV juga menganggap graffiti sebagai tindak kriminal. Biarpun kancah graffiti Indonesia sudah diakui berkat kehadiran street art, BTV tidak peduli dengan sikap sok artistik.
“Street-nya dimana?” BONGR mengeluh. “Dia ngaku street art, tapi street-nya itu dimana? Graffiti ya graffiti, street art ya street art.”
Kru BTV sangat kritis menyoroti kultur graffiti di Tanah Air yang makin “ngepop” sekarang. Metode bombing mereka yang puritan merupakan cara melawan para street artist mainstream yang—menurut mereka—hanya berkarya di jalanan untuk menciptakan hype demi proyek komersil.
“Mereka di jalanan tuh cuman beriklan aja sih, gua ngeliatnya.” kata SEND7. “Abis itu mereka balik ke ruangnya masing-masing, terserah itu apaan.”
Setelah putar-putar sejenak, kami menyambangi sebuah jembatan penyeberangan kosong di atas jalan tol Jakarta Selatan. Jembatan ini kerap menjadi tempat nongkrong kru BTV. Nyaman di ‘markas’ mereka, SEND7 akhirnya mulai menjelaskan perseteruannya dengan Darbotz.
“Niban Darbotz? Alesan gue? Karena dia emang ngambil spot gua,” jelasnya. “Nah di spot sebelah kirinya gua tuh enggak ada gambar, masih kosong. Yang dipertanyain kenapa dia harus ngambil spot gue.”
Kejadian ini menjadi sebuah drama yang ramai di media sosial. Saking ramainya, isu yang penting terabaikan menurut SEND7: Darbotz yang mulai duluan.
“Ya intinya sih gua ngambil sikap aja. Gua enggak peduli dia udah lama ya,” katanya. “Kalo spot gua diambil, gua harus ambil balik.”
Saya menghubungi Darbotz untuk berkomentar, tapi tidak ada respon.
BTV mengatakan bahwa semua drama and huru-hara yang terjadi menunjukkan ada yang salah dengan kancah graffiti Jakarta: scenenya terlalu lembek. Para pelopor scene graffiti macam KIMS, LUCENT, GRAVER, KROM dulu menguasai jalanan. Namun para seniman dan writer masa kini hanya tertarik dengan estetik visual graffiti, tapi tidak dengan kulturnya. Scene ini menjadi semacam kontes adu teknik dan siapa yang menggunakan pilox paling mahal. BTV berusaha menunjukkan pada writer generasi muda bahwa graffiti paling utama adalah membahas ekspresi, bukan teknik semata. Graffiti merupakan ekspresi penyaluran agresi di tengah kehidupan kota yang ramai dan hiruk pikuk—ketika orang-orangnya lebih peduli dengan uang dan konsumerisme.
“Jakarta tuh udah keras,” kata BONGR. “Lo enggak usah sok sok lunak, untuk ngebenerin scene Jakarta jadi lemes, jadi damai gitu, enggak sih. Menurut gua tuh Jakarta emang harus dikerasin lagi, makin dikerasin supaya orang-orang respek yang datang kesini.”
Kebanyakan anggota kru BTV merupakan teman satu lingkungan yang dipertemukan lewat ketertarikan mereka dengan street culture macam graffiti, hip-hop, skateboarding, dan BMX.
“Awalannya ini kru sebenernya bukan bertujuan buat graffiti, soalnya emang gua udah beberapa temen yang udah dibilang satu atap,” jelas DARTE1. “BTV nama untuk kita-kita aja.”
“Temen gua tuh, si almarhum [CNGR] hooligan banget, hooligan Persija banget. Makanya gua kasih, Lagi nyoret-nyoret kan ya, gua bikin tulisan BTV, ‘BTV apaan tuh?’ ‘Batavia, gua bikinin nih buat lo’ terus gua kasih ke dia.”
Bagi banyak orang, Batavia adalah nama lama Jakarta ketika masih dalam penjajahan Belanda. Namun bagi para kru BTV, Batavia yang ada dalam pikiran mereka adalah kota milik mereka sendiri.
“Soalnya dia-dia orang doang nih yang keliatan, ” kata DARTE1 soal krunya. “Kecuali kalo gua masuk komplek ya kan? Gua masuk dalam komplek orang. Mungkin keliatan gambar orang lain. Sedangkan kalo jalur gua kan, mau berangkat kemana, cuman anak anak doang yang lain enggak keliatan.”
Aktivitas graffiti BTV sangatlah berbahaya. SEND7 pernah patah lengannya ketika jatuh dari kotak lampu papan billboard di Kemang. Pernah juga kepalanya dipukul dengan kaleng pilox yang dia bawa oleh seorang satpam.
“Kalo gue sih dipukulin sekuriti pasti,” kata BONGR. “Kepala gua penyok dipukul pake bambu di bioskop pamulang”
Awalnya bermula sebagai penyaluran rasa frustrasi, kini graffiti menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. SEND7 mengatakan bahwa keluar malam-malam ngebom sudah seperti gosok gigi atau mandi. Mengapa mereka ngotot berkutat di dunia graffiti biarpun ada resiko ditangkap, dipukuli, dan jadi ocehan di internet? Ngapain buang-buang waktu bikin tags dan throw-up di jalanan kalau gak ada keinginan untuk membuat karya street art yang komersil?
“Itu untuk diri gua sih.” jelas SEND7. “Kalo diri gua tuh pernah ada di dunia ini, sejarah gua.”
Renaldo Gabriel adalah jurnalis tema-tema larut malam untuk VICE Indonesia. Dia penulis yang buruk, tapi masakannya enak.