Penangkapan 42 mahasiswa asal Papua Barat di Surabaya akhir pekan lalu berbuntut panjang. Kericuhan pecah di Manokwari, Sorong, Papua Barat; dan Jayapura, Papua. Massa aksi menyuarakan protes atas persekusi dan rasisme yang dilakukan aparat dan ormas terhadap mahasiswa yang sedang belajar di Jawa Timur.
Polisi sempat membantah soal ucapan rasis dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua Barat. Polisi justru menyalahkan media sosial sebagai biang pemicu kerusuhan. Juru bicara Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan provokasi lewat medsos itulah yang menyebabkan masyarakat Manokwari, Papua Barat, turun ke jalan dan berujung kerusuhan pada awal pekan ini. Kepolisian, kata Dedi, telah melakukan profiling dan pengecekan terhadap akun yang menyebarkan provokasi tersebut.
Videos by VICE
“Jika ada unsur melawan hukum [dari penyebaran video pengepungan asrama mahasiswa Papua Barat], maka akan ditegakkan,” kata Dedi saat jumpa pers.
Dedi mengatakan penangkapan terhadap 42 mahasiswa Papua Barat di Surabaya tersebut telah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun, konten media sosial yang tersebar telah membentuk opini masyarakat bahwa ada diskriminasi dan persekusi dalam proses penangkapan itu.
“Peristiwa Surabaya sendiri sudah cukup kondusif dan berhasil diredam dengan baik. Tapi karena hal tersebut disebarkan oleh akun yang tidak bertanggungjawab, membakar atau mengagitasi mereka dan dianggap narasi tersebut adalah diskriminasi,” ujar Dedi.
Keterangan polisi kontradiktif dengan pernyataan pemerintah. Menteri Koordinator Hukum dan HAM Wiranto serta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui kericuhan dipicu pernyataan yang kurang etis.
“Kemarin ada kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang membuat kata-kata kurang nyaman, sehingga mungkin saudara kita terusik di Papua,” ucap Tito di Surabaya, Senin siang.
Sementara Wiranto mengatakan kerusuhan itu dipicu pernyataan negatif aparat dan sejumlah oknum masyarakat usai dugaan pengrusakan bendera Merah Putih.
“Pemerintah menyesalkan adanya insiden yang saat ini sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum yang memicu aksi di beberapa daerah terutama di Papua dan Papua Barat yang nyata-nyata mengganggu kebersamaan dan persatuan kita sebagai bangsa,” kata Wiranto dalam konferensi pers.
Meski polisi percaya penangkapan mahasiswa dilakukan sesuai prosedur, faktanya terjadi diskriminasi rasial dan persekusi. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan polisi telah membiarkan ungkapan bernada rasisme terlontar tanpa ada upaya untuk mendamaikan. Ditambah, polisi telah menggunakan kekuatan berlebihan untuk menangani situasi dengan menggunakan gas air mata dan pendobrakan.
“Ini adalah sinyal rendahnya penghormatan terhadap hak asasi manusia Papua sekaligus sinyal memburuknya situasi HAM di Papua,” ujar Usman kepada VICE.
Kini, polisi berjanji mencari sosok yang melontarkan kata-kata rasis pada para mahasiswa di dalam asrama. Janji itu disampaikan Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan. Dia juga berjanji akan berkoordinasi dengan ormas dan militer yang terlihat dalam video viral merekam ucapan rasis tersebut. “Ini kita lagi selidiki dan sudah kita komunikasikan berita-berita ini, dan kita ada pihak-pihak yang memang akan komunikasikan dengan instansi terkait,” ujarnya seperti dilansir CNN Indonesia.
Jajaran pejabat di Jawa Timur meredakan situasi dengan meminta maaf pada mahasiswa Papua atas ucapan rasis saat pengepungan. Apalagi tudingan pematahan bendera merah putih tak terbukti.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang lebih dulu meminta maaf. Dia juga siap bertandang ke Papua, berkoordinasi dengan pemerintah daerah masing-masing, demi meredakan suasana. “Yang terkonfirmasi ke beberapa elemen kemudian menimbulkan sensitivitas adalah kalimat-kalimat yang kurang sepantasnya terucap. Saya ingin menyampaikan bahwa itu sifatnya personal itu tidak mewakili masyarakat Jatim,” kata Khofifah di hadapan awak media. “Seluruh mahasiswa Papua yang sedang studi di Jatim mereka akan terjaga keamanannya mereka akan terlindungi.”
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini turut meminta maaf atas insiden rasis tersebut. “Kalau memang itu ada kesalahan di kami di Surabaya, saya mohon maaf,” ujarnya. Risma, sapaan akrabnya, sempat berencana mendatangi asrama mahasiswa Papua Barat pada Selasa 20 Agustus 2019, namun kemudian batal.
Berikutnya Wali Kota Malang, Sutiaji, turut meminta maaf terhadap pelajar asal Papua. Wakilnya, Sofyan Jarwoko, sempat mengucapkan ancaman mengusir mahasiswa Papua ketika pengepungan dan ketegangan serupa terhadap mahasiswa asal Papua terjadi di wilayah Kota Malang. “Atas nama Pemerintah Kota Malang, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Kemarin itu di luar pengetahuan kami,” kata Sutiaji. Akun medsos Sofyan masih dihujat oleh warganet atas ucapannya. Gubernur Papua Barat juga menuntut sang wakil walikota Malang meminta maaf.
Di Medsos, berkembang tagar solidaritas #Papuabukanmonyet dari berbagai kalangan, termasuk para pesohor industri hiburan Tanah Air. Mereka menyesalkan perlakuan rasis aparat dan ormas terhadap warga Papua. Selain itu, pendukung tagar ini menuntut pemerintah menangkap sosok yang melontarkan ucapan rasis, agar ketegangan di Papua mereda.
Di Manokwari, kondisi sudah mereda. Massa kemarin sempat membakar ban, kayu, dan sejumlah barang di jalan raya. Kantor DPRD turut dilalap api akibat kemarahan massa. Lalu lintas mandek dan kegiatan warga lumpuh. Sementara di Jayapura, warga melakukan longmarch dari berbagai kawasan di sekitar Wamena, Abepura, dan Kotaraja menuju Kantor Gubernur Papua. Sementara di Sorong, massa yang tengah berdemo memprovokasi narapidana hingga terjadi kericuhan di Lapas Sorong Kota dan mengakibatkan 258 narapidana melarikan diri.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay dalam pernyataan tertulisnya menilai ada pelanggaran HAM dalam tindakan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat lalu. Sebab ada intimidasi dan pernyataan rasis serta penangkapan disertai kekerasaan, katanya dikutip CNN Indonesia.
“Kami mendesak Komnas HAM menginvestigasi kasus dugaan pelanggaran HAM karena telah terjadi pembiaran dari tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oknum TNI, Polri, Pol PP, dan ormas di Jatim terhadap mahasiswa Papua,” ujar Gobay dalam keterangan tertulis yang diterima VICE.
Insiden pengepungan di asrama mahasiswa Papua Barat bermula dari beredarnya foto pengrusakan bendera Merah Putih di grup WhatsApp. Dari situ, berbagai anggota ormas beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila mengepung asrama, sembari melakukan intimidasi dan pengrusakan.
Salah seorang anggota ormas, Muhammad, datang bersama ratusan orang setelah melihat foto tiang bendera merah putih yang telah dipatahkan oleh mahasiswa Papua. Foto itu sendiri, kata Muhammad sudah beredar di grup-grup media sosial.
“Di satu grup ( WhatsApp) bendera merah putih dipatah-patahkan dan dibuang di selokan, ini kelihatan kan tiang-tiangnya, saya lihat di grup Aliansi Pecinta NKRI,” kata Muhammad, dikutip awak media.
Polisi yang telah memeriksa ke-42 mahasiswa tersebut tak memiliki cukup bukti atas dugaan pengrusakan bendera. Mereka lantas dibebaskan usai pemeriksaan. Berita soal pengepungan disertai penangkapan tersebut lantas menyebar ke berbagai daerah.
Insiden di Surabaya, hanyalah satu dari sekian banyak preseden buruk terhadap masyarakat Papua. Pada 15 Agustus lalu, saat aksi unjuk rasa memperingati Perjanjian New York 1962 antara Indonesia dan Belanda terjadi di sejumlah daerah, ratusan demonstran ditangkap aparat, menurut situs pemantau HAM Tapol.org.
Dari catatan Tapol.org ada 169 pengunjuk rasa ditangkap dan 30 orang terluka di sejumlah daerah meliputi Jawa Timur, Jawa Barat, Maluku Utara, Maluku, Yogyakarta, Jakarta, dan Papua Barat. Belum ada pernyataan resmi dari kepolisian terkait hal ini.
Di Ternate, massa yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mengaku mendapat perlakuan represif dari aparat kepolisian dan TNI saat hendak melakukan aksi di Kota Ternate, Maluku Utara. Sementara di Malang, 56 pelajar yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dibubarkan paksa dan diserang oleh anggota masyarakat yang dijaga kepolisian.
Ini belum termasuk serangkaian kasus represif dan diskriminatif yang dialami mahasiswa Papua di Yogyakarta dalam kurun satu dasawarsa terakhir. Sepanjang 2016, pengepungan aparat di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara hampir terjadi setiap bulan. Sampai-sampai Komnas HAM mengaku akan turun tangan memantau dugaan kekerasaan aparat di Yogyakarta. Mayoritas pengepungan terjadi karena adanya isu mendukung referendum Papua Barat.
Jadi, kejadian di Surabaya itu jelas tidak muncul begitu saja. Ini membuktikan bahwa sentimen rasisme telah mengakar sedemikian rupa. Ia cuma menunggu dipantik. Selama masyarakat dan aparat tak diberikan pendidikan soal kesetaraan, insiden Surabaya jelas bakal terulang.