Musisi di luar label arus utama adalah zona hip hop paling subur saat ini di Indonesia. Rapper, MC, atau beatmaker anyar bermunculan bak jamur di musim hujan. Berkat hip hop independen, fans tak lagi kesulitan menemukan rilisan hip-hop yang layak dengar seperti satu dekade lalu. Sekarang sebaliknya, malah kita yang kewalahan menyimak satu per satu single, remix, EP dan album penuh musisi hip-hop bawah tanah yang muncul belakangan. Meminjam kalimat pembuka liner note Pretext For Bumrush—sebuah kompilasi hip-hop lokal yang banyak dibicarakan tahun lalu—Hip-hop lokal memasuki rentang waktu paling krusial, sekaligus pula terbaiknya tiga tahun terakhir.
Tanpa bermaksud mengerdilkan peranan sosok lainnya, ada satu orang yang punya sumbangsih besar dalam mengkilapnya lanskap hip-hop lokal. Dialah Senartogok, produser, beatmaker, sekaligus MC asal Bandung.
Videos by VICE
Pria kelahiran Sibolga, Sumatra Utara ini piawai mengorbitkan MC/Rapper yang sebelumnya belum pernah masuk studio rekaman. Tarjo, begitu Senartogok kerap memperkenalkan namanya, adalah sosok di balik meroketnya Joe Million, MC debutan asal Papua yang awal kemunculannya langsung bikin pendengar hip-hop se-Indonesia ternganga dua tahun silam. Senartogok ikut menukangi album Rand Slam, Reimajinasi, yang sukses menabalkan Rand Slam sebagai wordsmith paling berbahaya saat ini. Dalam waktu dekat, Maraton Mikrofon—label yang didirikan dan dikelola mandiri oleh Senartogok, bakal melepas HURJE! Maka Merapallah Zarathustra, album perdana MC asal Simalungun, Pangalo!, diprediksi redaksi VICE bakal jadi proyek hip-hop paling menarik 2018.
Senartogok bergerilya dengan modal semangat, menjaga nyala api hip-hop dengan modal utama jaringan Soundcloud. Lewat akun pribadinya, Senartogok merilis single, snippet hingga remix karyanya atau roster-roster Maraton Mikrofon. Sakingnya, rajinnya Senartogok mengunggah proyek-proyek hip-hop baru di sana, akun Soundcloud Senartogok bisa jadi jalan singkat menemukan single hip-hop teranyar di Tanah Air. Singkatnya, bila MC legendaris Chuck D menyebut hip-hop sebagai “CNN-nya orang kulit hitam,” kita bolehlah melabeli akun Soundcloud Senartogok sebegai “Metro TV-nya kancah hip-hop Indonesia.”
VICE Indonesia baru-baru ini berkesempatan mewawancarai Senartogok di tengah kesibukan mengurus Maraton Mikrofon, berjualan beat, mengurasi bakat-bakat hip-hop tersembuyi di tanah air, hingga menggarap album lagu anak-anak. Pada salah satu reporter kami, Senartogok menjabarkan asyiknya melejitkan MC underrated, memperkuat jejaring hip-hop dan mengelola label berfalsafah “modal balik syukur, kalau untung donasiin, kalau rugi tambal sulam.”
VICE: Halo Tarjo. Semua karya yang elo bikin dan produseri dirilis lewat label Maraton Mikrofon, bisa tolong cerita sedikit tentang label ini?
Senartogok: Maraton Mikrofon adalah sub-label yang didirikan pas gue merilis album Vulgar-nya Joe Million, November 2016. Label ini lahir dari proses berkarya. Inisiatifnya [datang] tiba-tiba. Awalnya, Maraton Mikrofon kan judul yang gue garap bareng Joe, Rand Slam, dan Doyz. Dalam proses penciptaan lagu, kami sering ngumpul dan ngobrol banyak. Dari lagu lantas jadi nama forum dan kanal japri-japrian. Akhirnya, Maraton Mikrofon jadi sebuah sub-label di bawah Propagasi Records milik Perpustakaan Jalanan. Eh Propagasinya enggak jalan. Yo wes, Maraton Mikrofon yang diteruskan, merilis ini itu [tak cuma rilisan hip-hop] termasuk album Nyanyian Bintang dan Kompilasi Festival Kampung Kota.
Elo rutin menggunakan Soundcloud untuk menunjang promosi dan distribusi rilisan-rilisan Maraton Mikrofon. Ada alasan di balik pemilihan Soundcloud?
Jauh hari sejak 2009, gue sudah rilis fisik di lapak-lapakan, acara-acara komunitas, gigs, sampai pentas kecil. Distribusinya langsung di lapangan. Bikin materi, rekam, cetak fisiknya, tentuin harga. Namun, internet jadi tantangan buat pecinta rilisan fisik kayak gue biar bisa rilis album. soalnya orang-orang hari ini lebih banyak menggunakan internet. Baca berita, jual-beli, cari informasi, cari bahan tugas kuliah, sampai koleksi musik, semua dari internet. Soundcloud sebenarnya cuma salah satu platform musik yang ujung-ujungnya jadi media distribusi musik. Kan banyak tuh, dari Myspace, Reverbnation, Mixcloud, 8tracks dll. Gue jadiin Soundcloud sebagai tempat upload single, remix, dan materi lainnya. Bahkan, Sejak 2017 awal lalu, [akun Soundcloud] gue sampai disetting premium segala. Biayanya 114 dollar kalau gak salah. Kebetulan disubsidi sama kawan namanya MG, rapper juga. Nah, ‘gerak’ dunia maya yang gue maksud tadi adalah [opsi] pindah ke Spotify, Itunes dan sejenisnya buat ngejaga teman-teman yang biasanya beli [rilisan] fisik gue. Jadi intinya, web-web sejenis itu hanya buat promosi rilisan fisik gue sih. Enggak mesti soundcloud aja, kita engak tahu ke depan apalagi web penyedianya.
Ada pengaruh pemanfaatan Soundcloud ke omzet Maraton Mikrofon?
Ngaruh. Cuma [single atau remix] tetep dipasang di soundcloud. Fungsinya kayak “tester” kalau kita jualan kue.
Roster-roster Maraton Mikrofon dan rapper di Indonesia pasarnya masih niche. Apa tantangan mengelola label rekaman pasar yang kecil di lanskap industri seperti sekarang?
Sebenarnya tujuan sejak awal [prinsipnya] “Friends not Fans” dan itu cukup massif di lingkup kecil pasar gue. Artinya, musik gue pada akhirnya kayak soundcloud juga, semacam tester juga buat tujuan perkawanan. Gampangnya, nyari teman lewat gegonjrengan. Gue cuma mengaplikasikan cara promosi ala Perpustakaan Jalanan, cuma medianya musik. Jadi agak sok sih sebenarnya, kalau gue bilang gue enggak nyari profit. Cuma memaksimalkan keuntungan ke tujuan-tujuan hidup mungil yang lain. Lagian dari, gue sadar sejak awal yang gue dengerin [dan rilis] segmented banget. Makanya gue pengin banget mengubah hubungan gue dengan roster-roster Maraton Mikrofon jadi sebuah komunikasi baru. Gue pengin bikin hal-hal baru bareng mereka. Jadi tantangan terbesarnya adalah gimana ngejaga untung-rugi-modal produksi. Kalau di Maraton Mikrofon sendiri, kita punya anekdot begini “modal balik syukur, kalau untung donasiin, kalau rugi tambal sulam.”
Nah ngomong-ngomong roster nih, Kenapa lo telaten mengangkat sosok rapper/MC yang masih belum dikenal, bahkan di kalangan pegiat hip hop lokal?
Ada dua alasannya. Pertama, karena mereka teman baik gue. Yang kedua karena gue juga enggak terlalu dikenal juga. Enggak ada kayaknya kriteria lainnya. Yang mau diaplikasikan justru itu. Bikin rilisan itu purba banget falsafahnya. Semacam “ Gue punya musik, coba gue rekam, mayan layak, distribusiin kecil-kecilan ah” Dari situ baru muncul pertanyaan lain: Siapa yang beli? Enak gak ya bikinan gue? Laku berapa ya entar? Manggungnya dimana? Promosiinnya gimana ya? Berarti kan kita kudu jadi mawas diri dan tahu kekuatan serta harapan. Kadang gue membatin “Rilis aja ah, kawan ada lah pasti yang beli, beberapa bisa bantu bikin promo, bikin ini bikin itu, garap video ah, bla bla bla“. Ada 17 album coba gue garap sama kawan-kawan. Ternyata kami menyimpulkan, untuk sementara ini, bahwa musik-musik ini punya hubungan, kerjasama, dan kolektivitas yang kuat meski kecil ruang lingkupnya.
Pendeknya, [mengorbitkan rapper baru itu- red] semacam bareng-bareng ngangkat teman senasib sepenanggungan setakdir sebotolan ini. tantangan besar: bagaimana roster ini bikin sesuatu yang memang punya daya jual, daya estetis, dan juga daya daya lain. Untuk rilisan selanjutnya, gue mau rilis Pubriot, Eviction, Bankshot. Ada yang tahu ketiga band itu? Hehehehe
Terakhir nih, apa terobosan yang menurut elo belum pernah digarap komunitas hip hop Indonesia dalam konteks distribusi karya?
Kayaknya enggak kalau soal jalur distribusi, cukup dengan yang segmented begini. Jenis rilisan paling ya [harus diperbanyak] semacam album remix, album mash up, instrumental cutz gitu. Tapi, sepertinya [diversifikasi jenis rilisan hip-hop] lagi jalan. Da Kriss sama Densky sudah berani rilis intrumental hip-hop. Belum lagi, Dangerdope baru-baru ini via Uprock 83 ngeluarin beat tape hasil sample dari film Gejolak Kawula Muda. Gue sendiri sempat mengggarap 4 album remix secara digital. Rencananya bakal gue rilis dalam bentuk fisik juga.
Seri ‘The Road‘ adalah hasil kolaborasi VICE X Tokopedia menghadirkan profil orang-orang yang sekilas biasa, tapi berani mengejar mimpi, melawan keraguan, dan berbagai hambatan sampai akhirnya sukses memulai, berproses, hingga menjadi hebat di bidang masing-masing. #MulaiAjaDulu