Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES
Jumat, 24 April 2018, adalah hari bersejarah bagi rakyat Semenanjung Korea. Dua pemimpin negara yang terus bertikai sepakat bertemu membahas pelucutan senjata nuklir hingga kemungkinan damai, mengingat perang antara Korea Selatan dan Korea Utara tak pernah resmi berakhir lebih dari setengah abad. Kim Jong-un, diktator pemimpin Korut, bahkan menjadi pemimpin negaranya yang pertama menginjakkan kaki di wilayah Korsel setelah gencatan senjata terjadi pada 1953. Media melaporkan Kim bercanda dan berusaha meredakan ketegangan saat bercakap-cakap dengan Presiden Korsel Moon Jae-in. Akankah kedua negara bersedia mengakhiri konflik?
Videos by VICE
Sayangnya, cerita kali ini datang dari MUNCHIES, situs bagian dari VICE yang mengulas serba-serbi dunia kuliner. Kami tak berencana membahas politik (terlalu banyak). Sebaliknya, ini cerita sederhana tentang dampak dari konflik Korea yang merembet sampai meja makan: semua gara-gara pizza.
Begini awalnya.
Selain kegemaran pada semua hal berbau militeristik, mengembangkan senjata nuklir, serta berbohong tentang kemampuannya bermain, mendiang diktator Korea Utara Kim Jong-il rupanya sangat menggemari pizza. Dia bermimpi membuka restoran pizza di Korut, sampai mengirim koki dari negaranya belajar ke Napoli dan Roma, Italia, agar mereka dapat membawa rahasia kenikmatan pizza kembali ke Pyongyang.
“Salah satu perwira Korut yang sedang dalam pelatihan bersama Chef Ermanno Furlani sampai bertanya soal jarak presisi di mana zaitun harus ditempatkan pada pizza,” sebagaimana dituturkan laporan surat kabar the Guardian yang terbit 2009.
Pada 2008, niat Kim Jong-il kesampaian. Dia membuka restoran yang sudah lama ditunggu-tunggu—namanya sederhana saja: “Restoran Pizza”. Sajian di dalamnya menggabungkan tepung, mentega, dan keju dari Italia. Kim Jong-il bersama anggota lain dari elit partai tunggal yang berkuasa di Korut dapat memiliki irisan pizza terbaik (dan satu-satunya) di sisi selatan Semenanjung Korea.
“Jenderal Kim Jong-il mengatakan rakyat negaranya harus memiliki akses ke hidangan terkenal di dunia,” kata manajer restoran tersebut, Kim Sang-Soon, yang diwawancarai seusai pembukaan restoran. Sayangnya pemimpin totaliter macam Kim Jong-il cenderung suka bohong. Walaupun janjinya membuka akses terhadap orang biasa, faktanya restoran tersebut tak bisa dikunjungi mayoritas warga Korea Utara. (Padahal nih, pertengahan dekade 90’an, saat Kim melamun dan bermimpi tentang topping pizza, lebih dari 2 juta rakyatnya mati karena kelaparan dan kekurangan gizi).
Tidak lama setelah Restoran Pizza dibuka, seniman Korea Selatan, Hwang Kim, memutuskan pizza tidak boleh dinikmati oleh Kim Jong-il dan kroni-kroninya saja. Dia mulai mengerjakan serangkaian empat film pendek, yang dia harap dapat memperkenalkan orang Korea Utara pada beberapa aspek budaya Barat—sekaligus memperkenalkan pendidikan kuliner Barat pada rakyat di negara yang sangat tertutup itu.
“Di Korea Utara, ada akses yang sangat terbatas terhadap pengaruh dari budaya lain, untuk orang biasa. Budaya Barat yang ada pun dikontrol secara ketat,” kata Hwang Kim saat diwawancarai Deutsche Welle. “Pemimpin politik Korut memiliki hak istimewa tentunya. Dan tiba-tiba ada restoran pizza di Korea Utara. Tetapi sangat sedikit orang lokal yang benar-benar bisa makan di sana.”
Di film buatannya, yang diberi judul oleh Hwang Kim “Pizza for the People” alias “Pizza untuk Rakyat”, ia mendalami gagasan spekulatif: apa yang akan terjadi andai Korea Utara menjadi negara demokrasi? Dua aktor laki-laki dan perempuan diminta Hwang Kim membintangi setiap filmnya, yang menampilkan empat skenario. Termasuk di dalamnya instruksi untuk membuat pizza (lengkap sama panduan membuat adonan kentang), mengemasi koper untuk pergi ke luar negeri, merayakan Natal, serta “caranya menjadi trendi dengan menguasai tarian pop.”
“Estetika film ini saya kemas semacam campuran antara gaya sinetron dan video rumahan,” kata Kim. “Kami ingin menggunakan nada satir, untuk mencoba dan menjelaskan sesuatu kepada rakyat Korea Utara tentang gaya hidup Barat.”
Setelah pembuatan filmnya selesai, Kim me-burn video itu ke dalam 500 keping DVD. Dia menyerahkan kopi DVD tadi kepada lima penyelundup yang lantas menyelundupkannya melintasi perbatasan, masuk ke negara tetangganya yang tertutup itu. DVD didistribusikan di pasar gelap. Kim sampai sekarang tidak tahu berapa banyak orang Korut yang akhirnya melihat filmnya, atau apakah para penyelundup benar-benar mendistribusikan semua keping filmnya. Minimal, Kim mengaku telah menerima foto dan surat dari orang-orang di Korut yang berhasil membuat pizza mereka sendiri setalah itu.
Kim baru-baru ini mempresentasikan keempat bagian film dokumenter di sebuah festival teater di Heidelberg, Jerman. Kami yakin, ketika penonton berjalan pulang melewati restoran pizza sepanjang jalan, mungkin mereka merasa sedikit lebih beruntung dan mensyukuri hidup.