Pemandangan indah tertoreh dalam lukisan yang terbuat dari air tercemar dan sampah, menyiratkan kerusakan alam yang telah kita ciptakan. Media visual kerap dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran manusia akan masalah lingkungan. Ideologi inilah yang ditangkap Mariah Reading, seniman ekologis asal Maine, Amerika Serikat, dalam karyanya yang “mengaburkan batas antara pemandangan dan tempat pembuangan sampah”.
Reading menyambangi pantai dan taman nasional cantik untuk memungut sampah-sampah yang dibiarkan teronggok di sana. Setelah itu, dia melukis pemandangan sekitar pada benda yang dibuang pengunjung. Reading ingin mengampanyekan pentingnya membuang sampah pada tempatnya, serta mempertanyakan apakah manusia dan sampah terpisah dari lingkungan atau terintegrasi dengannya.
Videos by VICE
Besar dalam keluarga artistik di lingkungan Maine yang indah, Reading sangat suka melukis pemandangan semasa sekolah dulu. Dia terinspirasi oleh para pelukis Impresionis. Namun, dia baru mulai menghasilkan karya yang sadar lingkungan sebelum lulus kuliah.
Reading tersadar sebagian besar peralatan lukis akan berakhir jadi sampah, seperti tong besar beton dan karet yang dibutuhkan untuk membuat cetakan. “Semuanya akan terbuang sia-sia jika campuran [air atau cat] tidak tepat, lalu menghasilkan sampah basah yang berat,” katanya kepada VICE.
“Dari situlah saya terpikir mengganti peralatan. Untuk proyek kelulusan, saya mengumpulkan sampah buat dijadikan kanvas, lalu melukis pemandangan pada benda itu.”
Sementara tugas akhir menyadarkannya akan ironi bahwa alat yang digunakan pelukis pemandangan dapat menghasilkan sampah, risetnya selama inilah yang mendorong Reading untuk berkontribusi dalam upaya konservasi. Tak lama setelah lulus kuliah, dia memulai misi memungut sampah di tempat-tempat paling indah di dunia.
Sampah kaleng bir, keyboard, alat pendeteksi asap dan botol adalah harta bagi Reading. Dia mengubah apa yang sebelumnya mengotori lingkungan menjadi kanvas untuk lukisan yang memesona. Sang seniman juga tertarik dengan sepatu dan sandal yang dibuang begitu saja, karena barang bekas ini merupakan jejak sungguhan dari sampah yang dihasilkan manusia.
“Saya biasanya menggendong tas ransel berisi peralatan lukis,” tuturnya. “Jika saya menemukan sampah saat mendaki dan keadaan sekitarnya bagus, saya akan langsung melukis pada sampah itu. Kalau kayak begini, saya bisa melihat warna dan gerakan apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam lukisan.” Apabila cuacanya tidak mendukung atau visinya terlalu besar, dia akan memfoto pemandangan dan menumpahkannya ke lukisan di dalam studio. Dia juga suka mencari sampah di pusat daur ulang, atau menggunakan kaleng dan botol bekasnya sebagai kanvas.
Sejauh ini, Reading telah berkelana dari Hawaii sampai Kutub Utara. Dia menginisiasi aksi bersih-bersih untuk membantu masyarakat setempat. Dulunya dia mencari pekerjaan paruh waktu di kedai dan restoran dekat tempat yang dikunjungi, tapi sekarang dia melakoni residensi di berbagai taman nasional Amerika Serikat. Dia juga menggelar lokakarya seni lingkungan selama residensi. Warga diajak memungut sampah sambil belajar melukis.
“Taman Nasional Denali di Alaska paling menggugah inspirasi,” ujar Reading. “Saya berasal dari Maine yang iklimnya sedang, jadi saya merasa takjub bisa melihat hamparan lingkungan di wilayah Tundra, bertemu beruang, menyaksikan bunga liar tumbuh di salju, dan hidup di antara kegembiraan dan ketakutan.”
Dia juga tidak bisa melupakan kunjungannya ke Antartika pada saat musim panas. “Orang cenderung lupa dengan perubahan iklim karena tinggal di iklim sedang, tapi akan langsung menyadari seberapa cepat perubahannya jika mengunjungi Kutub Utara dan Selatan. Kalian akan melihat bagaimana lapisan es semakin menipis, dan hewan-hewan kehilangan habitatnya. Pemandangannya cepat berlalu, sehingga saya merasa harus melestarikannya dalam lukisan.”
“Seni mampu membuat manusia terhubung dan terlibat, serta membuat perubahan yang memiliki hubungan mendalam,” tegasnya. “Grafik atau statistik tentang perubahan iklim takkan mungkin bisa melakukan itu.”