Butuh berhari-hari jalan kaki menyibak belantara Papua Barat, seringkali perjalanan harus diawali sejak pagi buta, hanya untuk menangkap suara yang dibutuhkan Ninda Felina. Suara-suara ajaib dari hutan tropis Pulau Papua itu kini masuk dalam track anyar yang diproduksi Ninda “The Birds of Paradise”, sebuah lagu tekno laid-back dikombinasikan dari bermacam bebunyian alam.
Track tersebut merupakan kolaborasi antara Ninda, DJ asal Jakarta, bersama proyek Save Our Sounds (SOS) yang diinisiasi Greenpeace. Ninda bersinggungan dengan Greenpeace saat menjadi sukarelawan dalam program penanggulangan kebakaran hutan di lahan gambut Sumatra beberapa tahun lalu.
Videos by VICE
Ninda tergerak turun langsung ke hutan-hutan industri demi menghindarkan tragedi kabut asap terulang di Tanah Air. Dari pengalaman tragis di kawasan gambut yang rutin terbakar saban musim tanam perkebunan dimulai, Ninda kini beralih ke wilayah belantara indah yang sayangnya terancam pula.
VICE ngobrol bersama Ninda di sela-sela penampilannya menjadi pengisi Festival Wonderfruit, Thailand. Kami membahas motivasinya merekam bebunyian dari hutan hujan Indonesia, lantas membawa olahan suara-suara tadi ke lantai dansa berbagai negara.
VICE: Halo Ninda, bisa diceritakan alasanmu terlibat dalam proyek Greenpeace?
Ninda Felina: Aku datang di [Festival Wonderfruit] sebagai wakil dari kampanye Save Our Sounds-nya Greenpeace. Ini semacam proyek kolaborasi kreatif, tujuannya agar warga perkotaan bisa lebih mengenal isu-isu lingkungan, terutama perlindungan hutan di Indonesia, melalui medium visual serta musik. Sebagai DJ, aku mencoba mengajak pendengar untuk merasakan langsung perjalananku beberapa waktu lalu di hutan dekat Desa Malagufuk, Papua Barat, melalui rekaman audio.
Apa saja pengalaman yang kamu dapat selama ke Papua?
Rombongan kami sempat melihat Kasuari dan burung cendrawasih yang sering dijuluki burung surga. Banyak juga hewan-hewan eksotis lainnya yang kami temui selama menelusuri hutan Papua. Perjalanan kemarin itu adalah pengalaman pertamaku merekam bebunyian untuk bahan sampling, langsung dari belantara. Buatku, proyek ini sangat penting. Tujuannya pun mulia, karena bermanfaat untuk meningkatkan kesadaranku sendiri minimal, dan banyak orang lainnya. Tentu saja hasil akhirnya akan menguntungkan Planet Bumi. SOS penting, karena kampanye macam ini bisa mendekatkan orang dari perkotaan agar lebih sadar lingkungan, syukur-syukur mereka tergerak melakukan kerja nyata melindungi hutan belantara di Indonesia yang masih tersisa.
Hutan di Indonesia itu keren banget lho. Kita harus ingat, ekosistem hutan itu menunjang banyak sekali mahluk. Hutan belantara negara kita adalah rumah bagi jutaan spesies, sebagian besarnya sekarang terancam punah. Belum lagi kalau kita ingat, betapa hutan-hutan di negara ini adalah rumah bagi masyarakat adat asli setempat.
Tapi kamu tahu kan kalau luas wilayah hutan di Indonesia terus menyusut?
Tentu saja. Makanya, kalau hutan di Indonesia sampai musnah, maka bukan cuma manusia di sekitar belantara yang menderita. Orang-orang yang tinggal di kota sepertiku juga ikut merasakan dampaknya. Seringkali orang perkotaan itu sibuk dengan rutinitas dan pekerjaan, sampai melupakan kalau hutan itu penting bagi kehidupan. Mau kalian peduli atau enggak, sama saja, kita pasti terpengaruh sama hutan. Makanya aku langsung bersedia saat diajak kolaborasi sama Greenpeace. Aku berusaha menyumbangkan skill yang aku punya, dalam hal ini kapasitasku adalah sebagai DJ. Aku ingin dari proyek ini, orang-orang perkotaan yang akrab sama musik elektronik, bisa sedikit tersadar sama keindahan hutan. Minimal mereka tergelitik saat mendengar musikku yang memasukkan unsur bunyi-bunyian dari belantara yang kurekam sendiri.
Jujur, ada banyak banget suara-suara indah di hutan sana, bunyi yang nyaris tidak pernah didengar manusia modern ataupun orang di kota-kota besar, akibat massifnya penggundulan hutan. Soal deforestasi, ini masalah yang mendesak tapi tak banyak orang peduli. Orang Indonesia kayaknya perlu disadarkan kalau hutan yang kita punya tuh sudah enggak luas lagi. Luas wilayahnya tiap tahun terus susut. Makanya, penting banget agar semua orang bergerak menyelamatkan hutan, menyelamatkan bunyi alami yang masih tersisa di luar sana.
Kayak gimana prosesmu mencari lokasi untuk merekam bunyi-bunyi di hutan?
Butuh perjuangan besar. Contohnya waktu kami menyusuri jalan setapak panjang banget di penangkaran cendrawasih. Susah banget mencari pohon yang dihinggapi cendrawasih. Kami butuh lima jam jalan kaki sampai akhirnya ketemu spot yang ada cendrawasihnya. Selama jalan ke sana sudah tak terhitung lagi kaki ini dihinggapi lintah. Terus medannya penuh lumpur gitu, karena rombongan saya berjalan pas musim hujan. Sempat kami enggak dapat sama sekali rekaman cendrawasih pas datang ke penangkaran pertama kali, makanya kami jalan lagi di medan yang sama di hari berikutnya. Dua kali jalan, wajahku udah penuh bange sama lintah. Aku cuma bisa ngerasa, “OK!”
Apakah perjalanan ini pengalaman pertamamu kolaborasi bareng Greenpeace?
Enggak, ini sebenarnya proyek bersama kami yang ketiga. Pertama kali aku terlibat sama proyeknya Greenpeace pas aku jadi relawan penanggulangan kebakaran hutan, itu tahun 2013 sama 2015. Sebelum kerja bareng Greenpeace, aku juga udah ikut upaya menghindarkan kebakaran lahan gambut sama relawan lain. Dulu aku terbiasa melihat hutan dalam kondisi terbakar habis. Berkat proyek di Papua ini, aku berkesempatan melihat keindahan hutan hujan Indonesia dengan mata kepala sendiri. Aku benar-benar bersyukur sih dapat pengalaman ini.
Apa kesanmu setelah keluar masuk hutan belantara Papua?
Jujur, awalnya aku nervous tapi juga enggak sabar pengin berangkat ke Papua. Tentu saja, aku dapat banyak tantangan lah ya. Ini pertama kalinya buatku trekking menelusuri hutan hujan yang lebat dan alami banget. Berjam-jam menghadapi lumpur, lintah, dan hujan, pastinya belum pernah kualami. Tapi semua pengalaman ini sepadan. Aku juga semangat karena untuk pertama kalinya aku merekam suara alam. Untungnya, aku dibantu orang-orang hebat, salah satunya adalah Mark Roberts. Dia perekam suara alam liar profesional. Dia banyak mengajari aku metode terbaik merekam suara di hutan supaya hasilnya maksimal. Dari Roberts lah aku belajar cara memakai alat rekam yang beda banget, yang fungsinya untuk mendapat suara burung. Selain itu, dia mengajariku cara memahami alam liar.
Apa pengalaman yang terus berkesan buatmu?
Pastinya cendrawasih. Burung surga ini biasanya terbang dan hinggap di pohon-pohon tepian hutan. Masalahnya mereka kalau terbang tinggi sekali. Cuma di pagi hari lah, enggak lama setelah subuh, cendrawasih bakal terbang agak rendah, pohon di dekat sungai. Itu tempat paling ideal buat merekam suaranya. Kami jalan dari jam 4 pagi, melewati kubangan lumpur tebal selama dua jam penuh. Rombongan kami sebenarnya sampai di lokasi tepat waktu. Sayangnya waktu itu cendrawasihnya sudah terbang ke tempat lain. Kami tidak menyerah. Keesokan harinya kami berjalan lebih pagi, mulai dari pukul 02.00 dini hari. Kami memutuskan lebih baik menunggu mereka datang daripada kehilangan kesempatan.
Aku masih ingat momen ketika akhirnya aku melihat langsung cendrawasih hinggap di dahan. Saat itu pukul 06.30, sinar matahari saja masih belum menembus dedaunan. Aku nyaris ketiduran karena menunggu hampir dua jam di bawah pohon. Mark membangunkanku, lalu memintaku mengikutinya. Kami melangkah pelan banget, pokoknya jangan sampai menimbulkan suara gaduh yang bisa bikin cendrawasihnya kaget atau kabur. Akhirnya aku benar-benar melihat wujud mereka dari dekat. Kami beruntung banget pagi itu, pas ada cendrawasih jantan dan betina lagi saling merayu di dahan. Suara mereka indah banget, tarian cendrawasih yang kulihat dengan mata kepala sendiri juga menakjubkan. Hasilnya, kami dapat rekaman yang maksimal. Dari pengalaman ini, aku jadi termotivasi untuk merekam lagi suara-suara dari belantara. Aku mau bikin lagu yang bisa menggambarkan cinta manusia sama hutan.
Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.