Seperti Ini Caraku Merefleksikan Semua yang Telah Terjadi Sepanjang 2020

depresija

Sebentar lagi Desember akan berakhir, dan kita segera memasuki awal tahun baru. Biasanya kita menjadikan ini sebagai momen merefleksikan semua yang telah terjadi selama setahun terakhir. Tapi beda ceritanya sekarang. 2020 adalah tahun kelam dan penuh kesedihan. Beberapa kehilangan pekerjaan, sedangkan lainnya kehilangan orang tercinta. Kita semua dipaksa menyesuaikan hidup dengan ketidaknyamanan yang luar biasa sambil merenungkan kematian sendiri.

Kita bisa sepakat ini bukan waktu yang tepat untuk merencanakan masa depan, tapi mau tak mau kita harus melakukannya juga. Yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya?

Videos by VICE

Profesor Brett Kahr, psikoterapis tradisional, berpendapat kita perlu mengakui sedang hidup dalam situasi mengerikan saat ini. “Semua orang mengalami trauma psikologis akibat pandemi,” katanya kepada VICE.

Kahr yakin setiap orang yang ditangani olehnya sangat menderita tahun ini. “Orang-orang yang mengalami tekanan psikologis dari dulu semakin tertekan sekarang,” ujar Kahr. “Dan mereka yang mentalnya cukup kuat sebelum pandemi, menghadapi tantangan psikologis dalam banyak hal.”

Kadra Abdinasir dari Centre for Mental Health mengamini. Meski masih terlalu dini untuk mengidentifikasi dampaknya terhadap kesehatan mental, dia sudah melihat konsekuensi langsung dan tidak langsung dari pandemi.

“Dampak langsungnya ditandai oleh peningkatan isolasi sosial dan kesepian, kehilangan dan kesedihan, kecemasan dan ketakutan akan virus yang pada akhirnya bisa memicu germofobia, dan masalah kesehatan mental yang memburuk, terutama jika mereka tidak bisa berobat,” tuturnya. Abdinasir menambahkan dampak tidak langsungnya bisa dilihat dari peningkatan KDRT, trauma rasial, meroketnya panggilan bantuan dan ketidakpastian ekonomi yang mendalam.

Shomi Williams, terapis CBT yang mendirikan Lafiya Health, menyampaikan kita harus bisa menerima realitas yang dihadapi tahun ini untuk memulai tahun baru. “Kebanyakan dari kita terlalu fokus memikirkan apa yang ingin dilakukan setelah pandemi berakhir tanpa mendasarinya pada kenyataan,” terang Shomi. “Menjadi idealis, berorientasi pada masa depan, dan melupakan [situasi] tahun ini hanya menunda kekhawatiran yang kalian rasakan. Daripada meremehkan dan membuat rencana ketika pandemi berakhir, akan lebih baik jika kalian memikirkan apa yang bisa dilakukan sekarang dan bagaimana kalian memanfaatkan waktu saat ini.”

Abdinasir mengungkapkan pentingnya “memikirkan cara untuk terhubung kembali dengan diri sendiri dan alam. Walaupun sedang pandemi, kita masih bisa menikmati dunia luar yang bagus untuk kesejahteraan. Ada baiknya kalian memikirkan batasan ketika memasuki tahun baru nanti, terutama seputar media sosial dan konsumsi media.”

Sementara banyak dari kita menanyakan kabar orang terdekat untuk menjaga support system, Kahr menekankan bahwa bantuan profesional harus diperhatikan dalam mempertahankan kesehatan mental, jika memungkinkan. “Salah satu ciri psikoterapi yang sebenarnya adalah psikoterapis tidak pernah membebani pasien dengan kehidupan pribadinya. Waktu dan perhatian difokuskan sepenuhnya pada pasien, sehingga masalah mereka tidak disepelekan.”

Ketiga pakar berulang kali menyinggung kesengsaraan yang dialami semua orang tahun ini dan belajar menerimanya dengan berbagai cara. Seperti bentuk trauma lainnya — trauma fisik, emosi atau psikologis — kita harus menyadari trauma itu beneran ada. Kita tidak boleh melupakannya dan berharap cepat-cepat hilang. Dampak jangka panjang COVID-19 tidak bisa diabaikan. Sayangnya, ini bukan cara melanjutkan hidup pasca-pandemi.

Abdinasir menyarankan terapi pemulihan berdasarkan trauma yang dialami sepanjang 2020. “Semua lembaga mempertimbangkan cara mereka menerima trauma tersebut […] misalnya, keberadaan vaksin memang merupakan kabar baik, tapi bukan berarti semua orang harus pergi ke kantor tahun depan,” jelasnya. “Kita ingin melihat bagaimana orang kembali hidup ‘normal’ dengan mengakui trauma yang dialami bersama.”

@paulaakpan