Artikel ini pertama kali tayang di VICE Swiss.
Peter* adalah koki di sebuah restoran Italia terkenal di Zurich. Dia meminta kami untuk menyamarkan namanya agar bisa lebih bebas bercerita soal narkoba yang dikonsumsi selama bekerja, mengungkapkan apa yang telah dia saksikan selama dia bekerja di dapur kapal pesiar, menyiapkan hidangan bergaya prasmanan, sampai menyembunyikan sampah dari inspektur makanan.
Videos by VICE
Saya berbincang dengan Peter di Zurich untuk mengetahui apakah dia pernah meludahi makanan pelanggan, serta menanyakan pendapatnya soal kritikus makanan dan koki selebriti. Saya juga penasaran apakah koki memang mudah marah seperti yang sering kita lihat selama ini.
VICE: Bagaimana kamu mengelabui inspektur?
Peter Zurich: Di Swiss, kami sulit mengelabui mereka karena perhatian mereka tidak mudah dialihkan. Waktu itu, saya pernah menawarkan mereka kopi. Mereka menatapku tajam, seakan-akan sudah tahu apa yang ingin kulakukan. Kalau di kapal pesiar beda lagi. Kepala koki akan ditinggal sendiri bersama inspektur. Misalnya inspektur sedang memeriksa lantai 1, maka bawahannya akan bersembunyi ke lantai atas, menyembunyikan sampah dan membersihkan kotoran-kotoran yang tersisa.
Apakah kamu cuci tangan setelah dari toilet?
Tentunya. Koki-koki yang lain juga melakukan hal sama. Kalau saya memang sudah terbiasa cuci tangan karena pernah keracunan makanan. Enggak keracunan di restoran saya lho ya, tapi di sebuah acara festival. Rasanya sangat sengsara, dan saya enggak mau orang mengalami hal sama. Itu sebabnya saya jadi sangat mementingkan kebersihan.
Apakah kamu sering marah-marah kalau lagi di luar dan dalam dapur?
Tidak sama sekali. Sekarang zamannya sudah berubah. Kalau dulu peraturan di dapur memang ketat seperti militer. Tapi sekarang, kami hanya berteriak marah kalau ada yang melakukan kesalahan fatal. Kami berusaha untuk tidak membuat kondisi dapur menegangkan seperti dulu.
Kamu pakai narkoba?
Ya, hampir semua koki pakai narkoba. Selain bisa merangsang kreativitas, ini juga membantu kerja otot ketika kami harus berdiri selama 15 jam di dapur. Kami biasanya pakai ganja, ekstasi, MDMA, atau kokain. Tapi biasanya kami mengonsumsinya setiap akhir pekan atau saat sedang tidak bekerja. Waktu itu kami pernah pakai LSD, tapi enggak membantu mengurangi ketegangan di dapur sama sekali. Kami berhenti memakainya setelah sebulan karena jadi tidak bisa tidur.
Apa yang akan kamu lakukan kalau ada tamu yang memesan hidangan makan malam lengkap ketika restoran mau tutup?
Saya akan terus terang dengan mereka. Pertama-tama, saya akan memesan bir di bar supaya mereka tahu kalau saya sudah selesai kerja dan enggak akan melayani mereka.
Saya enggak akan segan memberi tahu tamu kalau mereka membuat saya jengkel. Kemarin, ada perempuan yang tiga kali meminta porsi pasta dan sayurannya untuk ditambahkan. Saya suruh dia pesan lagi kalau memang sangat kelaparan. Porsi kami selama ini banyak, jadi wajar saja kalau mereka harus bayar banyak.
Seberapa sering kamu memasak pakai bahan instan?
Dulu saya pakai bahan instan kalau dirasa bisa memudahkan pekerjaan, atau disuruh atasan. Di hotel-hotel besar, mashed potatoes yang saya sajikan kebanyakan instan karena harus cepat selesai. Saya hanya perlu menambahkan susu bubuk dan mengaduknya sampai rata. Saya dulu sering memakainya sampai-sampai saya tidak selera memasak lagi. Untung sekarang sudah berubah. Saya memasak karena suka melakukannya.
Apa pendapatmu soal kritikus restoran?
Jujur saja ya, saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Saya tidak pernah memperlakukan mereka secara khusus. Kritikus tidak mengetahui unsur-unsur penting dari restoran atau masakan yang mereka makan. Sekarang ada banyak banget orang yang menganggap dirinya pakar makanan, jadi sulit membedakan mana yang benar-benar profesional dan tidak. Hanya ada 2 persen orang yang memang profesional. Sisanya jadi kritikus karena pernah ditolak bekerja di restoran. Ada juga kritikus di TripAdvisor. Saya bekerja di restoran terkenal yang buka setiap hari dan selalu ramai pengunjung. Tapi, kami menjadi salah satu restoran di Zurich yang mendapat peringkat terendah dari TripAdvisor. Menurutku, salah besar memercayai orang yang tidak tahu apa-apa.
Dari semua hidangan yang pernah kamu masak, apa yang tidak akan pernah kamu cicipi?
Di tempat saya bekerja sekarang, sesama koki harus mencicipi makanan yang kami ciptakan sendiri. Sewaktu kerja di kapal pesiar dulu, saya memasak hidangan prasmanan yang rasanya tidak terlalu enak.
Bagaimana sikapmu menghadapi pelanggan menyebalkan?
Saya tidak pernah jahat dengan pelanggan, seperti meludahi makanan mereka misalnya. Namun, kadang ada pelanggan yang perlu diperingatkan karena mereka bertindak semaunya sendiri. Waktu itu pernah ada pelanggan dari Inggris yang makan malam di restoran kami. Mereka datang bergerombol. Saya jengkel karena mereka terlalu mabuk. Mereka tidak sopan dengan pramusajinya. Padahal dia [pramusaji tersebut] orang paling baik di restoran. Akhirnya, saya datang menghampiri mereka dan memintanya diam kalau tidak mau diusir.
Apakah kamu iri dengan koki selebriti?
Saya dulu pernah tampil di acara masak-masak. Saya memasak hidangan dari pasta gluten-free untuk sebuah program TV Swiss Italia. Begonya, saya malah pesta minum semalam sebelum syuting. Pas saya datang pukul 11, produsernya terlihat khawatir melihat keadaanku. Mereka menyamarkan kantung mata saya dengan makeup. Teman-teman saya menyukai episode itu, meskipun mereka tidak sadar kalau saya masih hangover.
10 Pertanyaan Penting adalah kolom VICE Indonesia yang mengajak pembaca mendalami wawancara bersama sosok/profesi jarang disorot, padahal sepak terjangnya bikin penasaran. Baca juga wawancara dalam format serupa dengan topik dan narasumber berbeda di tautan berikut:
10 Pertanyaan yang Ingin Kamu Sampaikan ke Penjaga Konser Tapi Jiper
10 Pertanyaan Ingin Kalian Ajukan Pada Pengacara Teroris
10 Pertanyaan Penting Untuk Operator Warnet yang Tahu Semua Rahasia Pengunjung