Pada 2016, fotografer asal Prancis Aurélien Gillier merantau ke Burkina Faso untuk menemani pasangan yang akan melaksanakan proyek penelitian di sana.
Suatu malam di Januari, dia sedang bersantai dengan teman-teman di bar di Ouidi, sebuah daerah di ibu kota Ouagadougou, ketika mendengar berita tentang serangan teroris yang menelan 28 jiwa dan melukai 56 korban. Peristiwa itu terjadi di sejumlah tempat wisata, hanya lima kilometer dari tempat Gillier.
Videos by VICE
Dia terdorong mendatangi tempat kejadian untuk mendokumentasikannya. Tapi sebelum dia keluar dari bar, seorang lelaki yang mengenakan topi koboi dan bintang sheriff di kemeja merangsek masuk.
Don Carlos mengklaim dirinya sebagai “Sheriff Ouidi” dan koboi yang anti-kekerasan. Lelaki yang mendekati usia 60-an ini berkuda melewati jalanan Ouagadougou. Sheriff Ouidi tidak pernah menghentikan kejahatan, tapi mengklaim dianugerahi bintang oleh duta besar AS di Burkina Faso.
Gillier sudah mendengar tentang Don Carlos jauh sebelum dia pindah ke Ouagadougou. “Saya yakin suatu saat nanti pasti akan bertemu dengannya,” tutur sang fotografer. Dia langsung minta izin untuk memfoto Don Carlos. Siapa sangka, mereka akan berjumpa lagi setahun kemudian. Gillier memanfaatkan kesempatan kedua ini untuk mengenalnya lebih dalam.
Kuda merupakan bagian besar dari identitas budaya Burkina Faso, sehingga Don Carlos bukan satu-satunya koboi di Ouagadougou. Kecintaan mereka terhadap kuda sudah terjadi sejak Abad Pertengahan. Konon putri raja Yennenga adalah pejuang berkuda yang sangat dihormati di Afrika. Sang ayah tidak mengizinkan dia untuk menikah, sehingga Yennenga kabur dan menjalin hubungan dengan pemburu gajah dari suku tetangga.
Dia lalu melahirkan seorang putra yang dipanggil “Kuda Jantan”. Buah hati mereka mendirikan kerajaan Mossi, sejumlah kerajaan independen yang didirikan di wilayah Burkina Faso. Sebelum dijajah Prancis pada 1896, Mossi merupakan kerajaan paling berjaya di Afrika Barat. Kuda berperan penting dalam militer dan budaya mereka, serta menandakan status dan kekayaan seseorang.
Mossi tetap menjadi kelompok etnis terbesar di negara kecil itu. Meskipun kolonialisme mengakhiri kerajaan, keturunannya masih ada sampai sekarang. Naba Baongo II menjabat sebagai Mogho Naba atau Raja Mossi saat ini. Perannya bersifat seremonial, seperti memimpin prosesi ratusan kuda di ibu kota setiap Jumat — melambangkan para menteri yang melarangnya berperang. Asal muasal perang telah berabad-abad dilupakan.
Kuda masih menjadi binatang favorit di Burkina Faso, dan logonya ditampilkan di lambang negara dan perayaan seperti pesta pernikahan. Balap kuda adalah olahraga paling populer di sana. Setiap Minggu, semua orang akan menghentikan kegiatan mereka untuk menonton balap kuda pada pukul 3 sore.
Pemilik kandang kuda terkemuka, Ali Faso, merawat kuda orang kaya dengan bantuan anak muda sebagai bawahannya. “Beberapa jadi pelatih kalau beruntung,” ujar Gillier. Banyak pencinta kuda yang mengawasi hewan ternak sambil menunggang kuda di padang rumput sekitar Tanghin 2 Dam di bagian utara kota.
Bertahun-tahun Gillier mendokumentasikan para koboi di Ouagadougou. Hasil jepretannya lalu dipamerkan dalam seri foto Cowboys Are Always Black yang telah memenangkan penghargaan. Dia berencana mengajak temannya yang penulis skenario ke Burkina Faso begitu pandemi berakhir. Dia tertarik membuat film tentang kehidupan Don Carlos — menghubungkan fiksi dengan kenyataan layaknya Sheriff Ouidi itu sendiri.
Gulir ke bawah untuk melihat lebih banyak foto dari seri ini.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.