Serial Baru Netflix ‘Love, Death, and Robots’ Adalah Antitesis Menarik ‘Black Mirror’

netflix love death and robots

Kolaborasi sutradara Deadpool Tim Miller dan sutradara Fight Club David Fincher, melahirkan serial baru Netflix berjudul Love, Death, and Robots. Serial sepanjang 18 episode ini mengangkat topik utama fiksi ilmiah tentang cinta, kematian, dan tentu saja sesuai judulnya robot. Semua itu dipadukan animasi menarik dalam berbagai macam gaya visual.

Setiap episode, yang panjangnya enam sampai 17 menit, memperkenalkan skenario dan tokoh baru yang semakin aneh saja. Dalam episode “When the Yogurt Took Over,” misalnya, yogurt digambarkan menjadi makhluk berakal dan melampaui kecerdasan manusia; dalam episode “Shape-Shifters,” militer Amerika Serikat memanfaatkan pasukan werewolf di garis depan pertempuran Afghanistan.

Videos by VICE

Love, Death and Robots adalah serial fiksi ilmiah Netflix kedua setelah Black Mirror. Namun, karena sempat tayang di Channel 4 di Inggris, Black Mirror menjadi sangat dikenal berkat narasi sosial mengenai bahaya masa depan terlalu dikuasai teknologi. Dalam season pertamanya, pencipta Black Mirror Charlie Brooker membangun dunia realistis yang menggamparkan ancaman teknologi menyimpang bagi manusia.

Kedua serial ini menunjukkan bagaimana fiksi ilmiah dapat mencapai tujuan yang berbeda— Black Mirror merupakan sarana mengkritik konsekuensi teknologi yang tidak diinginkan, sementara Love, Death and Robots memanfaatkan fiksi ilmiah sebagai latar belakang untuk menghadirkan kisah-kisah menarik.

Cara kedua serial ini mengembangkan pendekatan berbeda tadi cukup kentara. Brooker mengutip The Twilight Zone yang menjadi inspirasi pembuatan Black Mirror. Menurut Brooker, Rod Serling “menciptakan The Twilight Zone karena ia capek melihat skenario provokatif tentang isu-isu kontemporer terus-terusan disensor. Sementara ketika dia menulis skenario tentang rasisme secara metaforik, dalam dunia masa depan penuh robot—tiba-tiba dia bisa menceritakan apa saja yang dia inginkan.”

Sebaliknya, Love, Death and Robots terinspirasi majalah Heavy Metal, yang menyoroti cerita-cerita dan kesenian fiksi ilmiah bercampur erotika. Film absurd dari 1981 dengan judul yang sama, yang membawa penontonnya “satu langkah di depan dalam jagat fiksi ilmiah” turut menjadi inspirasi. Ilham lainnya datang dari komik-komik picisan era 70-an dan 80-an, seperti Den.

Konsep fiksi ilmiah sebagai komentar sosial ala Black Mirror benar-benar mengesankan dalam episode “Be Right Back”, ketika seorang perempuan berusaha menciptakan kembali kepribadian suaminya yang sudah meninggal. Caranya dengan menyatukan informasi dari akun-akun media sosialnya, memaksa penonton memikirkan dampak teknologi yang mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia.

Love, Death, and Robots tidak akan membuatmu merenung seperti itu. Tentu, pendekatan ini ada sisi baik dan buruknya. Salah satu episodenya yang pendek bertajuk “Blindspot”, adalah kisah delapan menit tentang sekelompok cyborg yang melakukan perampokan. Ada juga “Helping Hand,” cerita seorang astronot harus mengorbankan tangannya agar bisa terus bertahan hidup. Menonton Love, Death, and Robots lebih mengedepankan sensasi. Ini bukan stimulus pikiran. Saking seru atau tegangnya, penonton bisa saja lupa kalau episodenya hanya beberapa menit.

Tentu saja Love, Death, and Robots masih belum sempurna. Banyak adegan telanjang terasa serampangan dan tidak ada gunanya. Kelemahan lain, seperti sudah disebut sebelumnya, serial ini mengutamakan gaya visual, bukan cerita. Tak semua orang doyan fiksi ilmiah yang tidak berpretensi kelihatan cerdas.

Tapi setidaknya dua serial ini saling melengkapi. Rilisan terakhir Black Mirror, dalam format “pilih-sendiri-petualanganmu” di episode “Bandersnatch” menawarkan opsi baru pada enonton (yang juga memicu pertanyaan mengenai cara Netflix menggunakan data yang dikumpulkannya).

Sementara lewat Love, Death and Robots, Netflix membuktikan diri bisa menawarkan macam-macam konsep fiksi ilmiah.

Ide untuk Love, Death, and Robots dikembangkan selama sepuluh tahun sebelum akhirnya dibuat, dan mayoritas episodenya layak ditonton. Meski Love, Death, and Robots dan Black Mirror saling bertolakg belakang dari sisi estetika. Netflix membuktikan ada berbagai macam sarana untuk menceritakan kisah fiksi ilmiah.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US