Pesta akbar Piala Dunia 2022 bikin dilema para penggemar sepakbola di seluruh dunia. Pasalnya, pemilihan Qatar sebagai tuan rumah dibalut berbagai kontroversi. Dugaan suap yang melibatkan FIFA kian merebak usai negara tersebut ditunjuk menggelar turnamen olahraga paling bergengsi, yang akhirnya berujung pada penyelidikan kasus skandal korupsi yang menodai Piala Dunia.
Qatar semakin terpojok dengan isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi selama proses persiapan penyelenggaraan Piala Dunia 2022. Banyak bermunculan kabar buruh migran dipekerjakan seperti budak untuk menyelesaikan pembangunan stadion, yang dilaporkan menewaskan ribuan orang. Belum lagi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Timur Tengah, seperti LGBTQ+, masih sangat tinggi.
Videos by VICE
Wajah sepakbola sudah lama tercoreng di mata dunia, tapi segala kontroversi itu membuat banyak penggemar gerah untuk bersuara. Tak mengherankan jika seruan boikot kian menggema jelang pembukaan Piala Dunia Qatar 2022. Desakan untuk tidak menghadiri perhelatan berkumandang keras di Norwegia, sedangkan suporter Bundesliga melakukan tifo (mengangkat spanduk dan bendera secara bersamaan) untuk menolak dilangsungkannya Piala Dunia. Sejumlah daerah di Prancis juga telah menegaskan tidak akan menyiarkan pertandingan di layar kaca.
Berbagai bentuk penolakan di kalangan pencinta bola pun tidak kalah besar. Tak sedikit yang memilih untuk mematikan televisi selama Piala Dunia berlangsung, contohnya seperti empat orang fans berikut ini.
Artikel ini telah disunting agar lebih ringkas dibaca.
‘Semua orang bisa menikmati Piala Dunia itu omong kosong’
FIFA terkesan memaksa orang-orang untuk mengikuti Piala Dunia tahun ini, begitu juga dengan para pejabat di Inggris yang menyuruh orang gay “bersikap baik” jika mereka ingin menonton langsung di Qatar. Itu kedengaran sangat mengganggu. Katanya Piala Dunia untuk semua orang, tapi bagiku itu omong kosong.
Kompetisi semacam ini telah dijadikan komoditas. Mereka cuma memikirkan uang dan keuntungan sebesar-besarnya, yang akhirnya menyebabkan penggemar merasa mereka tidak bisa menjadi bagian dari dunia sepakbola. Saya pribadi tidak masalah kalau Piala Dunia diadakan di negara lain, seperti Afrika Selatan [pada 2010] atau Jepang dan Korea Selatan [pada 2002]. Menurut saya, itu pilihan bagus. Tapi untuk Piala Dunia kali ini, saya tidak akan menonton sama sekali. — Mark Lawford, dosen di University Campus of Football Business, Inggris
‘Tetap ada perasaan bersalah meski nonton di TV’
Saya ingin bersolidaritas dengan para buruh migran yang mempersiapkan Piala Dunia. Saya sudah merasa ada yang aneh dari awal [tuduhan korupsi mencuat], dan perasaannya semakin kuat sejak muncul isu-isu pelanggaran HAM.
Sebenarnya ini keputusan yang sulit karena Piala Dunia selalu menjadi acara yang paling kita nantikan sejak kecil. Tapi di sisi lain, saya juga bersalah kalau tetap menonton karena itu kejam dan tidak dapat dibenarkan.
Saya sadar banyak pencinta sepakbola di Wales sudah tidak sabar menyaksikan jalannya Piala Dunia, jadi saya berusaha untuk tidak menjadi orang yang menyebalkan. Daripada langsung mengata-ngatai mereka karena tetap nonton, kita bisa memberi tahu mereka baik-baik kenapa Piala Dunia kali ini bermasalah. – Ap Daffyd, suporter Wrexham dan Wales
‘Pencinta bola sudah muak’
Qatar memang bukan satu-satunya negara tuan rumah yang punya riwayat panjang pelanggaran HAM. Namun, kondisi buruk yang dialami buruh migran telah dikaitkan langsung dengan persiapan Piala Dunia, sehingga masalahnya terasa lebih nyata.
Saya rasa fans sudah muak melihat semua berita yang ada. Negara-negara penindas membeli klub-klub ternama, penyelenggaraan Piala Dunia Rusia 2018 yang dihantui segudang masalah, hingga UEFA yang rutin mengadakan acara pertandingan di negara-negara yang rezimnya opresif. Sudah waktunya kita para penggemar membuka suara guna mengubah cara kita menikmati olahraga.
Ini keputusan saya sendiri untuk tidak nonton, meski banyak teman saya yang juga tidak tertarik mengikuti Piala Dunia Qatar. Saya tak terima melihat para buruh diperlakukan seperti itu. Awalnya saya mengira akan sulit menahan diri untuk tidak menyalakan televisi, tapi sekarang saya benar-benar sudah tidak tertarik dengan turnamen ini. – Curt Baker, suporter SK Brann di Norwegia
‘Saya tidak bisa menutup mata atas diskriminasi yang terjadi’
Saya langsung membatin ‘Saya tidak bisa menutup mata dengan semua ini’ setelah membaca laporan terkait praktik ketenagakerjaan yang buruk di Qatar, terutama begitu mengetahui banyak orang bekerja dengan sistem kontrak. Sebagai anggota Amnesty, saya merasa diriku munafik kalau mementingkan ego dan tetap menonton Piala Dunia, padahal saya sudah tahu apa yang terjadi dengan buruh migran dan komunitas LGBTQ+ di negara itu.
Sayangnya, di dunia sepakbola, siapa pun akan tunduk begitu uang sudah berbicara. Orang mengabaikan kemanusiaan dan bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Banyak orang memilih mengesampingkan eksploitasi yang telah terjadi supaya bisa tetap menikmati acaranya. Saya sulit memahami bagaimana orang bisa dengan enteng berkata: ‘Yah, mau gimana lagi? Nasih sudah menjadi bubur. Stadionnya sudah telanjur dibangun.’ – Nathan, suporter Fulham