Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu meninggalkan luka mendalam bagi dunia sepakbola. Aksi aparat menembakkan gas air mata guna membubarkan suporter Arema yang turun ke lapangan telah menelan ratusan korban jiwa. Santer terdengar kabar polisi juga memukuli penonton yang berlarian karena panik. Tindakan ini sontak memicu kemarahan yang meluas di dalam negeri, disusul oleh seruan untuk membubarkan polisi yang dinilai kerap memilih jalur kekerasan saat mengamankan situasi.
Pemerintah mengumumkan sebanyak 135 orang tewas dalam insiden terburuk sepanjang sejarah sepakbola di Indonesia, sedangkan hasil perhitungan Amnesty International menunjukkan totalnya mencapai 200 orang.
Videos by VICE
Kepolisian Republik Indonesia telah menetapkan enam tersangka pada Kamis, 6 Oktober 2022, terlepas penyebab utamanya belum diketahui saat itu. Tiga di antaranya panitia penyelenggara, sedangkan tiga orang lainnya adalah polisi yang dituding menginstruksikan penembakan gas air mata. Para tersangka terancam hukuman penjara maksimal lima tahun akibat lalai hingga menyebabkan korban luka dan jiwa. Ditambah lagi, FIFA telah melarang penggunaan gas air mata selama pertandingan sepakbola. Apabila hasil penyelidikan terbukti benar, ada 11 polisi yang berpotensi diproses hukum lantaran menembakkan gas air mata.
Seruan “Revolusi Total Polri” semakin ramai digaungkan di medial sosial selama sepekan terakhir. Seorang pengguna berkicau di Twitter, “Belum ada keterangan pasti untuk apa saja gas air mata ini digunakan. Yang jelas barang ini jadi andalan polisi untuk pengontrol massa.” Sementara itu, pengguna lain mengkritik polisi yang terlalu mengandalkan kekerasan. “Apa ada yang pernah memberi pelatihan bagaimana Tupoksi sebenarnya Kepolisian Indonesia cara mengamankan chaos tanpa membunuh?” bunyi twitnya.
Pengamat sepakbola Fajar Junaedi mengatakan, suporter bola di Indonesia kerap menjadi korban kekerasan polisi. “Biasanya kekerasan menjadi hal pertama yang dilakukan polisi saat menangani penggemar bola,” Fajar memberi tahu VICE World News. “Gas air mata sebenarnya beberapa kali digunakan untuk menertibkan penonton bola, tapi tak ada yang pernah dimintai pertanggungjawabannya.”
Jacqui Baker, pakar ekonomi, hukum dan politik di Australia yang mendalami kekerasan di luar hukum, menyebut nyaris mustahil bagi masyarakat Indonesia memperoleh keadilan atas kasus kebrutalan polisi.
“Hal semacam ini bukan sekali dua kali terjadi. Sudah tak terhitung berapa banyak pengaduan, skandal dan tuduhan pelanggaran HAM yang mengungkap budaya impunitas Polri selama 20 tahun rekam jejaknya,” tandas Baker.
Tak sedikit kasus yang melibatkan kekerasan polisi lamban ditangani dan jarang dipublikasikan, sehingga sulit menentukan secara pasti berapa banyak pelanggaran yang telah dilakukan aparat di Indonesia.
“Apa yang terjadi di Malang adalah puncak dari pengabaian politik untuk memprioritaskan reformasi polisi yang demokratis,” imbuhnya. “Kepolisian Indonesia cenderung membutuhkan anggaran lebih untuk segala bentuk reformasi yang terjadi di masa lalu, dengan dalih mengurangi korupsi dan meningkatkan profesionalitas. Namun, sebetulnya itu hanya untuk kepentingan polisi itu sendiri.”
Polri merupakan lembaga birokrasi tertua yang menjadi bagian dari militer selama hampir empat dekade, sebelum akhirnya direformasi pada 1999. Akan tetapi, reputasinya tercemar oleh korupsi, ketidakcakapan, kekerasan dan pelanggaran HAM. Berdasarkan Katadata, alokasi anggaran Polri mencapai Rp107 triliun pada 2023, menjadikannya jumlah anggaran terbesar ketiga dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Data LSM Trend Asia menunjukkan, ratusan juta dolar telah dikerahkan untuk perlengkapan anti huru-hara, dan jumlah pengeluarannya berlipat ganda sejak Joko Widodo menjabat sebagai presiden pada 2014.
Meningkatnya tindak kekerasan oleh polisi membuat kepercayaan masyarakat terhadapnya semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. “Kekerasan aparat sering terjadi di Indonesia, tapi belum ada yang separah kejadian di Malang,” terang Agustian Siagian, yang membentuk tim advokasi untuk mewakili keluarga korban menggugat polisi dan PT Liga Indonesia Baru ke pengadilan.
Pasukan anti huru-hara biasa ditugaskan mengawal jalannya pertandingan sepakbola lantaran suporter terkenal agresif dan bermusuhan dengan penggemar klub lawan. Tak jarang mereka memadati lapangan setelah pertandingan selesai, atau menyulut aksi tawuran antar suporter. Praktik hooliganisme di dalam negeri telah menewaskan sedikitnya 74 orang dalam insiden sepakbola sejak 1994.
Tapi menurut Fajar, rivalitas hanya terjadi pada beberapa kelompok suporter saja, tapi seluruh penggemar sepakbola di Indonesia kerap dipojokkan saat terjadi aksi kerusuhan pasca pertandingan. Sementara itu, Baker berpendapat polisi seharusnya berkaca pada kejadian yang sudah-sudah, dan meningkatkan strategi pengontrolan massa agar jauh lebih baik. Di sisi lain, ia skeptis itu akan terwujud.
“Memangkas anggaran polisi adalah permintaan yang masuk akal. Polisi seharusnya bisa menegakkan keadilan dan mementingkan keamanan jika punya anggaran sebanyak itu,” lanjut Baker. “Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Reformasi polisi bergantung pada kepentingan elit politik.”
Namun, setidaknya ada secercah harapan dari tragedi ini. Suporter bola dari sejumlah wilayah melupakan permusuhan sengit di antara mereka dan menunjukkan solidaritas kepada Aremania. Fajar berharap ini bisa membawa perubahan pada dunia sepakbola Indonesia. “Dengan cara inilah kita semakin dekat untuk mewujudkan keadilan,” simpulnya.
Follow Pallavi Pundir di Twitter.