Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.
Di food court kawasan Toa Payoh, letaknya di tengah kompleks perumahan tertua Singapura, terdapat restoran Mellben Seafood. Di sana kalian bisa mencicipi kepiting pedas terenak yang ada di Singapura.
Videos by VICE
Pengunjung restoran ini rela mengantre berjam-jam hanya untuk menyantap kepiting pedas yang manis, pedas, dan tebal dagingnya. Kadang beberapa pelanggan keluar dari restoran untuk menghirup udara segar. Ada sisa cipratan saus merah di tangan dan muka mereka.
Setelah kepiting sudah habis disantap, para pelanggan biasanya mengakhiri ritual makan di sana sambil melahap mantou, semacam bakpau. Ada juga yang memilih mengorek-ngorek sisa daging kepiting, mendorongnya melewati tenggorokan dengan segelas air perasan jeruk nipis, atau Tiger Beer seharga Rp120 ribu jika kantongmu sedang cukup tebal.
Untuk sebuah negara yang terkenal memuja kebersihan, kepiting pedas Singapura—santapan nasional tidak resmi negara ini—adalah masakan yang tak bersih-bersih amat.
Meski namanya mengesankan lidah terbakar, kepiting pedas Singapura nyatanya tak begitu pedas. Bahan utama saus yang merah pekat itu adalah tomat. Campuran lainnya adalah telur, cabe merah, bawang putih, gula, serta beragam bumbu-bumbu lain yang tak dibeberkan oleh Mellben Seafood.
Bagi saya pribadi, kepiting adalah makanan problematis. Bayangkan, untuk menikmati daging kepiting, banyak kerepotan yang harus kita lakukan: memecahkan tempurungnya, memutus kaki-kakinya, baru bisa menyeruput dagingnya. Padahal daging yang kita makan toh tak seberapa. Namun, di Mellben Seafood, saus merah itu yang jadi penyelamat. Buktinya, tak satupun pengunjung yang peduli apakah meja tempat mereka makan berantakan atau baju mereka kena cipratan saus. Di Mellben Seafood, saus adalah kunci.
Dengan ikut menyantap kepiting pedas singapura, kamu ikut berpartipasi dalam sejarah panjang kuliner Asia. Menurut beberapa sumber, resep kepiting pedas diciptakan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Cher Yam Tian, ketika Singapura masih jadi jajahan Inggris. Saat itu Singapura hanyalah sebuah kota nelayan kotor. Jauh dari kesan singapura yang metropolis saat ini.
Suami Cher, seorang polisi bernama Lim Choon Ngee, bosan setengah mati makan kepiting rebus saban malam. Cher lantas memutar otak. Dia mencampur saus tomat dan cabe. Setelah melewati beberapa eksperimen, jadilah sajian bernama kepiting pedas. Suami istri ini kemudian membuat Palm Beach Seafood Restaurant di kawasan Upper East Coast Road. Sisanya adalah sejarah kuliner.
Terence Ong, manajer komunikasi Tourism Board, percaya kepiting pedas Singapura memang masakan Singapura tulen. Meski begitu, Malaysia menilai anggapan ini cuma klaim sepihak negara tetangga mereka. Bagi pemerintah Negeri Jiran, kepiting pedas adalah makanan khas Malaysia.
Pada 2009, pernah terjadi perdebatan tentang muasal kepiting pedas. Pangkal masalahnya adalah pernyataan Menteri Pariwisata Malaysia Ng Yen Yen yang berkukuh bahwa kepiting pedas adalah warisan kuliner Malaysia. Yen Yen meminta penduduk Singapura berhenti mengklaim kepiting pedas sebagai makanan khas mereka. Sampai sekarang, perseteruan ini terus berlanjut.
Yang membuat Mellben Seafood unik, sebagaimana ratusan restoran serupa lainnya di Singapura, adalah lokasinya. Walau namanya sudah mentereng, Mellben Seafood terletak di sebuah kompleks perumahan tua, jauh dari pusat kota. Ini sama saja seperti menemukan restoran seafood kelas atas Jakarta, di wilayah bronx Jakarta, seperti Tambora, misalnya.
Bedanya, di Singapura, kompleks perumahan pinggir kota sangat nyaman untuk ditinggali, bahkan mungkin lebih nyaman dari lingkungan kelas menengah di Amerika Serikat. Kompleks perumahan ini menjadi rumah bagi semua orang. Menurut data yang dikeluarkan oleh Singapore Housing and Development Board, lebih dari 80 persen penduduk Singapura tinggal di kompleks perumahan publik. Dari 80 persen itu, 90 persen di antaranya memiliki apartemen sendiri.
Menurut laporan Quartz dan CNN, kompleks perumahan ini mirip seperti perumahan di Eropa dan AS. Semuanya dibangun oleh pemerintah. Namun, tak seperti di Eropa dan AS, perumahan publik di Singapura sangat bersih, memiliki angka kriminalitas yang rendah dan didesain untuk membaurkan semua ras yang ada di sana—tiap kompleks harus memenuhi kuota untuk semua etnis yang ada di Singapura: Tionghoa, Melayu, dan India.
Semua aturan ini mungkin memang hanya bisa diwujudkan di Singapura, sebuah negara yang penuh aturan ketat. Jangan lupa, Singapura adalah nanny state—sebutan untuk negara yang pemerintahnya sangat mengatur kehidupan pribadi rakyat. Singapura adalah negara dengan sistem satu partai yang melarang orang mengunyah permen karet. Kamu bahkan harus dapat restu pemerintah untuk membeli mobil. Jangan lupa, menyelundupkan narkotika adalah tiket menuju tiang gantungan. Publik internasional baru menyadar seketat apa kehidupan di Singapura pada 1994. Saat itu Michael Fay, pelajar berusia 18 tahun asal Amerika Serikat, divonis 6 buah cambukan di pantat memakai tongkat bambu cuma gara-gara membuat grafiti di marka jalan dan beberapa mobil. (Pemerintah AS mengajukan permohonan maaf. Fay lolos dengan empat cambukan saja. Lumayan lah).
Meski pemuda AS saja sampai dicambuk rotan, warga Singapura menganggap peraturan ketatlah yang membuat negara mereka makmur. Berkat kebijakan pemerintah pula bisa muncul tempat makan kepiting pedas terenak nyempil di sebuah kompleks perumahan tua sampai orang-orang rela mengantri di depan restoran saban hari.
Yang penting bagi rakyat Singapura, kalau kamu datang mencoba kepiting pedas Mellben Seafod ingat-ingat dua aturan penting ini: Jangan bawa cat pilox lalu seenaknya bikin grafiti atau ikut mengklaim kepiting pedas berasal dari Malaysia. Dua hal ini haram hukumnya.