Di Indonesia, warganya selalu punya cara dalam menghadapi infrastruktur publik yang jarang berpihak kepada mereka: bersiasat. Mungkin mereka tahu, mengharapkan aspirasinya dilayani negara itu sama seperti mengharapkan Karni Ilyas bicara tak tersendat. Karena itulah, warga bersiasat agar tak terlipat; mereka bersiasat karena jarang diajak terlibat.
Pembangunan infrastruktur publik sering keliru memahami kebutuhan warga, atau mungkin memang tak penting untuk tahu apa kebutuhannya. Orang Papua yang kebutuhannya adalah pengakuan atas kedaulatannya sebagai manusia, pengelola APBN malah membuatkan tol dan mendidik konsumsi beras. Warga Bukit Duri mengusahakan sendiri ruang hidupnya yang tak difasilitasi negara, tapi penguasa kota malah mengirim tentara ketimbang undangan berunding.
Videos by VICE
Dalam situasi itu, pemilik modal dan elit politik sebenarnya adalah pihak yang menduduki posisi puncak rantai makanan dalam ekosistem bisnis negara. Karenanya, infrastruktur publik ada dan diadakan pertama-tama untuk melayani aspirasi mereka. Sementara itu antarwarga dibiarkan saling berduel demi merebut akses atas fasilitas publik. Mereka yang tak kebagian, adalah mereka yang bersiasat.
Tapi sial buat mereka yang lemah secara ekonomi dan politik, karena tantangannya menjadi ganda. Bukan cuma harus bersiasat, tapi siasat mereka kerap dipahami dengan tidak adil. Kalau bukan dicap tukang onar atau perusak ketertiban, mereka direduksi sebatas pelanggar aturan atau bahkan kriminal. Siasat mereka kerap gagal dipahami sebagai ekspresi politik, apalagi daya politik.
Berikut contoh-contoh lain kreativitas warga memaknai ulang sekaligus merebut ruang publik untuk keuntungan mereka, hasil jepretan Roy Thaniago dari berbagai sudut Kota Bogor: