Nuansa Pedofilia Sinetron Indosiar Picu Diskusi Soal Political Correctness di Sinema

Sinetron Suara Hati Istri: Zahra panen kecaman netizen karena bernuansa pedofilia

Sukses bikin kita geleng-geleng kepala dengan sinetron “Suamiku Kecanduan Game Online”, kali ini stasiun televisi Indosiar resmi memancing emosi publik setelah dianggap kelewatan. 

Salah satu episode sinetron berjudul “Suara Hati Istri: Zahra” mengundang kecaman karena melibatkan aktris di bawah umur dalam adegan pemaksaan hubungan seksual berlatar cerita perkawinan usia anak. Adegan tersebut menampilkan tokoh seorang istri ketiga bernama Zahra, diperankan Lea Ciarachel (15), dan suaminya yang bernama Tirta, diperankan Panji Saputra (39).

Videos by VICE

Aktivis perempuan dan praktisi film menilai, keputusan rumah produksi memakai aktris berusia anak untuk menjalani adegan mesra dengan tokoh suami yang diperankan pria 39 tahun mempromosikan pedofilia dan pelecehan seksual pada anak (child grooming). Pemaksaan halus pada adegan malam pertama juga dinilai mempertontonkan pemerkosaan dalam perkawinan. 

Di media sosia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dikecam netizen karena meloloskan siaran semacam ini. Publik juga berkampanye di platform petisi change.org untuk meminta Indosiar menghentikan siaran sinetron tersebut.

Sejauh ini, keributan tersebut masih ditanggapi santai para pemeran “Suara Hati Istri: Zahra”. Salah satunya oleh Panji di Instagram pribadinya. Respons KPI juga tak memuaskan karena hanya berfokus pada aktris usia anak, tapi tidak dengan muatan yang diprotes. Yang dilakukan KPI saat ini hanya menyurati Indosiar dan meminta pemeran Zahra diganti.

“Indosiar menerima semua masukan dan akan segera mengganti pemeran dalam tiga episode mendatang pada sinetron tersebut,” ujar Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo, dilansir dari Detik. “Terkait usia pemeran, selanjutnya akan menjadi acuan Indosiar ke depan untuk selalu mengingatkan PH [production house] agar memakai pemeran-pemeran usia di atas 18 tahun untuk peran yang sudah menikah,” tambah Hadi.

Selain itu, KPI menyebut jam tayang sinetron akan dikaji ulang sesuai dengan kepatutan isi sinetron masing-masing. Ini berlaku bukan cuma untuk Indosiar, tapi juga stasiun televisi lain.

Kecaman kepada Indosiar dan KPI membangkitkan pertanyaan apakah sinema memang harus harus peduli pada political correctness (kepatutan politis)?

Secara sederhana, political correctness diartikan sebagai bahasa, tindakan, dan kebijakan yang disengaja untuk menghindarkan karya dari penghinaan dan kerugian bagi anggota kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks protes kepada sinetron “Suara Hati Istri: Zahra”, adegan yang dianggap dapat mempromosikan pedofilia, pernikahan usia anak, dan child grooming dinilai tidak bisa dibenarkan.

Political correctness bukan hal asing dalam sinema, dan biasanya terkait dengan perjuangan politik kaum minoritas. Misalnya dalam banyak film yang didistribusikan Netflix, hubungan sesama jenis dipotret sebagai kenormalan. Tokoh Ignatius “Iggy” Frome dalam serial New Amsterdam yang ditayangkan NBC bisa menjadi studi kasus terbaik mengenai political correctness. Sinema dipakai untuk membantu perjuangan kelompok minoritas seksual agar terbebas dari label menyalahi kodrat. Tapi sinema yang dinilai tidak politically correct pun berserak.

Untuk mengetahui pendapat pakar, VICE menghubungi pemerhati film sekaligus pendiri kanal YouTube ulasan film Cine Crib, Aria Gardhadipura, untuk ngobrol seputar pentingnya kepatutan politis dalam layar.

Political correctness di film ya penting lah. Film itu power, dan power itu bisa memengaruhi masyarakat. Film seringan Avengers pun memperhatikan political correctness,” ujar Aria kepada VICE.

“[Kejadian di Indosiar] menandakan pentingnya script supervisor atau script consultant. Semua film, apa pun bentuknya, mau panjang atau pendek, pasti membawa pesan dan value. Gue pikir orang yang bikin film pasti ingin memberi value itu ke yang nonton. Kalau sesimpel pernikahan orang dewasa dan anak kecil tidak disampaikan dengan value yang benar, ya itu bisa salah.”

Aria menekankan bahwa kepatutan politis berkembang seiring isu yang mengemuka di masyarakat. “Mungkin sekarang ngomongnya [representasi] ras dan minoritas, mungkin sepuluh tahun lagi ada isu lain yang lebih krusial dibanding warna kulit dan gender, dan bisa jadi new woke-up movement,” tambah Aria. “Yang gue sadari tuh lima tahun belakangan, setelah Moonlight [2016] menang deh, film Hollywood pasti menonjolkan diversity. Dulu emang udah banyak pakai karakter dari people of color, tapi enggak pernah di-push kayak sekarang agendanya. Mereka berpikir sekarang udah banyak orang berwawasan dan kritis bahwa political correctness di film harus lebih kelihatan.”

Saat dimintai konteks sinetron Indosiar, Aria menyebut ada banyak hal yang bisa melandasi pilihan mereka memilih Lea sebagai pemeran Zahra. “Mungkin [pihak] yang bikin sinetron enggak bisa nge-casting orang lain. Mungkin dia harusnya lebih jeli melihat karakter ceritanya. Mungkin orang-orang di balik layarnya tidak paham sama cerita yang pengin mereka sampaikan. Pernikahan muda memang ada, tapi mungkin mereka enggak paham penuh, makanya keluarnya ngaco gitu,” sambung Aria.

“Jangan [karena ceritanya] pernikahan muda, maka aktrisnya harus sebegitu mudanya, ya enggak gitu juga,” tutup Aria.