Money

Sistem ‘Cashless’ Mulai Dianggap Picu Kesenjangan Ekonomi, Untungkan Bisnis Besar Doang

Mulai banyak kota di AS melarang perusahaan sepenuhnya cashless karena mendiskriminasi warga miskin

Bluestone Lane adalah salah satu bisnis waralaba kopi pertama, yang memilih sepenuhnya menjalankan pembayaran tanpa uang tunai. Mereka memutuskan jadi cashless. Pendiri di balik waralaba kopi tersebut mengaku alasannya efisiensi.

“Mengurus uang tunai makan waktu,” ujar Andy stone, wakil presiden pemasaran di Bluestone Lane. Di kota besar kayak New York, London, atau LA, kebutuhan menghapus uang tunai tinggi karena orang lebih suka tak mengantre. Dia bilang ada masalah lain soal menghitung uang tunai, memindahkan uang tadi, dan mentransfernya ke bank, yang membuat rangkaian transaksi itu rentan terhadap pencurian. Keuntungan lain cashless, kata Stone, ada pada perkara transparansi. “Semua yang masuk ke sistem keuangan langsung masuk ke sistem. Lebih bagus buat masyarakat dong, karena kami membayar lebih banyak pajak.”

Videos by VICE

Bluestone adalah perwakil bisnis yang percaya pada keuntungan transaksi nontunai, entah itu pakai kartu debit, kartu kredit, atau dompet elektronik macam OVO dan GO-PAY yang populer di Indonesia. Merujuk laporan Bank Sentral AS, tahun lalu diperkirakan 48 persen transaksi di negara itu sudah sepenuhnya nontunai. Di Tanah Air, transaksi nontunai terus tumbuh hingga 300 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Menariknya, beberapa bulan belakangan, sebagian pemerintah negara bagian dan kota di Amerika Serikat berupaya melawan tren yang didukung banyak ekonom ini. Apa alasannya? Ada ketakutan ekonomi tanpa uang tunai mendiskriminasi 6,5 persen rumah tangga di AS, sebagian besar terdiri dari anak muda dari latar kulit berwarna dan berpenghasilan rendah. Mereka tidak mempunyai rekening bank. Lebih parahnya lagi, demografi ini tidak akan bisa menyesuaikan kenaikan harga produk untuk menutupi biaya kartu kredit. Jadi, punya kartu kredit juga bukan solusi.

Awal Maret 2019, Philadelphia jadi kota pertama di AS yang melarang perusahaan sepenuhnya cashless. Beberapa minggu kemudian, New Jersey mengikuti jejak Philadelphia dan menjadi negara bagian kedua yang melarang semua perusahaan hanya melayani transaksi nontunai. Massachusetts sudah memiliki kebijakan mengenai isu ini sejak tahun 1970-an. Kota seperti New York, Washington DC, dan San Francisco mempertimbangkan tindakan serupa. Peraturan ini mencerminkan upaya nasional di AS melawan agenda korporasi serta perusahaan teknologi yang menurut para ahli hanya meningkatkan kesenjangan ekonomi. Tren baru melawan layanan sepenuhnya cashless terjadi dalam skala luas di AS.

“Larangan hanya melayani transaksi nontunai seharusnya jadi undang-undang nasional,” tutur Paul Moriarty, legislator asal New Jersey yang dengan sukses memimpin upaya di negara bagiannya melarang perusahaan sepenuhnya cashless. “Sebab, dolar AS adalah mata uang yang berlaku dan harus diterima untuk semua jenis pembayaran.”

Legislasi Moriarty disepakati hampir semua legislator di New Jersey, negara bagian yang mencakup Newark, salah satu kota yang paling kekurangan bank di Negeri Paman Sam. Moriarty menegaskan terlalu mendukung cashless berpotensi membuat konsumen mudah dieksploitasi atau diperas lembaga-lembaga finansial. Visa pernah menawarkan tunjangan sebesar US$10.000 (setara Rp14 juta) kepada restoran untuk menolak uang tunai. Artinya, orang dipaksa harus punya kartu kredit untuk bisa menjalankan gaya hidup nontunai.

Amazon yang menghadapi semakin banyak kritik atas praktik bisnisnya yang bersifat monopolistik dan anti-serikat sekerja, juga mengadvokasi penjualan tanpa tunai. Karena kebijakan Philadelphia yang anti nontunai, Amazon mengancam akan mencabut rencana membuka lebih banyak toko-toko fisik tanpa kasir di kota itu.

Pejabat pemerintah di San Francisco ikut menyasar Amazon dan toko-toko otomatisnya selama mereka mempertimbangkan kemungkinan melarang toko menolak transaksi tunai. Sebelumnya, Amazon dikabarkan berencana membuka lebih dari 3.000 cabang toko cashless dalam beberapa tahun ke depan.

Diana Elliott, peneliti senior dari Urban Institute, lembaga think-thank di Washington DC, menilai ada jalan tengah yang seharusnya diupayakan oleh pemerintah dan dunia usaha. Perusahaan yang sangat mendukung sistem nontunai punya kewajiban memikirkan atau menyediakan insentif membantu mereka yang berpotensi terbebani. Ada jutaan orang, bahkan di negara maju, yang tidak punya kartu kredit dan debit, lebih-lebih dompet elektronik.

“Menurut saya, jika ada praktik bisnis yang mengabaikan sebagian populasi itu problematis,” ujarnya. “Faktanya masih banyak wilayah yang penduduknya tidak bisa beroperasi secara cashless.

Pendek kata, mau di AS ataupun di Indonesia, nontunai memang menguntungkan hanya mereka yang sudah terpapar layanan perbankan. Di Philadelphia, ambil contoh, seperempat penduduk kotanya hidup di bawah garis kemiskinan federal, dan tak punya akses pada kartu kredit dan lembaga-lembaga finansial. Problem serupa juga sudah mengemuka di Indonesia, ketika layanan perbankan baru diakses 36 persen penduduk dewasa.

Bill Greenlee, anggota dewan kota Philadelphia yang ikut mendorong gerakan melarang perusahaan tanpa tunai, mengaku termotivasi mendukung gerakan tersebut karena ia memahami keterbatasan yang dialami ribuan warga kotanya. “Saya merasa terganggu, terutama karena warga Philadelphia berasal dari semua latar belakang, dan tempat-tempat cashless ini seakan bilang ‘kalau tidak punya kartu dan dompet elektronik, kamu tidak diterima di sini,’” ujarnya kepada VICE. “Bahkan jika diskriminasinya tidak sengaja, itu tetap saja diskriminasi.”

Upaya meninggalkan transaksi tunai tak selalu memicu masalah. Swedia, misalnya, sedang menuju ke arah ekonomi yang sepenuhnya cashless, dan tampaknya akan berhasil melakukannya. Di India, upaya “demonetisasi” yang menargetkan uang pasar gelap dan penghindaran pajak menimbulkan peningkatan tren pembayaran digital dan penggunaan aplikasi-aplikasi seperti Paytm.

Meski begitu, berdasarkan kasus-kasus di AS dan di negara-negara lain, tanpa akses finansial yang lebih merata, upaya pengusaha menjadi cashless akan meminggirkan sebagian dari populasi yang berusaha keras bertahan hidup. “Saya melihat kesenjangan terus memperbesar antara orang kaya dan miskin di negara yang dulunya membanggakan kelas menengahnya,” kata Moriarty. “Kini orang miskin terjebak di rumah karena tidak bisa bepergian tanpa kartu kredit.”

“Sederhananya, kamu harus menuruti ambisi sekeping plastik,” imbuh Moriarty.

Follow Ankita Rao di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.