Selamat datang di Don’t Quit Your Day Job. Kolom baru dari VICE Indonesia ini menceritakan profesi keseharian musisi yang bertolak belakang dari citranya di panggung.
Ada banyak istilah pakai akhiran ‘core’. Para personel band Polka Wars ternyata bisa memakai akhiran itu lewat cara tak disangka-sangka: menjadi CEO-core. Dipanggil begitu karena dari empat personelnya, tiga berbisnis bersama di bidang properti. Mereka menjual rumah mewah ramah lingkungan, mereka menjulukinya ‘eco mansion’, kepada konsumen kelas atas di Jakarta dan sekitarnya.
Videos by VICE
Jadi, di luar jadwal manggung, vokalis-gitaris Karaeng “Aeng” Adjie, gitaris Billy Saleh, serta basis Xandega “Dega” Tahajuansya sebetulnya akan lebih terikat di bawah bendera PT Magale Sayana Indonesia (awalnya hendak diberi nama ‘PT Polka Property Wars’—tentu saja mereka masih cukup waras untuk tidak benar-benar mengadopsi ide ini) yang memasarkan Sandar Andara Residential. Satu-satunya anggota band yang tidak turut serta dalam projek tersebut adalah drummer Giovanni “Deva” Rahmadeva, seorang produser film yang antara lain telah terlibat membawa film-film Studio Ghibli dari Jepang ke Indonesia.
Cerita personel band indie mencari nafkah di luar bidang musik itu biasa. Tapi bagaimana awak Polka Wars bisa merintis usaha bareng, tanpa harus berantem, dan seperti apa cara mereka menyesuaikan band dengan ritme perusahaan, itu yang harus dikulik lebih dalam. Karena itulah, Marcel Thee mewakili VICE Indonesia mewawancarai awak Polka Wars untuk membahas cerita di balik pilihan mereka memilih ‘medan perang’ pasar properti Ibu Kota yang ketat.
VICE: Jadi gimana sih ceritanya sampai kalian bertiga—Aeng, Dega, dan Billy— memutuskan merintis bisnis bareng di bidang properti?
Aeng: (Semua) dimulai lama setelah band formation. Start dari gue dan Rendria, sesama teman seangkatan gue, billy, dan dega di Al-Izhar. Dega (pada awalnya) join sebagai partner the week or the next week after. Billy join beberapa saat setelahnya. Kita gabung semua kesini biar jadwal kerja gampang diaturnya juga sebagai band. Deva saat itu udh punya prior commitment di perusahaan lain, jadi gak bisa join.
Billy: Iya, adanya Polka duluan, terus tau taunya emang jodoh. Dari SMA, band dan kerjaan ternyata bisa bareng. Kalo Deva emang udah mateng duluan dia, jadi nyari duitnya juga udah melanglang buana kemana-mana duluan, dari zaman gue Dega dan Aeng kuliah. Dulu gue pas masih kuliah juga sempet bantuin kerjaannya Deva pas dia udah gawe, waktu itu kalo gak salah jualan kosmetik ya? Dari kerjaan Deva yang itu gue juga udah disuruh ngitung-ngitung duit, dan akhirnya [keterusan] sampai sekarang [tertawa].
Jadi Aeng, Billy, dan Dega sudah ada dari dulu niat punya bisnis bersama?
Aeng: Start dari Rendria yang baru keluar dari pekerjaannya sebagai Engineer di sebuah perusahaan gas multinasional dan ingin sekali memulai usaha. Rendria went to me karena dulu saat kuliah sempat coba bisnis tekstil kecil-kecilan bersama, dan gue pun saat itu sudah lumayan punya pengalaman dalam berbisnis hence Rendria went to me for advice. One thing led to another akhirnya terbesitlah untuk bangun perusahaan bernafaskan sustainability karena all of us share the same concern terkait climate change. Perumahan Sandar Andara jadi starting point-nya karena kebetulan kita ada landbank dengan lokasi yang baik dan free untuk digarap.
Gimana cara kalian bagi tanggung jawab di kerjaan?
Aeng: Gue sebagai President Commisioner. Dan gue bertanggung jawab to oversee strategic development perusahaan, intinya mastiin gerakan perusahaan, in the bigger picture, bergerak ke arah yang benar.
Dega: Kalau gue sebagai Chief Operating Officer, tanggung jawab gue untuk memastikan operasional harian perusahaan bergerak dengan baik dan sesuai dengan strategi besar perusahaan.
Aeng: Billy sebagai Financial Manager. Dia bertanggung jawab untuk financial matters-nya perusahaan, dan menjaga agar perusahaan tidak kebobolan.
Billy: Iya, tanggung jawabnya sih lebih kurang yang disebut Aeng, tapi ya jadinya tanggung jawab semua buat ngebikin perusahaan ini jalan. Dapur kudu ngebul nih (tertawa).
Nama Sandar Andara ini dapatnya dari mana dong?
Aeng: “Andara” karena lokasi nya di Jalan Andara, dan Sandar karena kita mau perumahaannya jadi oase dan tempat bersandar di tengah all the hustle and bustle of the capital – serenity within the city. Rencananya konsep sandar ini pun akan ada di banyak tempat bukan hanya di andara. Jadi in the future nanti mungkin ada Sandar Kemang, Sandar Bogor, and so on.
Pernah kepikiran menggabungkan promosi kerjaan dan band?
Aeng: Cross promotion belum pernah. Kita gak mau masing-masing jadi penghalang untuk yang lainnya. Jadi it’s better if we keep it separated.
Billy: Lumayan harus dipikirkan matang kalaupun mau mengawinkan kedua hal tersebut.
Pernah enggak sih hasil kerjaan harian kalian pakai untuk mengongkosi kebutuhan band?
Billy: Tentu saja. Kami pernah bikin pameran foto di [kafe kawasan Kemang] Sunset Limited yang berbarengan sama rilis single ‘Rangkum’. Buat biayanya kita dulu terbantu perusahaan minyak tempat Aeng dulu kerja. Alhamdullilah, waktu itu bisa jalan. Kami bayangkan, kalau perusahaan properti ini bisa profit, nanti bisa mendukung kebutuhan band. Minta doanya aja deh.
Kalian melihat ada pendekatan yang sama gak antara bisnis properti ini dengan di band?
Aeng: Pendekatan kami ke sandar mulai dari purpose, kita define banget purpose kita untuk ada sebagai sebuah firm. If we dont make any positive net external impact ke environment, mending kita nggak usah ada. Dan sama halnya dengan Polka; dulu saat bikin Polka pun syarat dasar dari eksistensi Polka adalah kita harus bikin musik yang deliver pesan baik. Misalnya nggak baik, mending ga usah ngeband. Walaupun baik buruk sebenarnya relatif, tapi at least kita coba interpret dari pemahaman kita.
Kalian bertiga memprioritaskan mana? Bisnis properti ini atau Polka Wars?
Aeng: Dari awal kita view ngeband sebagai creative output, dan memang bukan sebagi vehicle untuk bread winning. Jadi kalau ditanya prioritas sih, both prioritas, tapi what is to be gained from each, beda. Perusahaan ada to leave an impact in the material world, sedangkan band kita is to leave an impact in our own inner spiritual world. Jadi both serves its own purpose.
Kalau bisnis properti ini, katakanlah gagal, bakal ngefek ke nasib band ga?
Billy: Insya Allah, enggak akan ada apa-apa sama Polka Wars. Kami berharapnya bisnis ini bikin kami sibuk banget, jadi kami malah enggak ada waktu ngeband lagi. Tapi mau gimanapun, kami semua suka banget sama musik. Lagipula, rata-rata masalah yang bikin band bubar tuh tiga jenis kok: uang, perempuan, dan rasa malas. Udah gitu aja.
Dega: Kami akan terus termotivasi sukses sebagai Polka Wars, karena itu punya kami bareng-bareng.
Bisnis kalian itu menginspirasi musik juga enggak sih?
Billy: Mungkin di masa depan kali ya. Belum tahu juga sih. Kalau mungkin ada cerita menarik dari bisnis [properti] bisa aja kami jadikan lagu.
Dega: Hidup kami bagaimanapun enggak bisa dipisahin gitu aja dari bisnis. Jadi mungkin-mungkin aja tema ini muncul di album kedua [Polka Wars].
Apa reaksi teman atau keluarga saat tahu kalian bikin bisnis bareng? Enggak dikritik?
Billy: Rata-rata mendukung sih. Kami sebenarnya sering berantem, tapi justru ini bukti kami benar-benar bersaudara. Ada sih yang tanya, “kalian enggak bosen apa, bareng-bareng terus?” Faktanya kami emang sudah dekat dari SMA. Aeng sama Dega malah udah sekolah bareng dari SD. Tapi, kalau bukan sahabat, siapa lagi yang mau kamu percaya buat urusan kerjaan? Memang udah nasib kami barangkali. Insya Allah, hubungan kami bakal bertahan selamanya.
Apa saja sih sisi terbaik dan terburuk dari punya kerjaan di luar nge-band?
Billy: Susah juga sih kalau [nyari] terburuk dan terbaik, karena masing masing punya romansanya tersendiri. Jadi enak-enakin aja biar berkah.
Karaeng: Gue CEO di sebuah perusahaan energi kecil. Terbaik karena masih running juga jabatan itu. Terburuk jadi staff lab di sebuah perusahaan kosmetik nasional saat kerja praktik. Gak mau kerja lagi setelah itu, karena gue don’t function well under pre established systems.
Dega: Gue pernah jadi agen asuransi, intern di production house nya (sutradara film) Paul Agusta. Ikut produksi film panjang jadi cinematography department.
Kalian melihat Polka Wars sebagai “kerjaan” juga gak?
Aeng: Yes and no. Kerjaan in a general sense sih enggak; tapi kerjaan in a spiritual sense sih iya. Karena we really do take music seriously kok, and we truly believe that music is an integral part of life and can do wonders for humanity. It’s the best vessel yet known for mankind to deliver ideas and stories concisely and effectively.
Billy: keduanya sih, cuma Polka lebih ke arena bermain kali ya? Walaupun pada sisi yang lain kami juga serius saat bermain ini.