Artikel ini pertama kali muncul di i-D.
Mampukah platform fana yang terkenal dengan selfie-selfie konyol dan filter kawaii membantu perempuan mengklaim kembali kebebasan ekspresi mereka?
Saya tak buru-buru ingin menjajal Snapchat. Aplikasi sedang tren itu membantu pengguna saling berkirim gambar memakai sistem pengaturan durasi yang bisa diatur manasuka. Saya terhitung telat mengikuti kehebohan aplikasi dikenal berkat video-video pengguna yang jarang berdurasi lebih dari 10 detik, serta pasti hilang dalam jangka 24 jam ini.
Sebagai perempuan yang berprofesi sebagai penulis, saya tidak gemar meromantisir hal-hal fana. Masing-masing manusia memiliki sisi yang tidak ingin diketahui orang lain. Dalam kasus saya, semakin hari kemampuan menelaah situasi sebagai bahan menulis sebuah topik semakin melemah. Imbasnya, pelan-pelan saya ingin menyimpan segala ingatan secara virtual. Buat momen-momen yang paling berkesan, saya akan mengunggah fotonya ke Instagram. Sementara untuk membangun citra diriku yang cerkas dan kocak, saya berbagi lewat Twitter.
Terkait citraan perempuan modern dan hubungannya dengan media sosial tersebut, saya sempat menuliskan pandangan di media cetak maupun daring. Perempuan selama ini dilarang tampil di ruang publik oleh sistem patriarki. Apakah bijak bila perempuan sekarang menghilang dari ruang-ruang jejaring sosial semacam itu? Atau justru kami harus gembira dengan semua kemajuan teknologi saat ini?
Selama berabad-abad, kebudayaan perempuan seakan membeku dalam waktu. Wanita diabadikan, dirumahkacakan, hingga dibungkam baik melalui prosa maupun lukisan para seniman laki-laki. Jutaan perempuan menjelma menjadi patung-patung venus kesekian. Kami ibarat Olympia, bersantai di kursi malas. Kami adalah Marion Crane, karakter film ‘Psycho’ Alfred Hitchcock, yang hanya dapat berteriak di kamar mandi sebelum dihabisi. Dengan semua pertimbangan itu, Snapchat awalnya kupikir dibuat melalui pola pikir dunia lama; gagasan untuk membekukan perempuan.
Saat Surat Kabar The New York Times meliput aplikasi itu pertama kali pada Mei 2012, sang penulis, Nick Bilton, menggambarkan bagaimana Snapchat berpotensi “digunakan memotret hal-hal pribadi penggunanya, tersebar sejenak, lalu setelahnya kembali hilang dalam waktu singkat.”
Bilton mengambil kesimpulan itu berdasarkan kumpulan gambar perempuan separuh telanjang yang mewarnai laman deskripsi Snapchat di Apple App Store. Selanjutnya, Bilton meyakini “untuk sementara mention-mention di Twitter menunjukkan para penggunanya sebatas saling bertukar gambar dan ngobrol bersama teman. Namun ada beberapa bukti, aplikasi ini berpotensi dipakai mengirim hal-hal tak senonoh.”
saya menyukai artikel Bilton, karena prasangka terhadap Snapchat sekilas terbukti. Namun, ketika saya mengedit tulisan, beberapa perempuan di lingkaran saya mulai menggunakan snapchat. Mereka mengedarkan foto di atas treadmil, muka mereka merah dan berbinar. Mereka juga memoto matahari terbenam yang indah dan makan siang yang menyedihkan di meja kantor. Teman-teman, musuh-musuh saya, para hipster, barista di seberang jalan, bahkan atasan saya—mereka semua asik bermain snapchat. Tiba-tiba, saya tergiur masuk dalam pembicaraan mereka di snapchat. Saya mendadak ingin membuat foto-foto konyol selama itu. Cuma sementara saja. Sumpah, saya tidak tertarik dengan sexting. Saya ingin berjalan-jalan sambil mematut-matut di depan layar ihone. Walhasil, saya bikin sebuah user name. Butuh waktu 2 minggu sebelum saya sadar saya sudah melewatkan kenikmatan ini. Saya ingat suatu saat seorang teman mencorat-coret sebuah foto laut yang indah dengan huruf berwarna pink “better IRL” (lebih keren aslinya). Kalimat bualan itu mengedip, sebuah pengingat bahwa orang pertama kali membuat sebuah foto dan mencoret-coretnya bakal jadi orang pertama yang tahu rasanya melihat foto itu. Saya pun langsung kepincut.
Videos by VICE
Dan para pesohor pun sudah masuk snapchat—wanita-wanita terkenal, celeb-feminis kebanggaan kita. Kerap kali, salah satu dari mereka membagi momen yang melahirkan banyak headline dan jutaan screenshot. Awal musim panas ini, Michelle Obama membuat akun snapchat dan internet langsung menggila. Di Februari 2015, Madonna berpaling ke snapchat untuk menayangkan perdana video musik terbarunya—sebuah langkah yang cekatan sekaligus cerdas dari seorang perempuan yang selalu jadi pendongeng kisah hidupnya sendiri.
Lalu, ketika Amandla Stenberg mengambil alih akun snapchat Teen Vogue’s untuk mempromosikan foto dirinya di cover majalah itu, ia juga mengungkap identitasnya sebagai seorang biseksual. Dia tak harus menarik nafas panjang sebelum membuat sebuah pernyataan. Stenberg mengatakannya begitu saja, sewoles mungkin, seperti bicara pada seorang teman. Dia mengatakannya tanpa niat merangsang atau melakukan provokasi. Dia hanya mengeluarkan sebuah penyataan, “Makin hari makin susah saja untuk tutup mulut. Lagipula, pedih rasanya terus menerus mengingkari identitasmu dan menjadi orang yang bukan diri kita,” ungkapnya.
“Sebagai seorang perempuan berkulit hitam dan biseksual, saya sudah mengalaminya semua.”
“Perempuan tak bisa terus ditekan,” lanjutnya. “Kita ditakdirkan untuk mengekspresikan kegembiraan, cinta dan air mata kita. Kita ditakdirkan untuk menjadi besar dan berani.” Bagi Stenberg, perempuan tak sepatutnya dipandang sebelah mata, dan dibekukan dalam pandangan laki-laki. Dia menengok ke arah kamera: “Ini diri saya yang sejati.”
Kendati demikian, dari semua postingan snapchat yang berakhir manjadi #content, miliaran postingan lainnya raib begitu saja. Sebagian besar yang wara-wiri tak akan memicu konten berita mengemparkan, meski Rihanna, ambil contoh, mengunggah sesuatu. Snapchat memang tidak dirancang mengeruk impresi ala-ala selebtwit. Teks atau sms adalah adalah cara membayangkan temanmu yang ada jauh di sana. Surat adalah cara menyampaikan cinta—meminjam istilah bus lokal—antar kota antar propinsi.
Sedangkan sebuah snap adalah cara seorang perempuan mengada, bebas dari tuntutan oarang lain. Karena beberapa pun detik yang dia izinkan, snapchat akan memberinya kesempatan melihat foto dan sedetik kemudian, foto itu hilang. Di samping itu, Snapchat tak lantas jadi sarang pelecehan seksual atau segala kebejatan serupa seperti yang diramalkan pera pengkritiknya. Justru pelecehan semacam ini sarangnya ada di twitter. Sebaliknya, snapchat telah memberikan sebuah piranti bagi perempuan mewakili dirinya sendiri. Snapchat memungkin wanita berkata dengan lega “ini kami, jadi diri kami sendiri.”
Dalam artikel yang menggarisbawahi daya pikat Snapchat, dimuat di The New York Times Magazine pada Mei 2016, Jenna Wortham menulis “seluruh estetika snapchat berlawanan dengan perangai kebanyakan pengguna Facebook, Instagram dan Twitter—yang seakan-akan mereka menunggu dihubungi pencari bakat atau agen modelling. Snapchat bukan tempat kalian harus terlihat memikat. Snapchat adalah tempat kita menjadi diri sendiri.” Dengan kata lain, snapchat adalah tempat kita bisa melihat diri sendiri. Perempuan, di snapchat, bisa menjadi penilai, pelukis sekaligus penikmat lukisannya dalam satu waktu.
Snapchat adalah ekspresi tekno-sosial khas sudut pandang perempuan (female gaze). Snapchat tidak suci atau lebih parah lagi—perawan. Tapi, ini yang membuat snapchat istimewa. Sebab jika tidak, kita boro-boro bisa berubah jadi kumbang atau anak anjing, muntah pelangi atau menukar muka kita dengan Saint West dalam foto.
Snapchat adalah satu lagi cara mengirim pesan ke dunia, bahwa perempuan bisa bangga dengan diri sendiri, membingkai diri sekaligus menentukan seperti apa jati diri kita. Seandainya Venus dari Urbino memperoleh kesempatan yang sama. Coba saja bayangkan: pasti Venus mungkin punya tongsis. Dia pasti muntah pelangi di snapchat. Aplikasi Snapchat mungkin tak selamanya akan ada. Tapi, snapchat menang ada untuk masa kini.
Karena intim dan slebor, Snapchat adalah ode bagi keperempuan kita. Angin-anginan, terburu-buru, agak tak penting dan penuh maksud tersembunyi—snapchat semacam buku harian yang pasti kita bakar. Snapchat tidak menjawab pertanyaan siapakah diri anda saat anda berusia 14, 26 atau 35 tahun. Snapchat membiarkan anda menjadi diri sendiri, setidaknya untuk beberapa saat. Karena beberapa dekade dari sekarang, orang tak lagi melihat kita seperti sekarang kita memandang diri sendiri.