Pekan ini, Reynhard Sinaga dinyatakan bersalah dan dihukum penjara seumur hidup oleh Manchester Crown Court atas kasus pemerkosaan terhadap 48 pria di Manchester, Inggris. Diperkirakan korban mencapai lebih dari 200 orang. Sampai dengan artikel ini ditulis, pasca putusan dibacakan laporan penyintas terus bertambah. Dengan jumlah laporan yang tinggi, Reynhard dijuluki “pemerkosa terburuk dalam sejarah Inggris” oleh pengadilan dan media massa.
Kasus ini jelas menarik perhatian dunia. Tapi yang patut digarisbawahi, kasus yang sudah masuk penyidikan sejak tahun 2017 ini sama sekali tidak diberitakan sampai dengan hari putusan. Mengapa?
Videos by VICE
Pelarangan pemberitaan tersebut dilakukan oleh Pengadilan guna melindungi privasi para penyintas. Penegak hukum, media massa dan masyarakat di Inggris mematuhinya. Tidak hanya mematuhi prosedur pemberitaan, konten pemberitaan pun berpihak terhadap perlindungan penyintas. Identitas mereka dikunci rapat. Pengadilan dan aparat penegak hukum tidak tergiur untuk mempublikasikan.
Tak hanya itu, tidak pula terdengar hakim, juri maupun pengadilan melakukan victim blaming, pertanyaan maupun pernyataan yang menyudutkan korban. Sejumlah korban mengaku terperdaya oleh sikap baik Reynhard yang menawarkan tempat menginap. Di apartemen miliknya, para penyintas dikelabui untuk minum alkohol ataupun air yang mengandung obat bius – ditengarai merupakan GHB yang dengan mudah bisa didapatkan di toko obat di Manchester.
Fakta-fakta itu tidak dijadikan alasan untuk menyalahkan penyintas, hakim justru menggunakannya untuk membuktikan perilaku jahat si pemerkosa yang dilakukan tanpa dasar persetujuan korban. Praktik anti-victim blaming di atas dapat dilihat dari pernyataan resmi penegak hukum di media massa. Praktik baik yang diikuti oleh media massa Inggris.
Praktik yang patut ditiru lainnya dapat dipelajari dari kasus pemerkosaan seorang mahasiswi oleh Brock Turner di Amerika Serikat. Kasus tersebut terjadi di awal 2016. Peristiwa terjadi saat korban dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dua orang mahasiswa yang melihat kejadian menolong korban dan akhirnya polisi menangkap pelaku.
Kasus ini menarik perhatian karena pelaku adalah seorang mahasiswa yang menjadi atlet kampus. Proses demi proses hukum berlanjut. Seperti pada kasus di Inggris, identitas korban dilindungi. Docket atau berkas perkara menggunakan nama samaran untuk korban: Emily Doe.
Di kedua kasus di atas, praktik yang memihak penyintas juga ditunjukkan dengan menyediakan sarana untuk pemulihan korban. Bagi korban kejahatan Reynhard Sinaga, baik aparat penegak hukum, institusi pemerintah, kampus, maupun organisasi non-pemerintah mengajak penyintas untuk membuat laporan dan mengakses pemulihan.
Meski jaksa menuntut enam tahun penjara untuk Brock Turner, hakim hanya memberikan hukuman yang amat ringan. Tak lebih dari enam bulan, Turner sudah dibebaskan. Putusan yang tentu tidak mencerminkan keadilan bagi korban. Jaksa di kasus Emily Doe mempublikasikan surat dari korban yang menceritakan derita yang dia alami. Emily menarasikan kondisinya yang tidak sadarkan diri bukanlah persetujuan bagi pelaku.
Meski tidak tahu identitas korban, membaca surat tersebut, publik membalas dengan ribuan surat dukungan untuk Emily. Akhir tahun 2019, publik baru mengetahui identitas Emily Doe, ia adalah Chanel Miller. Ia ingin publik tahu siapa dirinya dan mengirimkan dukungan terhadap korban kekerasan seksual. Dukungan agar korban berani melaporkan pelaku.
Hidup Chanel Miller dan ratusan korban Reynhard Sinaga tentu tidak akan pernah sama lagi. Pengalaman pahit dan derita yang terus mereka bawa selama hidup. Dengan praktik baik perlindungan dan pemulihan korban di atas, semua pihak membantu korban melanjutkan hidupnya.
Praktik sebaliknya justru sering terjadi di negeri. Di tahun yang sama dengan kasus Brock Turner, terjadi pemerkosaan di Tangerang. Media massa mampu mengakses semua data yang dilindungi hukum bahkan memberitakannya dengan narasi bombastis. Identitas korban dan detail peristiwa yang justru merendahkan harkat martabat penyintas justru menjadi konsumsi publik.
Alih-alih dilindungi, di negeri ini, tak jarang korban justru menjadi kambing hitam. Sematan “wanita cantik”, “berpakaian minim”, belum lagi eksplorasi riwayat hidup korban sampai dengan riwayat seksual korban, yang justru sarat pelecehan. Akibatnya, korban mengalami trauma yang berkepanjangan. Kondisi ini yang sering disebut sebagai rape culture yang ditujukan untuk menormalisasi kekerasan seksual.
Lalu mengapa perundungan terhadap korban kekerasan seksual terus terjadi di negeri ini? Salah satu sebab adalah belum adanya peraturan nasional yang komprehensif mengenai kekerasan seksual – yang merespons jenis-jenis kekerasan seksual baru, pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Bukan sekedar pasal per pasal berisi teknis, tapi juga pengaturan yang mencerminkan asas-asas perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tentu patut diapresiasi. Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum pula memberi asa baru. Peraturan menjadi panduan bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dengan subyek perempuan.
Yang dibutuhkan tak cuma penegakan hukum yang berpihak pada penyintas, tapi juga perlindungan dan pemulihan. Di Inggris dan Amerika Serikat, rape culture masih ada tapi keberadaan peraturan yang ditegakkan bagi semua pihak mendorong perubahan. Setidaknya ini pelajaran penting untuk Indonesia: para penyintas harus dilindungi dan dipulihkan, profesionalitas penegak hukum harus dijaga, dan media massa harus diatur dalam pemberitaan.