Sosok Jenderal Proto Nazi di Film Wonder Woman Ternyata Beneran Ada Lho

Artikel ini pertama kali tayang di Waypoint.

Setelah nonton Wonder Woman, saya malah kepikiran soal laki-laki.

Mungkin saya salah fokus, karena Wonder Woman adalah film superhero luar biasa dengan tema-tema yang secara khusus dekat dengan perempuan. Tapi saya malah tidak bisa berhenti memikirkan soal pencitraan Jenderal Ludendorff, penjahat yang doyan menghirup gas, diperankan oleh Danny Huston. Ludendorff adalah lawan yang pas untuk Diana, karena menyimbolkan patriakri tradisional yang Diana coba lawan. Dalam arti yang luas, Diana tidak melawan seorang musuh, melainkan konsep Perang Dunia I—dan Ludendorff, yang akan melakukan segala hal untuk menang, merupakan representasi tepat bagi banyak laki-laki yang mengorbankan banyak orang lain selama dan demi perang.

Alasan saya tidak bisa berhenti memikirkannya adalah karena Ludendorff manusia nyata. Dan dalam pencitraan tokoh bersejarah sebagai penjahat buku komik, Wonder Woman mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting soal bagaimana sineas memotret sejarah di layar perak.

Videos by VICE

Tentu saja, eksplorasi apapun soal topik ini harus berlandasan satu pertanyaan: siapa sih Erich Ludendorff, dan apakah tokoh ini menyerupai laki-laki yang ditampilkan dalam film?
Ludendorff dalam Wonder Woman adalah petugas proto-Nazi berdarah dingin yang secara langsung mengeksekusi prajuritnya sendiri untuk dijadikan contoh. Ludendorff ini tidak punya rasa hormat pada kehidupan, terobsesi memenangkan perang, dan sama sekali tidak ambil pusing soal korban-korbannya. Dia akan membunuh komandannya sendiri untuk menghentikan gencatan senjata, menggunakan gas beracun untuk membunuh musuh-musuhnya, dan terlibat plot aneh dengan dokter sinting.

Anehnya, meski karakterisasi ini keliru dalam beberapa hal spesifik, hal ini terasa tepat dalam artian yang lebih luas. Erich Ludendorff dalam sejarah sungguhan, bisa dibilang jenderal brilian yang akan melakukan segala cara untuk meraih kemenangan. Dia seorang laki-laki yang terjerumus ke dalam kegilaan dan konspirasi, dan adalah seorang Nazi mentok di awal era kebangkitan Hitler.

Ludendorff versi Wonder Woman adalah petinggi militer di era pra-Nazi berdarah dingin, yang secara langsung mengeksekusi prajuritnya sendiri untuk jadi contoh serdadu lainnya.

Erich Ludendorff dilahirkan di keluarga kelas menengah pada 1865, dan bahkan saat masih kecil dia menunjukkan tekad kuat untuk berhasil. Dia menyelesaikan pendidikannya di Cadet School, sebagai juara kelas, dan lulus dari universitas militer ternama. Berugas pertama kali pada 1885, dia dipromosikan lebih cepat dan menghabiskan 1904-1913 di Alfred von Schlieffen’s General Staff di Berlin, merancang gerakan-gerakan awal pada PD I.

Namun kesetiannya pada tugas dan sifat gila kerjanya memiliki sisi gelap. Ludendorff tampak tidak tertarik dengan orang lain. Dia tidak memiliki kawan, hanya pengikut, dan bahkan sewaktu kecil menolak bermain dengan kawan sekelasnya. Meski dia adalah seorang suami dan ayah tiri yang berdedikasi—dia menikahi seorang perempuan kaya ketika dia berusia 45 tahun—dia dikenal tak memiliki selera humor dan tidak mau berkompromi, dan dengan tempramen tinggi. Ajudan-ajudannya selalu tahu bahwa Ludendorff memiliki kecemasan ketika dia duduk berdiam diri saat makan, menggulung-gulung roti dengan ujung jarinya.

Kalau dia laki-laki lain, mungkin hal ini akan diabaikan sebagai sifat atau tabiat buruk—namun pada PD I, sifat-sifatnya ini menjadi mematikan. Ludendorff mungkin tidak pernah menembak prajuritnya sendiri sebagaimana ditampilkan di Wonder Woman, namun dia menunjukkan ketidakacuhan terhadap nyawa manusia sebagai korban perang. Dia adalah salah satu jenderal paling buruk, yang memikirkan kasualitas sebagai statistik semata dan bisa merasa damai-damai saja ketika menggunakan senjata mematikan seperti melepas gas beracun.

Meskipun Ludendorff adalah seorang petugas staf ketika perang dimulai, dia tak membutuhkan waktu lama untuk terkenal pada Battle of Liège. Kaiser memberikan Ludendorff medali untuk aksinya dan menunjuknya sebagai kepala staf bagi General Paul von Hindenburg, dan menugaskan keduanya ke Front Timur untuk menarik invasi Rusia dari Prussia.

Seminggu setelah tiba, para Jerman di bawah pimpinan Hindenburg mengepung dan menghancurkan Russian Second Army di Perang Tannenberg, memenjarakan 92,000 tahanan. Media menyebut Hindenburg sebagai pahlawan dan Ludendorff sebagai genius dalam strategi, namun mereka berdua langsung cekcok soal penghargaan itu. Selama dua tahun selanjutnya, Hindenburg dan Ludendorff memimpin kampanye sukses di Timur, yang membuat perbedaan bagi kekalahan Jerman di Verdun, bagian Barat.

Meskipun mereka berdua rival, Hindenburg dan Ludendorff saling membutuhkan. Ludendorff membuktikan dirinya sebagai perencana militer yang tekun dan seorang administrator, yang mampu mencetak prestasi penting dalam hal kordinasi dan logistik. Hindenburg berperan sebagai tokoh yang lebih kalem ketika si Ludendorff yang plin-plan sedang marah.
Setelah bencana di Verdun, Kaiser Wilhelm II mengetahui bahwa kepemimpinan baru diperlukan di German Suprem Command—badan militer yang mengatur negeri selama masa perang. Pada Agustus 1916, Kaiser memberikan Hindenburg dan Ludendorff kekuasaan gabungan terhadap negara dan menugaskan mereka mengubah situasi perang.

Namun semetara Hindenburg lagi-lagi berperan sebagai sosok kalem, operasional perang sehari-hari sebetulnya dipimpin oleh Ludendorff—menjadikannya diktator militer Jerman. Ludendorff pergi ke kantor, menuliskan kebijakan pemerintah dan meminimalisir peran Kaiser dan merendahkan pejabat publik. Tugas utamanya adalah menggabungkan segala elemen negara Jerman ke dalam upaya perang, sebuah langkah politik yang dia, dalam tulisannya kemudian hari, sebut sebagai “perang total”.

Terlepas dari rekor kesuksesan Ludendorff, dia kurang awas dalam arena politik yang menyebabkan banyak bencana. Dia mengeluarkan Rusia dari perang, dan memaksa mereka menyepakati pakta yang penuh dugaan, sehingga menyebabkan para Sekutu menghajar Jerman dengan Pakta Versailles yang sama kerasnya. Alih-alih membebaskan pasukan untuk Front Barat, kekalahan Rusia mengaitkan pasukan untuk mengepung Eropa Timur. Kampanye U-boatnya yang tidak terkendali, yang menyasar kapal-kapal netral dan musuh, mendorong Amerika terseret ke Perang Dunia.

Ludendorff dan komandonya meremehkan Amerika, menyangka mereka tak bisa melakukan mobilisasi tepat waktu untuk membuat dampak besar, namun seketika AU AS tiba untuk mengisi celah di blokade Inggris. Keputusannya untuk mengirim Lenin untuk membuat kekacauan di Rusia memicu revolusi dalam negara tersebut, menyuntikkan semangat pada pengelola buruh Jerman dan sosialis yang dongkol dengan peraturan perburuhan Ludendorff. Semangat tempur mungkin suram dan telah diputuskan di front-front peperangan, namun rumah-rumah di Jerman kekurangan pangan, banyak warga terluka akibat perang, dan marah terhadap stagnansi sistem kelas yang aristrokatik.

Jika Ludendorff telah mengajukan damai ketika Jerman masih dalam posisi kuat, negara itu mungkin bisa menghindari kejatuhan politik. Alih-alih dia membuang segalanya dengan memaksakan serangan—yang ditampilkan kampanye Kaiserschlacht Battelfielf—yang bermula dengan salah satu bombardir gas beracun terbesar selama perang.

Akhirnya, dia kalah. Dia tidak memiliki cukup prajurit, dan pada saat itu 300,000 prajurit infanteri tiba setiap bulannya. Ketika tangki-tangki Inggris menembus Battle for Amiens, kekuatan Jerman akhirnya kembali ke era yang disebut Ludendorff sebagai “hari-hari suram bagi pasukan Jerman.” Kesehatan mental Ludendorff mulai menurun, dan semakin memburuk ketika melihat jasad anak tirinya ditarik dari pemakaman perang. Sebulan kemudian front penyerang Pershing di Amerika mendepak para Jerman keluar posisi Verdun selatan yang telah mereka kuasai sejak 1914.

Atas perintah Ludendorff, berita-berita kekalahan perang disembunyikan dari militer dan publik. Pada 27 September 1918, koran Berlin mencetak kisah-kisah soal Jerman hampir memenangkan peperangan.

Keesokan harinya, Ludendorff mengalami mental breakdown. Dia mengunci diri di ruang kerja dan meraung-raung selama berjam-jam, berteriak bahwa Kaiser, AU, dan para politisi dan bahkan publik patut disalahkan. Pada pukul 6, dia perlahan turun dari ruang kerjanya dan berkata pada Hindenburg bahwa posisi militer ini tidak bisa dipertahankan. Jerman harus mengajukan gencatan senjata.

Rencana Ludendorff dalam mengupayakan gencatan senjata dapat dibilang naif dan ribet. Dia mengutus pemerintahan sipil dan memberikan Reichstag kekuatan penuh, percaya bahwa Jerman demokratis bisa mendapatkan kesempatan lebih baik. Dia juga membuka negosiasi dengan Presiden Wilson, mengira bahwa AS akan menawarkan kesepakatan yang akan mengizinkan Jerman tetap menguasai Polandia dan Alsace-Lorraine.

Dia salah besar. Wilson menuntut Jerman menyerah tanpa syarat, menawarkan kesepakatan tipu-tipu sebagaimana yang dilakukan Ludendorff pada Rusia. Dan ironisnya, situasi militer Jerman berangsur membaik.

Karena rencana awalnya gagal, Ludendorff berubah pikiran, memerintahkan pemerintah sipil menolak gencatan senjata yang tadinya dia perintahkan. Dia ingin melanjutkan perang ini. Alih-alih, mereka memaksanya mengundurkan diri dan membuka negosiasi dengan Sekutu. Ini adalah bagian yang ditampilkan di Wonder Woman, dengan dunia berada di ujung perdamaian dan Ludendorff meyakinkan Jerman masih bisa menang dengan keadaan yang lebih baik. Di film, Diana membunuhnya saat mencoba membom London dengan gas beracun—kenyatannya, dia kabur ke Swedia saat pemerintahan Jerman porak poranda.

Tanpa Ludendorff, Jerman mengalami periode labil. Protes dan kerusuhan pangan, seringkali dipimpin oleh instigator Komunis, membuat aktivitas kota terhenti. Pembunuhan atas nama politik dan perkelahian di jalanan menjadi sesuatu yang normal. Kelompok milisi sayap kanan yang membukakan jalan untuk SA dan SS Hitler mencoba menegakkan “keteraturan.”

Dengan kekuatan konservatif memprotes kekuatan Kiri, Ludendorff kembali ke Jerman dan dia terus kepikiran soal peperangan. Mau bagaimana pun, Jerman tidak terlihat seperti negara yang kalah. Di sisi lain, Jerman memenangkan serangkaian kemenangan. Sebagian besar perkelahian terjadi di luar perbatasan. Hal tersebut masih menguasai sebagian teritori. Di tambah lagi, Ludendorff menyensor warga sipil dan tidak menyadari betapa situasi militer telah menjadi sangat putus asa. Di Berlin, Ludendorff menyampaikan kepada siapapun yang masih mau mendengar bahwa Gencatan Senjata—yang diadvokasikan dengan gencar—adalah kesalahan para politisi yang mengkhianati pasukan militer di lapangan.

“Maksudnya, kamu dikhianati?” tanya seorang petugas Inggris, mencoba mencerna omongan Ludendorff yang tidak masuk akal. Ludendorff setuju dengan antusias, dan mengadopsi frasa itu. Kemudian hal tersebut menjadi senjata gerakan-gerakan sayap kanan.

Setelah penandatanganan Pakta Versailles, pihak-pihak konservatif oposisi—termasuk Nazi—mengumpulkan kekuatan dengan sentimen soal menghukum para “kriminal November” yang telah mengkhianati Jerman. Seringnya, ini bukan hanya persoalan liberal dan demokrat yang disalahkan, tapi juga Yahudi.

Kini kembali ke politik Jerman, apartemen Ludendorff menjadi ruang rapat bagi sayap kanan mentok. Dia berpartisipasi di Kapp Putsch, terbang ke Munich setelah kudeta gagal, dan bergabung dengan Nazi. Ketika Hitler mengadakan Beer Hall Putsch pada 1923, dia berencana memberikan Ludendorff kekuasaat atas militer. Meski sepertinya Ludendorff tidak tahu soal rencana ini awalnya, dia menjadi amat antusias saat diberi tahu. Ketika kepolisian memulai tembakan pada barisan Nazi—dan semua orang menjadi terpecah—Ludendorff terus berjalan menuju barisan polisi dan menyerahkan diri untuk ditahan.

Dia menghadiri persidangan mengenakan seragam lengkap, semacam menantang pengadilan untuk memenjarakan salah satu pahlawan perang paling terkenal di Jerman. Namun seperti biasa, rencana Ludendorff menjadi senjata makan tuan: dia dinyatakan tidak bersalah, namun karena pengadilan menganggapnya “memiliki gangguan emosional” dan tidak bisa diminta mempertanggungjawabkan tindakannya selama putsch. Ludendorff keluar ruang sidang sambil menyerukan bahwa pembebasannya adalah “pelecehan terhadap seragam dan medali yang saya kenakan.”

Sang jenderal saat itu sudah diduga mulai kurang waras. Dia menjalani karir politik yang singkat, meraih jabatan di Reichstag bagi salah satu partai sayap kanan yang dibentuk setelah pemerintah meralarang Nazi. Dia mencoba, meski gagal, memantik gerakan ethni-nasionalis di bawah satu bendera dan pada pencalonan Hitler sebagai presiden pada 1925. Dia kalah, telak, memenangkan hanya sedikit lebih dari 1 persen suara. Selanjutnya menjadi jelas bahwa Hitler telah mengantisipasi kekalahan tersebut, berharap mempermalukan dan menghilangkan penantang. Di tambah lagi, rival Ludendorff, Hindenburg memenangkan kursi kepresidenan.

Ludendorff menjadi semakin sulit ditebak. Bertahun-tahun sebelumnya, dia menjalin hubungan asmara dengan psikologis Dr. Mathilde Kemmitz, pendukung Nazi yang delusional percaya teori-teori konspirasi bahwa Perang Dunia I digerakkan oleh gabungan dari Yahudi, Jesuit Kristiani, dan Freemason. Kawan-kawannya mulai menjauh, bahkan pada satu titik para Nazi menyatakan Ludendorff terlalu ekstrem. Dia akhirnya menceraikan istrinya yang telah menderita sejak lama, dan menikahi Kemnitz.

Pasangan ini mulai menyebarkan pamfley-pamflet yang kekeuh bahwa Hitler telah menyerahkan pemerintahan Jerman kepada para Katolik boneka Yahudi, dan bagaimana para Freemason “merusak kesadaran soal ras, kebanggaan nasional, dan tekad maskulin laki-laki dan mereka menjadi ‘Yahudi bohongan’,—sebuah alat Yahudi yang tak punya kehendak pribadi.” Soal agama terorganisir, merka mencoba kepercayaan neo-pagan darah-dan-tanah yang mereka harapkan dapat menjadi agama nasional yang merekatkan Jerman pada akar etniknya.

Bagian teraneh dalam hidup Ludendorff itu selaras bila dibandingkan hubungannya bersama Doctor Poison di Wonder Woman. Pada kedua contoh kita melihat Ludendorff bekerja sama dengan seorang perempuan secara diam-diam, menguak misteri kehidupan dan kematian dengan sedikit tegangan seksual di adegan-adegannya. Di film maupun kehidupan nyata, mereka tidak terlihat waras.

Setelah para Nazi mengumpulkan kekuatan dan kekuasaan, rezim ini beberapa kali mengakui Ludendorff dan menggunakannya dalam acara-acara publik. Pada saat pengambilan foto di acara ulang tahunnya ke 70 pada 1935, Hitler memberi kejutan pada Ludendorff yang telah pikun, dengan promosi karir ke Field Marshall. Ludendorff mengamuk, kekeuh bahwa jabatan Field Marshall hanya bisa didapatkan melalui keberhasilan di medan perang. Dia hanya ingin menerima titel buatannya sendiri, yaitu: “Field Lord of the First World War.”

Dia meninggal du atahun kemudian di rumah sakit Katolik, ditemani para biarawati dari agama yang dia serang selama lebih dari satu dekade. Itu adalah akhir mengenaskan bagi laki-laki yang telah memimpin Jerman. Hitler, pada saat itu seorang diktator, mengadakan pemakaman negara yang mewah bagi orang yang membantunya meraih kekuasaan. Pas mati, dia menjadi prop.

Ini merupakan kematian yang tidak terhormat, namun pantas didapatkan Ludendorff. Di Wonder Woman, Diana menusuknya pada kekuasaan tertinggi. Dia masih jenderal yang dihargai, meski korup—bukan kakek-kakek tua sinting yang membantu Nazi. Ini adalah kontras aneh pada Wonder Woman: menjadikan Ludendorff penjahat yang kekejiannya menyerupai kartun, namun menjegalnya sebelum dia bisa melakukan tindakan terkejinya. Film ini mecela dengan sebelah tangan dan membebaskannya dengan tangan lain.

Meski kita jadi bertanya-tanya soal apakah PD II menjadi berbeda di Semesta DC, kita tak bisa terlalu menyalahkannya. Film ini, mau bagaimanapun juga, tidak seburuk “film anak-anak soal perang pertama.” Lebih mirip dengan generasi saya yang mendapatkan pengetahuan soal PD II dari film-film Indiana Jones, Wonder Woman akan memperkenalkan generasi baru pada Great War. Saya berharap bahwa lebih banyak orangtua harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar gas beracun, perang parit, dan Ottoman Empire di lobi bioskop. Dan sejujurnya, beberapa film bersejarah—dari Braveheart, The Patriot, hingga Gladiator—telah mendramatisir kematian para penjahat di kehidupan nyata. Karena Wonder Woman erat dengan dewa-dewa Yunani, rasanya tak adil jika kita berharap lebih.

Lagipula, sulit membuat film di mana aktris Yahudi menusukkan pedang ke tokoh Nazi berpengaruh. Peristiwa seperti itu tak pernah terjadi di dunia nyata. Tapi dunia mungkin berubah jadi lebih baik jika ada perwira Nazi kenamaan ditusuk pedang.