Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard Brazil.
Akhir Mei 2017, Spotify melakukan perubahan pada file musik mereka yang hampir tidak terdeteksi pelanggan. Setidaknya, bagi telinga sound engineer and maniak audio, terasa sekali level volume lagu-lagu Spotify telah diturunkan.
Videos by VICE
Gerombolan audiophile menggunakan software bernama Dynameter, memeriksa playlist populer seperti Global Top 50 dan album dari berbagai genre; mulai dari soul hingga metal sebagai perbandingan. Hasilnya? Ternyata katalog musik Spotify terbukti lebih kecil volumenya.
Istilah “loudness” atawa suara kencang, dipakai untuk menggambarkan persepsi manusia akan bunyi yang kaya. Ketika anda mendengarkan sesuatu, sesungguhnya yang penting adalah persepsi terhadap sound tersebut, bukan nilai yang terdeteksi di meteran desibel.
Barulah di 2011, European Broadcasting Union, salah satu organisasi penyiaran utama di dunia, menetapkan unit pengukuran loudness dengan standar EBU-R128, disebut LUFS (Loudness Units relative to Full Scale). Ini merupakan tolak ukuran yang lebih baik dibanding desibel untuk bisa memahami persepsi manusia akan volume bunyi.
Tidak seperti RMS, tolak ukur lainnya yang digunakan untuk menentukan volume rata-rata produksi audiovisual, LUFS mengabaikan frekuensi rendah dan justru memfokuskan diri di frekuensi di atas 2 kHz—area paling sensitif bagi kuping manusia. Sebuah teriakan, misalnya, akan menimbulkan sensasi volume lebih tinggi dibanding bunyi double bass, biarpun RMS mengindikasikan angka yang lebih tinggi untuk instrumen. Ini karena suara manusia berada di frekuensi tengah.
LUFS diciptakan untuk memperkirakan pendengaran kita tetap berfungsi. Para sound engineer menyadari bahwa Spotify telah mengurangi indeks LUFS dari semua lagu di platform mereka dari -11 LUFS menjadi -14 LUFS, angka yang serupa dengan banyak platform musik seperti YouTube (-13 LUFS), Tidal (-14 LUFS) dan Apple Music (-16 LUFS). Dalam prakteknya, volume yang akan didengar oleh telinga manusia akan lebih terkontrol, dan anda bahkan tidak akan menyadarinya.
Kami mengontak Spotify untuk berkomentar tentang pengurangan LUFS ini. Berikut jawaban mereka: “Spotify selalu mencoba fitur-fitur baru yang akan menguntungkan pengguna. Beberapa perubahan baru yang terjadi merupakan aspek yang sedang kami evaluasi.”
Jadi kenapa juga sih penurunan volume ini penting?
Kualitas Sound Jadi Lebih Baik
Awalnya, penetapan standar EBU-R128 tidak dimaksudkan untuk platform streaming dan dunia musik. Tujuannya adalah untuk menormalisasi pola sound dari konten televisi. Pernah denger kan gimana beberapa iklan lebih kenceng dari yang lain? Kalian sadar ga kalau volume program TV sama iklan suka beda banget? Gol dari EBU-R128 adalah untuk meniadakan perubahan itu dan menstandarisasi volume saluran TV.
Salah satu teknik utama untuk meningkatkan persepsi volume dalam sebuah lagu adalah dengan menggunakan compression. Ini bisa dilakukan dengan perangkat keras atau program tertentu dalam proses mastering. Sesuai dengan namanya, teknik ini mengkompres gelombang bunyi. Teknik compression meletakan semacam atap ke puncak gelombang bunyi selagi mempromosikan gain di bagian di bawah atap. Bayangkan mengambil sebuah elektrokardiogram dan mengencangkan baut-bautnya sehingga bagian tinggi dan rendah lebih seimbang.
“Apabila anda mengkompres sebuah orkestra, dan pemain biola memainkan biola solo, anda, permainan biolanya akan terdengar keras,” kata Pedro Luce, seorang produser musik asal Brasil. “Ketika musisi lain ikut bermain, anda akan mendengar semuanya dengan intensitas yang sama.” Compression membuat momen paling tenang dan paling kosong di sebuah lagu lebih intens.
Ngerti kan masalahnya dimana? Sebuah lagu memiliki momen tenang dan momen bising. Dalam dunia nyata, suara gitar saja tidak akan terdengar sama intensnya dibanding ketika drum ikut mengiringi. Ketika compression dilakukan secara berlebihan, semuanya terdengar lebih keras dan mengurangi dinamika dari musiknya itu sendiri. Rasanya seperti mendengarkan satu temanmu yang doyan teriak-teriak ketika mabuk. Selain nyebelin, setelah beberapa saat, ini akan terasa monoton.
“Dalam dunia produksi Brasil, banyak jenis musik yang menyalahgunakan compression,” jelas produser Nando Costa. “Dalam musik country, yang memiliki banyak musisi mainstream, banyak hasil produksi dan mixing yang sangat didistorsi. Anda bisa mendengar suara vokal yang mendem sekalipun. Drumnya terdengar seperti dimainkan dengan tusuk gigi. Ini adalah hasil dari audio yang dikompresi dengan ekstrem. Ketika berusaha mendorong volume sound, kualitas audio akhirnya dikorbankan.”
Biarpun sadar akan hal ini, banyak produser, musisi dan perusahaan rekaman tetap memilih sound keras penuh compression. Selain pertimbangan lainnya, ada pemikiran bahwa sebuah lagu terdengar lebih mencolok ketika terdengar lebih bising. Sayangnya, bagi kuping-kuping awam, volume bising ini kerap disalahartikan sebagai kualitas tinggi. Akhirnya perang untuk melihat musisi mana yang bisa menghasilkan lagu paling bising memulai “Loudness War.”
Usaha untuk mendapatkan volume tertinggi ini dibarengi dengan kebangkitan era musik digital, saat CD masih menjadi format utama distribusi musik. Sebelum itu, di era kejayaan vinyl, ada limitasi fisik yang membuat compression tidak bisa diterapkan berlebihan. Sebuah piringan hitam dengan volume yang terlalu keras bisa membuat jarum pemutar piringan hitam meloncat keluar, dan akan merusak pengalaman mendengarkan musik. Limitasi ini hilang ketika CD datang. Seakan-akan jalan tanpa batas kecepatan baru dibangun, dan compression semakin populer digunakan.
Di era vinyl, sangat umum mendengarkan satu album penuh rilisan seorang musisi. Perbandingan segera antara karya satu musisi dan musisi lainnya belum muncul, jadi tidak ada kebutuhan untuk membuat sebuah lagu menonjol dengan cara meningkatkan volume. Sayangnya, praktik ini mulai menghilang seiring dengan kemunculan CD, yang membuat pendengar semakin mudah mengganti CD dalam player, dan bahkan lebih jauh lagi ketika MP3 player muncul dan menampilkan pilihan untuk memutar lagu secara acak. Sekarang, di era playlist musik, sulit untuk menemukan orang yang mendengarkan dua lagu dari musisi yang sama secara berurutan. Maka dari itu, musik diproduksi untuk terdengar lebih keras dengan cara compression. Silakan cek chart bikinan situs Sample Magic ini.
Lebih parah lagi, kurangnya momentum bukan satu-satunya efek samping dari compression berlebihan. Ketika anda memaksa menciptakan limitasi dari gelombang bunyi, anda menciptakan distorsi di gelombang bunyi tersebut, yang nantinya menciptakan distorsi di musiknya, “Semakin kuat compression digunakan, semakin besar peluang muncul distorsi di musik,” ungkap Costa.
Salah satu album yang menjadi contoh seberapa jauh band akan memaksa compression untuk meningkatkan volume adalah Death Magnetic karya Metallica. Ketika dirilis di 2008, banyak penggemar mengeluhkan sound album tersebut: Tidak ada dinamika audio dan banyak momen distorsi. Beberapa bulan kemudian, Metallica merilis game Guitar Hero: Metallica, menampilkan versi remaster ulang yang lebih tenang, karena dalam game tersebut, lagu itu hanya perlu bersaing dengan lagu-lagu Metallica dari album lain.
Penelitian bersama oleh University Hospital of Copenhagen, Technical University of Denmark, dan University of Aalborg menerbitkan hasil kajian mereka setelah membandingkan dua versi album tersebut. Di bawah ini, anda bisa melihat perbandingan 30 detik dari dua versi “My Apocalpyse.” Perhatikan bagaimana mereka mencapai “brick wall compression,” sebuah lagu tanpa dinamika apapun.
Dengan mengurangi indeks LUFS, Spotify seakan mengatakan pada industri musik “tidak ada gunanya berusaha kedengaran lebih keras dibanding musisi lain.” Semua lagu yang akan masuk ke platform akan terdengar sama keras satu sama lain. Biarpun sebuah lagi di mastered sangat keras, volumenya akan otomatis dikurangi begitu masuk Spotify. Tentu saja ini akan menjadi standar bagi jasa streaming sama seperti bagaimana saluran TV berusaha meratakan volume mereka dengan iklan, tapi selain memberikan keuntungan bagi Spotify itu sendiri, ini berarti industri musik dipaksa untuk bekerja dengan cara lain. Kini lagu harus bisa menarik perhatian pendengar dengan cara selain volume yang keras. Pintu menuju lagu yang dinamis kini lebih lebar terbuka.
“Kalau anda memiliki audio yang sangat terkompress, volumenya akan bertambah kecil karena kurangnya dinamika,” kata Costa. “Ketika anda menurunkan loudness dari lagu tersebut, rasanya seakan volumenya ngedrop banget.”
Dengan kata lain, lagu-lagu dengan loudness diatas -14 LUFS terdengar lebih tenang di Spotify dibandingkan lagu-lagu yang dikompres dibawah angka tersebut. Nando Costa menunjukkan perbadingan ini lewat video dibawah: lagu seorang musisi nasional dimaster di -13 LUFS dan sebuah lagu Metallica dari album Death Magnetic (mulai dari 40:30). Saat video ini dirilis, standar Spotify masih -11 LUFS dan musiknya belum dimaster khusus untuk platform ini, tapi hasilnya tetap saja si musisi nasional mengungguli para metalhead kawakan itu.
Di situs ini, anda bisa melihat di grafik apa yang terjadi ketika sebuah lagu yang sangat kencang, volumenya mendadak diturunkan ketika masuk Spotify.
“Kadang musiknya buruk bukan karena komposisinya, tapi karena bentuk penyajiannya,” ungkap Costa. Maka dari itu, Spotify mungkin bisa membantu mengakhiri Loudness War, yang nantinya akan menghasilkan musik berkualitas lebih baik secara umum, dengan lebih banyak dinamika dan audio yang lebih bersih.
Tentu saja, buka cuma itu manfaat dari kebijakan baru volume Spotify.
Melindungi Telinga Kalian
Apa anda pernah merasakan sensasi lega ketika stop mendengarkan musik dan mendengar keheningan? Ini biasanya menimpa mereka yang kerajingan mendengarkan musik, dan diasosiasikan dengan fenomena yang disebut “kelelahan pendengar” (atau kelelahan telinga).
“Efek dari kelelahan pendengar lumayan jelas, biarpun orang kadang tidak menghubungkan efek ini dengan istilah kelelahan,” jelas Dr. Tanit Ganz Sanchez, seorang profesor di School of Medicine di University of Sao Paulo (FMUSP) dan pendiri Ganz Sanches Institute, fasilitas yang berspesialisasi menangani masalah pendengaran.
Gejalanya mencakup kelelahan tubuh, mudah iritasi dan insomnia.
Sanchez menjelaskan bahwa manusia memiliki otot kecil yang berfungsi melindungi indera pendengaran, disebut stapedius. Fungsi dari organ ini adalah untuk menhalangi masuknya sound yang kelewat agresif ke dalam telinga. Stapedius memperkencang gendang telinga dan berfungsi sebagai filter sehingga bunyi yang masuk melunak sebelum mencapai telinga bagian dalam, bagian dari sistem pendengaran yang mengantar bunyi ke inti telinga, dimana kita bisa mendengar bunyi. Masalahnya, eksposur terhadap volume kencang dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan otot ini letih.
“Saya membandingkan otot stapedius dengan otot lengan,” jelasnya. “Misalnya anda menghabiskan setengah jam melatih otot di gym. Di satu titik, otot anda akan berkata ‘Udah, jangan lagi.’ Nah, otot telinga juga memiliki kontraksi seperti ini, tapi kita tidak bisa mengendalikannya. Ini terjadi dengan sendirinya setiap kali anda mendengar bunyi kencang. Kalau anda sering mendengarkan musik kencang, otot ini akan semakin letih.”
Satu-satunya perbedaan antara stapedius dan bicep adalah kita tidak benar-benar merasakan rasa sakit di dalam telinga sama seperti keletihan yang disebabkan angkat besi terlalu semangat di gym.
Dengan cara menaruh batasan LUFS, Spotify dianggap berkontribusi menjaga kesehatan telinga pendengar. Ingat bahwa Apple sudah pernah dituntut oleh pelanggan yang kehilangan pendengarannya akibat keseringan mendengar lagu terlalu keras di iPod.
“Dari sisi medis, pengurangan loudness itu sangat bermanfaat,” kata Sanchez.