Akhir 2016, Bank Indonesia mengeluarkan seri uang baru. Salah satu desainnya adalah pahlawan perempuan Indonesia asal Aceh, Tjut Meutia, dalam pecahan Rp1000. Sekilas, tidak ada yang aneh yakni gambar seorang perempuan bersanggul tak berjilbab. Namun tidak lama setelah kemunculan desain baru uang tersebut, berbagai protes melayang. Sebagian orang berpendapat, Tjut Meutia, pahlawan perempuan asal satu-satunya provinsi berlandaskan hukum syariah di Indonesia, semestinya memakai jilbab.
Pihak keluarga keturunan Tjut Meutia merespons balik. Mereka menyatakan gambar yang dicetak di seri uang baru nominal Rp1000 sudah benar. Teuku Ramli, cicit Tjut Meutia, mengatakan buyutnya adalah orang yang taat beribadah, tapi tidak pernah memakai hijab seperti perempuan muslim masa kini. Yang dikenakan Tjut Meutia hanyalah sehelai selendang tipis menutupi sebagian kepala. “Dalam peperangan dulu mana ada pakai jilbab. Orang Aceh pakai jilbab itu kan baru sekarang-sekarang ini,” kata Teuku Ramli saat diwawancarai Tirto.id.
Videos by VICE
Posisi hijab selama ini kerap problematik di negara kita. Hijab sering diasosiasikan dengan standar moral dan religiusitas seorang perempuan. Di lain pihak, hijab kerap dipakai menjadi alat opresi dari suatu struktur yang berkuasa. Rezim Orde Baru pernah melarang perempuan mengenakan jilbab di ijazah dan dokumen resmi. Lalu, setelah reformasi, yang terjadi kebalikannya. Sekolah-sekolah negeri dan banyak institusi secara tidak langsung memaksa perempuan muslim berhijab.
Situasi makin rumit, setelah sekian tahun belakangan wacana pemakaian hijab cenderung berujung pada pengucilan dan sikap merendahkan dari mayoritas kepada para perempuan muslim yang tak berencana mengenakan kerudung. Belum lagi perdebatan baru, apakah pantas hijab ditafsirkan sebagai fashion statement yang marak seiring melonjaknya bisnis busana sopan (modest fashion), di Tanah Air satu dekade tahun belakangan.
“Ini sangat disayangkan, karena seharusnya kita sebagai perempuan itu bersatu untuk melawan dominasi narasi patriarkal yang bersumber dari [tafsir] ajaran agama. Kita [perempuan] seperti diadu domba,” kata Lailatul Fitriyah kepada VICE Indonesia. “Saya pikir untuk saat ini energi kita dihabiskan melawan perempuan lainnya.”
Lailatul Fitriyah merupakan kandidat doktor bidang Teologi dari University of Notre Dame, Amerika Serikat. Laily yang tumbuh besar di lingkungan pesantren di Jawa Timur. Berhijab baginya adalah hal yang tak bisa dinego. Semua perempuan di keluarganya sudah sudah mengenakan hijab di usia 6-7 tahun.
Sebagai perempuan Jawa, Islam, terdidik di keluarga pesantren, dan tinggal di Jawa, membuat Laily tidak pernah merasakan jadi minoritas. Amerika Serikat memberinya pengalaman baru. Menjadi ‘santri’ dan mempelajari Islam di Universitas berbasis Katolik, University of Notre Dame mengingatkan Laily akan nilai-nilai minoritas yang selama ini tidak Ia miliki. Baginya, hijab adalah pengingat bahwa dirinya adalah individu yang berbeda.
Simak perbincangan VICE dengan Lailatul Fitriyah dalam rangka kolaborasi dengan Feminist Fest 2017 berikut ini:
VICE Indonesia: Bagaimana caramu memaknai hijab?
Lailatul Fitriyah: Saya sejak kecil memakai hijab dan tumbuh di lingkungan pesantren, jadi hijab itu kewajiban karena sudah tidak bisa dinegosiasi. Semua perempuan di keluarga saya dari umur 6-7 tahun sudah pakai hijab. Sebenarnya proses mempertanyakan diri sendiri dimulai sangat dini. Waktu itu dimulai saat SMP, waktu di pesantren. Saya tidak menemukan jawabannya waktu itu. Karena saya ada di pesantren, dalam lingkungan yang memang mengharuskan berhijab. Saya tetap berhijab, walaupun hati saya selalu berkomitmen “nanti kalau sudah lulus pesantren saya tidak berhijab.”
Alasan sempat tidak ingin berhijab karena saya dulu belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut. “kenapa saya diwajibkan berhijab? Kenapa Al Quran tidak boleh ditafsirkan lain?”
Kemudian sampai pada waktu kuliah di S1, sudah keluar dari pesantren, saya ngekos sendiri. Di situlah saya berpikir, “oke, sudah selesai kewajiban saya berhijab, saya lepas sekarang karena saya tidak lagi mau melakukan sesuatu yang saya tidak tahu alasannya”. Akhirnya saya tidak berhijab, bahkan sempat beberapa waktu mengklaim diri sebagai ‘ateis’ pada masa-masa S1. Setelah beberapa waktu tidak berhijab, saya merasa tidak nyaman. Karena saya terbiasa salat lima waktu, rasanya sama kayak enggak salat. Karena saya ingin rasa nyaman, akhirnya saya kembali berhijab lagi.
Kapan titik balik kamu memutuskan berhijab lagi?
Sampai pada ketika S2 di Amerika, saya bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan Muslim dan mengikuti kelas-kelas yang membuka pikiran saya terhadap tafsir Al Quran, di situlah saya mulai lagi proses mempertanyakan nilai hijab ini bagi saya. Sampai detik ini bagi saya hijab fungsional. Kalau saya merasa nyaman berhijab, ya saya berhijab. Kalau saya sedang menuju padang pasir, hiking di gunung, saya tidak berhijab. Di Amerika ada proses lain juga yang mempengaruhi. Waktu itu saya baru merasa untuk pertama kalinya bagaimana rasanya jadi minoritas, karena selama ini saya di Indonesia jadi mayoritas, berhijab, Islam, Jawa, dari keluarga pesantren, hidup di Jawa, tidak ada rasa minoritas di situ. Berada di Amerika, jauh dari masjid, mencari orang yang Islam di kampus saya Notre Dame itu sangat susah. Kemudian banyak juga pengalaman Islamophobic attack, banyak pengalaman diskriminasi rasial. Saya akhirnya ikut dalam aktivisme sosial, misalnya di Black Lives Matter, LGBTQ di Amerika, dan ikut dalam aktivisme membela kelompok minoritas.
Di situ saya pikir, ada nilai baru yang saya tekankan pada hijab saya, yakni, saya berhijab untuk mengingatkan diri sendiri akan nilai minoritas saya. Bahwa saya ini individu yang berbeda, saya individu yang tidak bisa disamakan dengan yang lainnya, dan saya ingin orang untuk menghormati perbedaan itu. Maka, kalau saya individu yang berbeda, saya juga harus merangkul perbedaan lainnya. Untuk selalu membuat tempat bagi perbedaan apapun itu baik agama, gender, etnistas dsb. Hijab saya ini hijab sosial, bukan lagi hijab relijius. Ini yang membuat saya lebih berkemanusiaan.
Dalam Al Quran, ditemukan ayat-ayat yang mengatur bagaimana perempuan berpakaian. Bagaimana sebetulnya menurutmu penafsirannya?
Memahami setiap ayat Al Quran itu kan perlu banyak lapisan metodologi. Kitab suci diturunkan di konteks sosial tertentu untuk menjawab masalah-masalah yang ada di konteks politik dan budaya tertentu. Dalam konteks ayat-ayat hijab misalnya, ayat-ayat hijab itu turun dalam konteks sosial politik yang sangat berbeda, dan mereka punya sebab sendiri-sendiri. Ada beberapa ayat-ayat yang disebutkan sebagai dasar berhijab, misalnya An Nur 31, atau Al Ahzab 59. Nah mereka itu punya ceritanya sendiri-sendiri, mengapa ayat tersebut diturunkan. Untuk membuat ayat-ayat relevan di masa sekarang, kita juga harus mempertimbangkan pengalaman perempuan dan konteks kehidupan perempuan dan tantangan apa yang dihadapi perempuan muslim yang hidup di masa sekarang. Kalau Al Ahzab 59 bilang bahwa harus menggunakan jalabib, artinya sebuah jubah besar.
Jalabib itu bukan kerudung, melainkan jubah besar yang dipakai di luar baju yang sudah kita pakai. Kalau kita tarik itu ke kehidupan saat ini, [perempuan] pekerjaannya bermacam-macam, tantangannya bermacam-macam di luar rumah, ya tidak masuk akal kalau kemudian ketika tuntutan itu ditujukan pada perempuan muslim saat ini. Jadi cara kita memahaminya, bukan jalabib yang penting dari ayat itu, tetapi pesan apa yang ada di balik jalabib. Pesannya adalah pesan kesehajaan seksual. Bukan berarti perempuan muslim itu harus tertutup dan memakai burqa, tapi perempuan muslim itu idealnya bersahaja dalam aspek seksualitas. Nilai yang ada di belakang ayat itu bukan lagi detail teknis, tapi nilai yang ada di belakangnya.
Di Indonesia, beberapa komunitas muslim menganggap aurat itu menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Apa pendapatmu?
Ada kesalahpahaman umum di komunitas Muslim saat ini antara definisi syariah dan definisi Fiqih. Jadi orang-orang menganggap bahwa semua hal yang berbau hukum Islam dan semua yang bisa dilabeli hukum Islam, itu adalah syariah, dan karena itu syariah, maka itu suci dan tidak bisa berubah. Padahal, syariah itu bukanlah Fiqih, dan Fiqih itu bukan syariah. Jadi Fiqih itu adalah peraturan hukum yang dikeluarkan oleh para ulama yang berdasarkan pada ayat Al Quran, kemudian sunah nabi, diskusi di antara ulama yang disebut sebagai Ijma, atau malah bisa juga berasal dari adat-adat lokal bisa sebenarnya menjadi sumber Fiqih.
Aurat itu bukan konsep yang berasal dari ayat-ayat Al Quran, jadi aurat itu yang konsepnya berasal dari Fiqih yang hubungannya dengan mahram misalnya. Anggota keluarga laki-laki yang berhak untuk menjadi wali nikah, di mana kita tidak punya kewajiban menurup aurat di depan mereka. Aurat itu berkaitan dengan hal itu, juga berkaitan dengan cara kita salat. Kenapa kalau orang Turki enggak pakai mukena, hanya pakai pakaian tertutup sudah [cukup]? Kenapa kalau di Indonesia pakai mukena? Nah, semua hal itu berbeda, karena hal itu adalah Fiqih. Jika aurat itu berasal dari konsep syariah, maka pemahaman kita akan aurat dan cara kita salat itu pasti akan sama dengan orang Turki atau orang Maroko. Konteks aurat itu sangat kontekstual sesuai dengan mazhab Fiqih mana yang kita ikuti, maka dari itu ini sangat kontekstual dan sangat fleksibel. Selama tidak melanggar batas-batas Al Quran yang pesannya adalah kesahajaan seksual, maka tidak apa-apa. Selama tidak pakai baju yang biasanya dipakai ke night club untuk salat.
Sebenarnya salah besar kalau ada peraturan mengenai keislaman secara umum maupun jilbab secara spesifik di Indonesia di mana konteks lokalnya bukan konteks Islam, namun kemudian konteks lokal itu dilupakan begitu saja. Karena aspek konteks lokal itu harus dimasukkan ke dalam proses yurisprudensi Islam. Makanya, istri-istri kyai zaman dulu, beliau-beliau itu tidak sibuk mengurusi hijab yang lebarnya seperti apa, pakai abaya dan sebagainya. Sebenarnya proses pertimbangan konteks lokal itu terjadi di masa lalu di Indonesia. Kyai bijaksana seperti pendiri NU, pendiri Muhammadiyah tahu benar bagaimana membuat pasal-pasal jurisprudensi Islam yang mempertimbangkan konteks lokal. Hal itu yang tidak terjadi sekarang.
Baca juga liputan VICE Indonesia lainnya tentang pergulatan perempuan dan hijab:
Definisi hijab terus berevolusi. Di Indonesia, seperti apa perubahannya?
Dalam konteks Indonesia, adanya Islamisasi yang sangat gencar ini terutama setelah masa Soeharto tumbang. Saya sangat bersyukur Soeharto tumbang, tapi salah satu efeknya adalah kekuatan Islamis tumbuh sangat besar di indonesia. Karena masyarakat Indonesia sendiri punya perspektif yang sangat rendah terhadap diri mereka sendiri. Mereka menganggap misalnya Islam Kejawen, atau Islam kelompok budaya lainnya yang tercampur adat lokal, mereka anggap itu ‘tidak begitu Islam’ tidak genuine, kemudian ada keinginan besar untuk mencari identitas yang otentik. Kemudian hal ini ditangkap oleh kekuatan politik Wahabinegara Teluk dan Saudi Arabia. Aliran dana dari mereka sudah banyak sekali semenjak 1998 ke Indonesia.
Makanya sekolah-sekolah baru yang menamakan diri mereka pesantren, tapi kurikulum mereka itu sangat berbeda dari pesantren tradisional dari Jawa Timur misalnya. Karena mereka (pesantren baru) itu menjadi pesantren yang mengikutsertakan nilai-nilai Wahabi. Ini juga terkait dengan aspek otentisitas yang kita bicarakan, bahwa mengejar otentisitas itu sangat berbahaya, karena tidak ada batasan mana yang lebih otentik, siapa yang bisa ngomong bahwa ini lebih otentik, legitimasi apa yang bisa diberikan? Itu tidak ada yang bisa menjawab. Itulah makanya kita banyak yang melupakan kekayaan Islam lokal kita, kebijaksanaan kyai-kyai yang bahkan dulu menjadi guru di Saudi Arabia sampai-sampai dulu di sana [Arab Saudi] ada Lingkar Studi Jawi. Namun sekarang kita malah berlomba-lomba -yang menurut saya secara menjijikan untuk menjadi “Arab”, karena Arab diasosiasikan dengan Islam.
Ada anggapan hijab merupakan bentuk opresi, dan di sisi lain ada yang berpendapat hijab itu membebaskan. Posisi hijab sebetulnya ada di mana?
Kalau menurut saya sih dua-duanya. Karena tidak ada makna khusus di dalam hijab. Kita manusia yang memberi dan mengkonstruksi makna, segala sesuatu yang kita punya. Jadi mungkin kalau perempuan Afganistan yang hidup di bawah rezim Taliban, maka tentu saja hijab merupakan alat opresi. Bagi perempuan yang juga ada di Iran misalnya dimana hijab diwajibkan oleh rezim Syiah di sana, itu juga bisa jadi merupakan alat opresi. Bagi perempuan yang hidup di negara seperti Prancis atau Amerika, hijab adalah statement politis, statement perjuangan bahwa perbedaan itu mempunyai tempat di ranah sosial politik yang tidak Islami. Menurut saya, konotasi relijius hijab itu sudah semakin tidak ad. Ada evolusi makna terhadap hijab yang saya pakai, karena saya sudah berhijab dari kecil. Kalau saya ditanya makna hijab, bagi saya apa, jawabannya lebih kepada sosial daripada alasan religius. Jadi saya pikir, liberasi atau opresi: ya keduanya. Tergantung si perempuannya.
Kenapa ada kesan sekarang di Indonesia makin marak upaya menyudutkan perempuan muslim yang tidak berhijab?
Ketika standar konvensional yang ada kita ikuti, yang terlihat lebih muslim itu adalah yang ‘muslim sejati’ [tertutup]. Menghindari judgement itu sangatlah sulit. Jadi, saya mendukung orang mau pakai niqab, burqa, kalau kemauan mereka sendiri, ya itu terserah mereka. Namun, saya tidak percaya sedikitpun kalau orang yang memakai jilbab lebar, niqab, atau burqa itu tidak merasa superior terhadap orang-orang yang tidak memakai jilbab, ataupun terhadap orang yang memakai jilbab yang mereka pikir masih belum sempurna jilbabnya. Makanya kemudian ada fenomena kata-kata seperti “jilboobs” muncul untuk merendahkan perempuan-perempuan lainnya. Ini sangat disayangkan, karena seharusnya kita sebagai perempuan itu bersatu untuk melawan dominasi narasi patriarkal yang bersumber dari [tafsir] ajaran agama ini. Kemudian kita seperti diadu domba. Ada [istilah] “perempuan yang lebih baik, perempuan surga” sedangkan “dia bukan bidadari surga”. Saya pikir untuk saat ini energi kita dihabiskan melawan perempuan lainnya.
Tapi di Indonesia, perbincangannya semakin bergeser jadi perdebatan mengenai komersialisasi bisnis hijab. Sebab ada yang berusaha menganggap hijab sepenuhnya perkara fesyen
Saya sangat mendukung ketika ibu-ibu yang tidak bekerja di luar rumah mereka bisa lebih berdaya. Anggaran rumah tangga meningkat karena jualan hijab dan sebagainya. Dari sisi ekonomis, dan dari sisi pemberdayaan perempuan secara ekonomi, hal ini bagus. Namun kemudian ketika jualan tersebut dibungkus dengan “oh kalau jilbabnya tidak 2 meter, dengan bahan tertentu, maka kemudian itu tidak jilbab”, dibumbui dengan ustad seleb di TV. Kemudian ini menjadi sesuatu yang patologis, dimana masyarakat muslim yang berada dalam pusaran komersialisasi ini, mereka hidup dalam mimpi, dalam drama, yang menuntut mereka untuk menjadi “keluarga Muslim sempurna”, keluarga Muslim sempurna seperti apa? Oh seperti yang seleb-seleb lakukan di TV, “Mereka yang punya jilbab panjang tapi tetap anggun dan elegan, tasnya jutaan rupiah, kemudian suami berjanggut, punya bisnis, kalau bikin pesta di ballroom hotel”. Ada sisi dramatisnya, ada sisi teatrikalnya. Kemudian religi dibuat seakan-akan sebuah teater yang kita perform di atas panggung. Ada pusaran itu yang menjadikan bisnis hijab dan fashion itu patologis.
Mengingat semua faktor tersebut, mungkinkah seorang perempuan muslim memutuskan berhijab tanpa tekanan?
Saya pikir agak sulit untuk memisahkan individu dari konteks sosial budayanya. Saya tidak yakin ada orang yang berhijab, dia yakin 100 persen benar-benar karena “saya”, dan tidak terpengaruh oleh misalnya “30 sepupu lainnya yang sudah memakai hijab.” Susah untuk membedakan hal itu. Hal yang bisa dilakukan adalah, kita bisa kembali lagi ‘memiliki’ hijab. Bagaimana caranya? Dengan memaknai kembali “kenapa kita pakai hijab?” “apa makna hijab bagi kita?”
Kalau pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membawa kita pada keputusan bahwa kita tidak berhijab, “that’s okay.” Apa yang tidak ada dari rata-rata Muslim di Indonesia, yang tidak saya tahu itu, adalah proses mempertanyakan diri, proses evaluasi diri.
Artikel ini merupakan kolaborasi VICE bersama Feminist Fest. Acara ini digelar pada 26-27 Agustus 2017, berlokasi di SMA 1 PSKD, Salemba, Jakarta Pusat. Festival ini akan menggali lagi nilai penting feminisme di Indonesia untuk Abad 21. Sesi-sesi FemFest termasuk panel pleno, diskusi kelompok kecil, lokakarya, dan kelas mengenai berbagai tema: mulai dari kekerasan terhadap perempuan, identitas gender, hingga ekofeminisme. Simak jadwal lengkap acaranya melalui tautan berikut.