Perubahan cuaca tidak mengganggu kesibukan sekelompok anak muda yang sedang berkumpul di kios tukang jahit kawasan Jakarta Selatan. Panas terik tiba-tiba beralih menjadi hujan deras ketika boks terakhir dari 1.000 pesanan jaket dan kaos, yang akan dikirim ke berbagai negara, akhirnya dimuat ke mobil. Itulah keseharian para punggawa Dominate, clothing label Indonesia yang setahun terakhir menanjak reputasinya di kancah streetwear dalam maupun luar negeri.
Dominate mengejutkan banyak pemain fashion lokal, setelah berulang kali koleksi mereka dipublikasikan di Hypebeast, situs barometer streetwear global. Belakangan Dominate kembali menyita perhatian, berkat kolaborasinya dengan Taiwan’s Less, clothing label dari Taichung, Taiwan, yang juga punya reputasi kesohor. Belum lagi kerja sama eksklusif penjualan produk mereka di retail store Urban Outfitter Uni Eropa untuk pengiriman Februari 2017.
Videos by VICE
Karakter streetwear Dominate sejak awal dipengaruhi corak militer dan menonjolkan sisi maskulin. Produk-produk menonjol dari koleksi Dominate adalah coveralls, trooper jackets, serta parka. Salah satu koleksi yang paling disorot adalah MA-1 Noragi, yang menyajikan modifikasi unik atas desain jaket pilot tempur.
Ardila Ramadhan (Dila), Nayarana Paramasatya (Naya), dan Renaldi Morteza (Keshong)—otak di balik Dominate—berada di mobil penuh paket siap kirim, menuju kawasan Mahakam di Kebayoran Baru. Setelah semua pekerjaan packing tuntas sore itu, kami hendak menepi sejenak dari hujan deras.
Dua pendiri Dominate awalnya tidak langsung terjun dalam bisnis fashion. Keshong, misalnya, adalah mantan vokalis band metalcore di Kota Semarang Bring Her Head To Athena. Sementara Naya lebih lama aktif di kancah skate. Naya dan Keshong, yang sama-sama sempat bermukim di Semarang, mengenal satu sama lain sejak SMP. Mereka berdua mulai bersahabat justru karena nyaris baku hantam saat di Semarang. “Foto aibnya [Keshong] gua sebar semua di myspace,” kata Naya sambil tergelak.
Keshong yang terhitung pertama kali menjajal bisnis fashion. Dia mendirikan clothing label, yang diberi nama Solid Gold saat kuliah. “Udah kayak nama asuransi,” ledek Naya, disusul tawa semua orang.
Pada 2012, Keshong dan Naya memutuskan merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan, sama seperti jutaan anak muda lain di Indonesia. Di Jakarta Keshong bertemu Dila, teman kuliah Naya, atas prakarsa almarhum Rizkyandra Dwi Nurrachman aka Andra. Fashion ternyata menyatukan mereka. Dila saat bertemu Keshong dan Naya sedang mengelola clothing label-nya sendiri. Selain itu, Dila juga menyambi sebagai karyawan Orbis; pelopor toko streetwear di Jakarta Selatan. Naya, walaupun paling awam soal fashion, setidaknya mengenal mengenal brand clothing yang berhubungan dengan kancah metal. Adapun Keshong sejak lama ingin memiliki clothing line sendiri, meneruskan ide yang sudah dirintis dari Solid Gold. Ketiganya bertemu, menemukan kecocokan, kemudian merancang sebuah konsep clothing line bersama. Perusahaan ini resmi berdiri pada 2013, menjadi Dominate yang kita kenal sekarang.
Formasi kerja mereka lama-lama semakin tertata. Naya menangani bagian logistik dan manajemen, Keshong berkonsentrasi pada desain, sementara Dila menjalani tugas marketing dan networking. Sayang, Andra yang berjasa memperkenalkan mereka bertiga meninggal akibat serangan jantung, justru ketika Dominate mulai berkibar.
Ditemani beberapa gelas bir, serta semangkuk ramen, mereka santai menjawab semua pertanyaan. Mulai dari sejarah berdirinya Dominate, perasaan setelah berhasil menembus Hypebeast, serta strategi mereka sedikit mengabaikan pasar dalam negeri, untuk menembus persaingan keras di dunia streetwear internasional. Yang jelas, tiga anak muda ini sudah menyiapkan strategi mendominasi dunia.
VICE: Gimana Keshong dan Naya awalnya bisa berkolaborasi sama Dila di awal pendirian Dominate?
Keshong: Gua pengen punya brand yang jelas, bukan ngikutin trend tapi beneran develop. Kita juga sebenernya temenan di lingkungan musik, engga ada yang ngerti begini-beginian. Jadi kita sadar kalau kita butuh orang retail. Di Orbis lah kita ketemu Dila. Dikenalin sama Andra.
Naya: Keshong baru di Jakarta, gua anak musik. Gua engga nyambung-nyambung banget soal brand, gua cuma ngerti yang berhubungan sama band. Begitu ketemu [Keshong dan Dila] gua makin engga ngerti, hahahaha.
Dila: Dulu pas kuliah ada senior gua bentukannya metal banget, jalan sendiri gitu. Semester berikutnya kok ada yang ilang deh nih di kampus, ternyata itu Naya. Eh taunya selama ini sudah nongkrong sama gua dan Andra.
Naya: Andra tuh sangat-sangat berjasa banget mempertemukan kita bertiga.
Kenapa fokus koleksi Dominate jadi ke jaket?
Naya: Titik awalnya tuh pas Dominate iseng bikin jaket pertama kali nah di situ kita makin kuat, kita merasa kita bagus di sini nih… Ketika masih berdua [Keshong-Naya] kita belum apa-apa kok! Berdua tuh masih bikin sticker doang, sok coming soon. Nah target-target awal kita juga niatnya ngerangkul skateboarder, tapi kita terbawa arus ke DJ dan skena hardcore.
Dila: Awalnya bagi kita kaos tuh cuma penyalur dari tema aja, sebagai pelengkap. Penjualan juga kuatnya di jaket. Nah itu titik keberuntungan kita. Di mana brand biasanya ngandalin kaos untuk muterin penjualan, marjinnya padahal engga ada apa-apanya dan dipengaruhi tren. Yang kayak gitu susah banget diikutin, bisa mengacaukan DNA kita.
Trus gimana cara kalian nembus pasar streetwear Indonesia?
Dila: Suatu hari tiba-tiba, Andhika Adji Dharma [co-owner Orbis] nelpon ke toko Orbis nanya “Dominate punya siapa?” Anak yang jaga hari itu bilang, “Punya Dila bos, yang jaga Orbis juga, anak baru.”
“Oh ya udah gua pengen Dominate masuk ada di Orbis,” kata Dhika. Nah itu titik balik kita tuh. Itu 2013 akhir, [Dhika] lihat dari postingan Footurama waktu masih forum message board. [Dhika] itu ngerti banget soal streetwear dan dia posisinya di [London] tapi dia bisa tahu Dominate. Itu yang memacu kita agar achivement nambah lagi. Akhirnya kita berani bikin quantity lebih banyak untuk masuk Orbis, terus ada info dari Keshong untuk masuk toko di Semarang, temennya dia. Itu adalah toko-toko yang support kita pas kita masih “Siapa sih kita ini!” Intinya siapa sih yang tahu Dominate saat itu? Engga ada yang tahu. Tapi kita engga akan lupa sama jasa orang-orang yang percaya sama Dominate dari awal brand ini ada potensi. Makanya model pun kita pakai teman-teman, the real people, supaya pesan Dominate sampai.
Ada hambatan pas merintis Dominate?
Naya: Dulu kita mencari vendor sendiri benar-benar dari nol. Awalnya kita dapat vendor di daerah Joglo [Jakarta Barat- red], di situ sudah aman semua sesuai deadline dan harga. Tapi pas jadi ancur banget rib-nya kita minta dulu 3 cm jadinya 5 cm udah kayak turtleneck tapi lebar. Kita marah minta dibenerin, tapi kok justru malah downsize semua? Akhirnya kita minta di-destroy karena sudah marah banget.
Proses kerjasama dengan Taiwan’s Less dan Urban Outfitters bisa diceritain ga?
Keshong: Jadi pihak Taiwan Less notice Dominate sejak kita masuk Hypebeast, sedangkan Urban Outfitter EU lihat lookbook di Instagram dan contact kita.
Omong-omong soal masuk Hypebeast tanpa bayar, kabarnya kalian dapat omongan miring dari pelaku clothing lain?
Naya: Kita tuh blasting lookbook koleksi awal tapi ditolak karena masih dianggap biasa desainnya. Sekarang orang-orang ngeliat ‘wah Dominate bisa kayak gitu, gampang’. Mereka engga tahu aja susahnya gimana. Kita bukan cuma duduk di ruangan AC kirim ke vendor tiba – tiba barang jadi, jualan. Cara buat brand bukan kayak gitu, at least bukan yang dijalanin Dominate. Gua engga mau dibilang beruntung atau hoki. Kalau desainnya engga becus atau marketingnya ga jelas, engga bakal bisa sampai di titik ini.
Setahun terakhir strategi bisnis kalian terkesan lebih menyasar pasar streetwear luar. Engga takut dicap kurang nasionalis?
Keshong: Fuck lah, kalau elo udah masang standar di luar, di [Indonesia] pasti ngikutin. Gua engga berusaha bisnis kita survive di sini, karena kemungkinannya kecil untuk survive di pasar lokal karena elo akan ke- drag down dengan pasar sini.
Kalian terkesan membuat koleksi semakin eksklusif, dari aspek harga sampai stok. Ada tujuan tertentu?
Naya: Kita engga akan pernah restock barang. Kita mau customer merasa esklusif dengan kuantiti yang terbatas. [Keshong] punya keinginan menyulitkan orang, “hard to get” ngedapetin barang kita. Ketika udah abis banyak yang minta, terus ada yang minta dibuatin khusus. Ya berani bayar berapa minta bikinin satu buat elo?
Dila: Sudah ada yang jualan [produk] second Dominate kata Naya. Itu bikin gua kaget. Gua pengen sustain segini aja deh, jangan sampe kita gede jadi massal banget. Titik di mana orang punya second, sampe orang kepingin untuk punya dan melakukan segala cara, pasti dia bikin jiplakannya. Makanya kita pengen main di sini aja, masih pengen eksklusif. Selain itu, Dominate tidak akan pernah punya harga diskon. Kita mau ubah kebiasaan customer untuk tidak hanya membeli produk kita waktu diskon.
Jadi kalian punya strategi beda ya buat garap pasar lokal dan mancanegara?
Dila: Produk eksklusif untuk Taiwan’s Less dan Urban Outfitters EU engga akan ada di [Indonesia]. Untuk pasar sini ya kita kasih delivery baru nanti. Release delivery untuk lokal pertama di 2017 nanti akan ada di bulan April. Tapi dalam waktu dekat ini kita akan ngeluarin kolaborasi event dengan Pop Up Prasetiya Mulya Business School.
Gimana sih cara kalian ngejaga identitas desain Dominate?
Dila: Kita lebih memilih membuat sesuatu yang timeless. Itu alasan kita memilih bahan katun yang 20s, berawal dengan alasan kita tuh engga mau kaos kita dipake buat tidur, dua kali pake cuci, trus engga elo pake lagi keluar. Cuma dijadiin kaos tidur atau cuma pelengkap di lemari, habis itu kena kutu, ujungnya di panti asuhan.
Keshong: Konsep desain agar stabil, semua start di gua. Supaya desain gue engga melenceng, Naya dan Dila menarik kembali. Mereka kadang komentar, “Ini apaan sih, ini engga dominate!”
Dila: Tugas gua ngejaga supaya Dominate ya Dominate! Bukan Dominate-nya Renaldi Morteza. Ada satu titik gua engga percaya sama Keshong karena gua mikir basically desainer manapun pasti dia ada yang ter-influence [desainer lain], kebawa ke dalam karyanya. Gua engga mau itu terjadi untuk produknya Dominate.
Target jangka panjang kalian dengan Dominate apa?
Dila: Impiannya dominate harus bisa ngidupin kita bertiga lah ke depan. Engga harus kerja kantoran. Banyak ngerubah pola hidup gua banget sih Dominate ini. Gua jadi rajin berdoa, rajin puasa sunah, rajin sedekah.
Keshong: Parah parah! [tertawa]
Dila: Parah banget!