Sudah Abad 21, Masih Banyak Ajak Iklan Seksis Mengatur Tinggi Sampai Berat Badan

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly

“Dicari lulusan SMA atau sederajat, perempuan, usia antara 18-30 tahun, tinggi minimal 163 cm, langsing dan berpenampilan menarik.” Keterangan tersebut tertera dalam iklan lowongan kerja untuk posisi wakil tenaga pemasar baju di Beijing. Iklan lowongan kerja lainnya di Provinsi Shaanxi mencari “pramugari kereta cepat yang cantik dan modis.” Beberapa tahun terakhir, situs ecommerce terdepan Alibaba kerap sesumbar kalau hanya “perempuan-perempuan cantik” dan “dewi-dewi” bekerja di perusahaannya. Klaim macam itu tercantum dalam iklan lowongan kerja mereka.

Videos by VICE

Semua iklan yang disebutkan di atas adalah iklan lowongan kerja yang dikeluarkan olah perusahaan besar yang terpampang di situs lowongan kerja resmi, website perusahaan dan platform sosial media. Padahal secara legal perekrutan pegawai berdasarkan gender atau fisiknya, sebenarnya terlarang di negara berpenduduk paling banyak di muka Bumi itu.

Menurut laporan Human Rights Watch terbaru ‘Only Men Need Apply’: Gender Discrimination in Job Advertisements in China, diskriminasi berbasis gender di lingkungan pekerja masih sangat mewabah dalam masyarakat Cina. Pera periset menganalisa 36.000 iklan lowongan pekerjaan dari kurun waktu 2013-2017 dan menemukan ada banyak sekali lowongan pekerjaan yang mewajibkan pelamar perempuan memenuhi persyaratan tertentu yang dianggap penting untuk posisi tertentu—atau terang-terang mencantumkan bahwa lowongan tersedia hanya diboleh dilamar oleh lelaki. Tren macam ini juga masih berlangsung di Indonesia. Bahasa-bahasa halus macam “camera face” atau “berpenampilan menarik”, serta batasan usia, masih banyak digunakan perusahaan di tanah air menyortir pelamar perempuan.

Pada 2017, raksasa internet Cina Baidu memasang iklan lowongan pekerjaan untuk posisi, reviewer konten. Dalam lowongan tersebut, Baidu merinci bahwa pelamar yang lebih disukai adalah mereka yang “memiliki kemampun kuat untuk bekerja di bawah tekanan, mampu bekerja di akhir pekan, liburan dan tak keberatan melakoni shift malam.” Lalu, ada satu syarat tambahan: pelamar harus berjenis kelamin pria.

Iklan lowongan kerja badan pemerintahan juga tak kalah diskriminatifnya. Masih pada 2017, 13 persen lowongan kerja yang daftar lowongan kerja pegawai negeri Cina terang-terangan hanya mencari pelamar pria. Angka itu meningkat menjadi 19 persen setahun kemudian. Dan pelanggaran macam ini juga dilakukan oleh perusahaan besar di Cina. Alibaba—yang menguasai 80 persen perdagangan online di Cina—bulan Januari lalu mengumumkan mencari dua tenaga kerja pria untuk mengisi posisi tenaga pembantu operasi rantai restoran mereka.

“Kendati diskriminasi di Cina dianggap ilegal di Cina, peraturan yang mengatur hal tersebut sangat sumir dan tak diberlakukan dengan ketat,” ujar juru bicara Human Rights Watch Heather Barr kepada Broadly. Undang-undang tenaga kerja Cina melarang diskriminasi gender dalam proses perekrutan tenaga kerja. Sayangnya, aturan ini cuma galak di atas kertas. Jika pun ada perusahaan besar yang dijatuhi hukuman karena menyalahi aturan ini, denda yang mereka bayar kelewat ringan. Alhasil, aturan ini cuma berlaku sebatas formalitas belaka.

Pada 2012, seorang lulusan univertas Guo Jing menuntut sekolah kuliner Zheijiang lantaran mengiklankan lowongan kerja khusus untuk laki-laki. Kandati pengadilan Cina memenangkan gugatannya, Jing hanya menerima ganti rugi sebesar 2.000 yuan (atau sekitar Rp4,1 juta saja). “Kalau kamu pemilik perusahaan sebesar Alibaba, aturan yang mewajibkanmu membayar $300 agar kamu jera dan mengubah perilakumu itu sangat konyol,” kata Barr.

Sepintas, kondisi dalam bursa tenaga kerja di Cina memang muram bagi mereka yang berusaha mententang diskriminasi lowongan kerja macam ini. “Kenyataannya memang ada pemberangusan kesempatan perempuan untuk masuk bursa tenaga kerja di Cina. Selain itu, para aktivis perempuan di Cina memang benar-benar ditumpas,” ujar Barr. “Ini memberi para pemberi pekerjaan ruang untuk melakukan diskriminasi semau mereka.”

Imbasnya, diskriminasi endemik dibiarkan terjadi. Masalahnya bertambah runyam. Kesenjangan upah antar gender di Cina adalah salah satu yang paling parah di dunia. Pada tahun 2017 lalu, Cina berada 100 dari 144 orang dalam survey yang digelar oleh World Economic Forum, padahal sepuluh tahun lalu, Cina pernah bertengger di posisi 57 dalam survey yang sama.

“Pada akhirnya, fungsi aturan-aturan itu cuma menegaskan bahwa beberapa pekerjaan hanya diperuntukan bagi pria,” simpul Barr. “dan bahwa pekerjaan perempuan di lingkungan pekerjaan adalah sebagai pemanis belaka.”