Kita hidup di dunia dengan kemungkinan tak terbatas. Ribuan gagasan berusaha diwujudkan oleh umat manusia agar tak sekadar jadi angan-angan belaka, melainkan hal konkret yang diakui dan diapresiasi. Tetapi, atas alasan yang sulit dicari rasionalisasinya, petinggi-petinggi Hollywood justru memutuskan membuat film Batman untuk kesebelas kalinya.
Setelah Batman (1943), Batman and Robin (1949), Batman (1966), Batman (1989), Batman Returns (1992), Batman Forever (1995), Batman and Robin (1997), Batman Begins (2005), The Dark Knight (2008), and The Dark Knight Rises (2012) Hollywood merasa belum cukup menghibur penonton lewat sosok manusia kelelawar pembasmi kejahatan di Kota Gotham.
Videos by VICE
Hitungan di atas belum termasuk Batman yang disempilkan Zack Snyder ke Justice League atau melawan Superman. Sutradara Matt Reeves diminta bos-bos Hollywood untuk memberi kita satu lagi film Batman. Judulnya The Batman, dan dikabarkan akan tayang pada 2021, dan sesuai rumor yang tak kunjung mereda, bakal dibintangi Robert Pattinson.
Keputusan ini absurd. Lebih tepatnya memalukan. Rencana adaptasi film ini titik terendah kebangkrutan kreatif Hollywood. Mereka sudah tidak mampu menelurkan gagasan orisinal sama sekali.
Sebelum ngamuk lebih jauh, harus ditekankan dulu, aku suka film-film Batman. Film-film Batman selama ini bagus banget. Trilogi The Dark Knight merupakan pencapaian mengesankan. Sutradara Christopher Nolan berhasil melampaui batas-batas film superhero dan mengubah genre tersebut menjadi pengalaman sinematik luar biasa. Bisa dibilang, itu pencapaian yang sempurna, kalau yang dimaksud adalah The Dark Knight.
Masalahnya, yang sempurna itu tercapai setelah sepuluh kali percobaan. Takkan ada lagi film Batman yang mampu melebihi filmnya Nolan.
Mengapa kita selalu ingin menghasilkan produk daur ulang, alih-alih membuat film baru? Seniman-seniman hebat di dunia ini tidak melihat lukisan Picasso, menganggapnya sempurna, lalu menirunya tanpa henti. Mereka melihat karyanya sebagai inspirasi, sehingga muncullah Dalí, de Kooning, Pollock, atau Lichtenstein. Para seniman itu lantas membuka pintu untuk Warhol dan Basquiat. Elvis memberi kita The Beatles, yang menginspirasi David Bowie, yang memberi kita Nirvana, dan seterusnya. Sebaliknya, mengapa Batman memberi kita Batman versi lain, yang memberi kita Batman lagi, dan lagi, dan lagi. Kini, tiga puluh tahun setelah rilisnya adaptasi film Batman pertama, kita bakal dikasih film Batman lagi?
Bisakah bos-bos industri perfilman itu menaikkan standar mutunya? Apakah Hollywood telah kehilangan keinginannya berinovasi, untuk menciptakan hal-hal baru? A Star Is Born adalah film bagus, tapi kisahnyaadalah adaptasi ketiga dari film yang sama! Avengers: Endgame, sebagai film terakhir dalam seri yang terdiri dari 20 film yang semuanya seragam, buat aku tidak layak ditonton, karena film kayak gitu sudah pernah dibikin sebelumnya. Bahkan, setelah menghasilkan keuntungan besar dan mengakhiri parade film yang sambung-menyambung,muncul film Marvel berikutnya, masih mengusung adaptasi superhero demi superhero lainnya.
Penonton layak mendapatkan yang lebih baik. Ketika jutaan dolar uang penonton disalurkan ke mesin korporat Hollywood, kita wajib menuntut produk yang lebih baik. Penonton dari negara manapun ikut berinvestasi dalam produksi film-film ini. Selain dalam bentuk beli tiket, juga waktu dan emosi; kita mengizinkan bos-bos studio film mewarnai budaya pop dan mendominasi percakapan kita sehari-hari.
Kita menghidupi ide-ide Hollywood, bahkan membiayai mereka dengan miliaran dolar hanya untuk mengambil keputusan super malas: membuat film Batman baru.
Jadi sudah cukup dong. Jangan ada lagi film Batman. Hentikan semua ide daur ulang atau remake serta prekuel. Berikan penonton hal baru, Hollywood. Beri kamu perasaan yang dirasakan penonton di bioskop pada 1949, saat mereka melihat Batman untuk pertama kalinya.
Follow Drew Schwartz di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.