The Shape of Punk adalah kolom khusus Noisey menelaah ulang album-album punk penting yang tahun ini tepat berusia 20 tahun. Kami berusaha mengungkap dampak dan pengaruhnya pada kancah punk saat ini dan di masa depan.
Sepanjang kurun 20 tahun terakhir, Refused adalah salah satu band yang sukses memecah kancah punk jadi dua kubu besar. Satu kubu merayakan capaian Dennis Lxyzen dkk. Separuh lainnya tak henti-hentinya mengolok-olok kolektif asal Swedia tersebut. Begini pangkal masalahnya: pada 1998 Refused melepas album paling ikonik bertajuk The Shape Of Punk To Come (A Chimerical Bombination in 12 Bursts). Ditinjau dari sisi manapun, album ini ibaratnya manifesto kesenian lantang yang berani dan penuh percaya diri dari Refused. Judul itu adalah hasil utak-atik album klasik keluaran 1959 milik pionir free jazz Ornette Coleman, The Shape of Jazz to Come yang sengak dan menggambarkan ambisi besar Dennis Lyxzén dkk.
Videos by VICE
Harus diakui pemilihan judul songong begitu bukannya tanpa alasan. Refused membuktikannya lewat musik yang sama beraninya. Sejak awal didirikan, Refused merupakan band hardcore garis lurus. Hanya saja, dalam The Shape Of Punk To Come, Refused mengimbuhi musiknya pakai anasir-anasir non-hardcore/punk semisal sisipan drum-and-bass, riff-riff yang lebih teknikal, hook-hook beracun, hingga elemen-elemen lain yang mempertanyakan bagaimana definisi punk/hardcore semestinya terdengar di sound system kalian.
Sejak dirilis dua dekade silam, berbagai macam penikmat musik—mulai dari pengamat partikelir kelas blogspot, zinemaker, hingga pandit musik kawakan yang bikin dapur rumahnya ngebul dengan menghasilkan esai kritik musik—sudah mengupas habis-habisan album ini. Mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Ada yang menyanjungnya sebagai album punk klasik tanpa cela. Tentu ada pula yang menudingnya sebagai album punk yang dilebih-lebihkan, keberatan judul atau malah amat buruk kualitasnya. Barangkali, segala sesuatu yang harus dikatakan tentang album ini sudah pernah ditulis. Lantas pertanyaannya, ngapain juga saya harus menulis artikel 1.800-an kata lebih tentang album ini lagi?
Oh tentu saja, saya punya alasannya sendiri. Setidaknya, saya berutang budi pada album ketiga Refused itu. Judulnya saja saya bajak jadi nama kolom rutin di Noisey. Jadi, sepertinya keterlaluan bila saya tak sampai mengupasnya. Lagipula, setelah setahun menulis tentang album-album punk penting yang rilis di tahun yang sama dengan The Shape Of Punk To Come dilahirkan dan imbasnya pada skena punk global, saya baru menyadari satu hal: semua album tersebut melewati siklus yang sama.
Tahapan siklus itu kasarnya seperti ini: sebuah band menelurkan album yang merombak pemaknaan punk dan penggemar musik lekas menyorotinya. Lalu, tak lama berselang, band-band lain mulai mencontek apa yang mereka lakukan. Ketika influence-influence itu—yang pada dasarnya adalah terobosan dalam perkembangan musik punk—sampai ke tangan yang salah, pionirnya langsung memanen cibiran, ironisnya, dari orang-orang yang awalnya menyanjung band-band yang ideologi maupun musiknya progresif ini.
Hal kayak gini bukan yang siklus baru muncul 20 tahun lalu saat The Shape Of Punk to Come dirilis. Lingkaran setan tersebut sudah ada saat punk sebagai sebuah genre baru terbentuk. Banyak penggemar musik punk awalnya begitu jatuh cinta pada Refused, Kid Dynamite atau Alkaline Trio. Celakanya, cinta itu beralih rupa jadi rasa jijik begitu muncul versi KW dari tiga band di atas. Imbasnya, band-band tadi turun pamornya, dianggap bukan bagian dari sebuah skena atau bahkan—ini yang paling nyebelin—disingkirkan dari kancah yang ikut mereka dirikan.
Saat The Shape Of Punk To Come dirilis 1998, tak ada satupun orang yang menduga lima lelaki dari Swedia bakal meletakkan pondasi pembaruan punk untuk beberapa dekade berikutnya. Apalagi kalau ingat betapa materi awal Refused sekadar manifestasi pemujaan terhadap hardcore chugga-chugga ala New York. Hardcore yang diakbrabi Dennis Lyxzén di tahun-tahun awal berdirinya refused adalah varian hardcore yang groovy sehingga gampang menarik massa memenuhi moshpit. Bayangkan Turnstile yang kebanyakan menambahkan elemen beatdown, kira-kira seperti itu Refused terdengar di permulaan karirnya.
Songs To Fan The Flames Of Discontent yang dilepas pada 1996 adalah album koheren pertama Refused. Bersamaan dengan keluarnya album ini, kelima anggota Refused sepakat mengganti celana kargo baggy mereka dengan kemeja berkancing. Karena pilihan busana baru ini muncul di ujung dekade 90an, makanya Dennis Lyxzén dkk. memilih kemeja yang kebesaran. Song To Fan The Flames Of Discontent disambut khalayak pecinta musik punk sebagai sebuah lompatan artistik yang perlu dirayakan.
Lalu, dua tahun kemudian, momentum positif dari album kedua dimanfaatkan Refused untuk memastikan mereka tak berakhir sebagai catatan kaki saja dalam sejarah hardcore, artinya cuma dikenali oleh mereka yang benar-benar mendalami subgenre tersebut. Dalam konteks ini, The Shape Of Punk To Come adalah sebuah pencapaian paripurna. Nama Refused jadi buah bibir anak-anak punk begitu album ini mulai tersebut dipasarkan untuk khalayak ramai.
Dua puluh tahun setelah kemudian, track macam “Worms of the Senses / Faculties of the Skull,” “The Refused Party Program,” dan bahkan hit terbesar Refused “New Noise” tetap sangar dan nendang seperti saat album ini masih hangat-hangatnya keluar dari rahim Epitaph Records.
Biasanya band-band yang bermain-main dengan tema dan sound-sound futuristik justru sering melahirkan album-album yang terdengar cepat menua. Untung nasib yang sama tak pernah menyentuh Refused, setidaknya pada album The Shape Of Punk To Come. Bahkan setelah “New Noise” dicover oleh Anthrax, The Used, dan band sebusuk Crazy Town sekalipun, ledakan sound dari lagu tersebut—saat vokalis Dennis Lyxzén menjerit’kan “Can I scream?”—masih terasa vital, nendang, dan relevan hingga kini.
Itulah bagian indah dari album The Shape of Punk to Come. Setelah didengarkan beratus kali sekalipun—segala kejutan dan segala trik Refused barangkali sudah kita hafal mati—tak pernah berkurang intensitasnya. Lagu pembuka “Worms of the Senses / Faculties of the Skull” dibuka dengan cuplikan pidato tentang bagaimana segala yang dianggap klasik pada akhirnya akan lapuk, ketinggalan zaman, kehilangan relevansinya. Nasib buruk macam ini bakal menimpa apapun. Sekarang, kita bisa enteng menuding Refused sendiri sebagai contoh sahih ucapan di awal lagu itu.
Benar sih, tapi justru di situ kita salah memahami apa yang dilakukan Refused. Saya pikir, semua ini—termasuk cercaan betapa Refused sudah tak relevan atau malah sell-out—sudah diperhitungkan saat mereka mengerjakan The Shape Of Punk To Come. Masing-masing anggota Refused menyadari jika The Shape Of Punk To Come sukses menjalankan misinya seperti yang mereka inginkan, selamanya mereka akan jadi bulan-bulanan kritikus musik—termasuk penggemar punk garis keras yang pernah menuhankan album ini.
Sekali lagi, semuanya sudah dihitung dalam rencana panjang Refused. Akan tetapi, agar khalayak punk sadar dan menaruh perhatian, Refused harus bersedia mengorbankan diri sebagai band yang dituding tak lagi relevan.
Pada 1998, The Shape Of Punk To Come adalah album yang sangat menarik. Malang, seperti album-album ikonik yang lahir sepanjang tahun itu, album ini tak otomatis jadi fenomena yang mencengangkan. Refused masih harus swadaya menggelar tur, main di klub-klub semenjana berbagai negara guna mempromosikan album baru mereka.
Di tengah tur tersebut, dalam gig di Virginia, kolektif punk Swedia ini pecah kongsi di atas “panggung”—lokasi konsernya cuma lantai rumah orang yang disulap jadi venue gig dadakan sih—begitu polisi merangsek masuk di momen yang sempurna: saat mereka memainkan “Rather Be Dead.” Segera setelah gig terakhir mereka kelar dibubarkan polisi, beragam cerita tentang band ini menyebar kemana-mana. Kelak, cerita-cerita inilah yang memantapkan predikat Refused sebagai raksasa punk yang susah ditandingi pengaruhnya. Hanya dalam hitungan dua tahun, Refused bermutasi dari band hardcore yang berusaha memantapkan pijakannya di kancah, menjadi band punya tempat terhormat dalam sejarah hardcore.
Sejarah rock memang punya kecenderungan meromantisir band yang bubar di justru saat mereka nyaris menggapai puncak kreativitasnya. Refused termasuk salah satunya. Bahkan dalam kasus Refused, bubarnya band ini adalah tiket menuju keabadian. Lebih dari itu, fakta band ini bubar jalan saat mempromosikan The Shape Of Punk To Come semakin menegaskan pengaruh album ini dalam kancah punk.
Di tahun-tahun setelah Refused membubarkan diri, The Shape of Punk To Come jadi rujukan berbagai musisi, terlepas mereka memainkan punk atau tidak. Million Dead—band hardcore Frank Turner yang namanya dicuplik dari lirik Refused—berusaha mengulang ramuan punk futuristik dalam album itu. Di AS, Poison The Well mencoba peruntungan mereka dengan merangkul dua produser The Shape Of Punk To Come, Eskil Lövström dan Pelle Henricsson, untuk menggarap You Came Before You. Lalu, Paramore sempat menyelipkan lirik Refused dalam lagu “Born For This.”
Bahkan, Mike Shinoda mengakui Linkin Park tak pernah terbentuk jika Refused tak pernah ada. Intinya, pengaruh band hardcore kecil asal Swedia menyentuh semua cabang musik rock. Tentu saja, ada juga band macam supergroup punk United Nations yang menelurkan lagu “The Shape of Punk That Never Came”—sebuah tribut sekaligus sindiran terhadap apa yang dilakukan Dennis Lyxzén dkk dua dekade lalu.
Segala macam sanjungan, kekaguman, dan cercaan hanyalah bukti yang menegaskan fakta The Shape Of Punk To Come pernah meninggalkan kesan mendalam. Meski belakangan muncul semacam tren mengerdilkan pentingnya album ini dalam sejarah punk, wajah punk kekinian sepertinya akan sangat berbeda tanpa kehadiran album ketiga Refused. Dalam kurun satu dekade terakhir, album ini menjadi rujukan segala macam band punk.
Album ini juga dijadikan representasi pergeseran ideologi dalam punk. Di sisi lain, The Shape of Punk To Come adalah jalan pintas untuk menggambarkan punk dan hardcore yang “forward-thinking”, yang melihat genre sebagai lahan bermain tanpa batas alih-alih kerangkeng dengan batasan-batasan yang kaku. Jadi, walau nyaris mustahil menemukan band yang benar-benar bisa mereplikasi sound The Shape of Punk To Come, faktanya album ini dijadikan acuan satu generasi punk baru menabalkan nilai pentingnya dalam khazanah punk.
Dalam banyak hal, Refused adalah batas ketika satu era punk berhenti dan era setelahnya bermula. Kendati sampai sekarang bagus tidaknya The Shape of Punk To Come bisa terus dijadikan ajang debat kusir, makna pentingnya dalam perjalanan punk tak bisa dianggap sebelah mata. Masalahnya, jika kamu berpikir nyinyir melulu, dan ingin terus memperdebatkan segala hal tentang album ini, percayalah bila Dennis Lyxzén sudah lebih dulu memprediksi munculnya pemkiran macam itu. Dalam lirik “New Noise,” Lyxzén mengungkapkan bahwa segala yang dilakukannya bandnya keliru dan mereka bukan pemimpin gerakan baru dalam punk.
Ungkapan Lyxzén ini tentu bisa dibaca sebagai plan B jika kelak bandnya (terpaksa) sell-out. Atau, kita bisa saja berangan-angan bahwa Lyxzén dan kawan-kawannya sudah jauh-jauh hari menerawang cibiran yang bakal mereka terima. Yang jelas, apapun motivasi di baliknya, lirik ini makin menekankan betapa di masa sekarang punk makin gampang ditebak dan kehilangan daya kejutnya. Hype, cibiran, kebencian, debat kusir adalah paket inheren yang harus diakbrabi siapapun saat mencemplungkan diri dalam kancah punk. Dan 20 tahun lalu, Refused menghasilkan album yang memblejeti semua kejumudan ini.
Inilah alasan kenapa The Shape Of Punk To Come masih menarik dibedah sampai hari ini. Semua pertanyaan, petunjuk dan jawaban ada dalam 12 track di dalamnya. Semuanya bisa digunakan sebagai alat untuk menguji segala macam teori yang terpikir oleh otak kita tentang bagaimana album ini harus didengarkan dan dimaknai.
Punk mungkin akan tetap bermutasi kendati The Shape of Punk To Come tak pernah ditulis lima anggota Refused. Namun, itu tak serta merta mengurangi nilai fenomenal album ini. Mungkin di situ letak keindahannya: The Shape Of Punk To Come akan tetap ada, bodo amat kita bakal mencintai atau membencinya.
David Anthony bisa diajak ngobrol tentang album-album punk penting yang keluar dua dekade lalu di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey