Sulitnya Mencari Keadilan Atas Kasus Kekerasan Militer Terhadap Sipil di Indonesia

Berapakah harga sebuah nyawa? Tanyakan itu pada mendiang La Gode, maka jawabannya kira-kira Rp25 ribu. Petani berusia 31 tahun itu tewas dianiaya, diduga kuat aparat militer, setelah dituduh mencuri singkong parut seberat lima kilogram oleh tetangganya pada pertengahan Oktober lalu. Kematian La Gode adalah tanda semua hal yang bermasalah dalam peradilan militer kita yang terus melanggengkan impunitas dan pelanggaran HAM tanpa menyentuh pelakunya.

Awalnya La Gode dibawa ke kantor polisi setelah ada sengketa dengan tetangga. Namun setelah ditahan tanpa ada pemeriksaan memadai, dia diseret ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau di bawah Kodam XVI/Pattimura, Maluku Utara. Usai lima hari berlalu tanpa kabar bagi keluarga, La Gode dikembalikan aparat ke rumahnya di Desa Balohan, Pulau Taliabu dalam kondisi babak belur.

Videos by VICE

Ia mengaku kepada sang istri habis disiksa. Sekujur badannya sakit semua terutama dada. Selang delapan hari kemudian, beberapa anggota kepolisian, TNI, dan Babinsa menjemput La Gode di rumahnya pada dini hari untuk dibawa kembali ke pos. Istrinya tak menyangka malam itu adalah pertemuan terakhir dengan sang suami. Paginya, La Gode mengembuskan napas terakhir.

Gigi-gigi La Gode patah, kuku ibu jari kanannya dicabut, wajahnya bengkak, sementara sekujur tubuhnya lebam. Pihak TNI dilaporkan sempat menawari sang istri uang sebesar Rp1,4 juta selama sembilan bulan ke depan dan sembako. Bantuan ini disebut aparat militer sebagai uang damai (adanya tawaran ini dibantah oleh juru bicara militer Kodam Patimura).

“Uang dan harta sebesar apa pun tidak ada artinya untuk mengganti nyawa suami saya. Tentaralah yang bunuh suami saya,” ujar istri La Gode kepada media lokal.

Pihak TNI menyangkal telah menyiksa si petani. Juru bicara militer setempat mengatakan La Gode tewas dikeroyok massa. Kepala Pusat Penerangan TNI M. Sabrar Fadhilah mengatakan kasus kematian tak wajar La Gode sedang diselidiki oleh Komandan Detasemen Polisi Militer Ternate. Sebanyak sembilan saksi dari TNI dan warga telah diperiksa. Fadhilah berjanji akan mengusut kasus tersebut secara tuntas.

“Penyelidikan tentu harus transparan. Kami tidak menutup-nutupi,” ujar Fadhilah.

Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendampingi keluarga La Gode sejak 20 November lalu. KontraS dan keluarga melaporkan kasus tersebut ke Detasemen Polisi Militer XVI/1 dan Polda Maluku Utara di Kota Ternate. Saat ini KontraS bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maluku Utara mengajukan hasil investigasinya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Koordinator KontraS, Yati Andriyani, mengatakan dari hasil investigasi lembaganya, pihak TNI telah melakukan pelanggaran karena penangkapan dan penahanan tersebut tidak sesuai prosedur. Menurut Yati, tindakan aparat TNI tersebut juga tidak disertai surat-surat resmi dari kepolisian.

“Penahanan selama lima hari di Pos Satgas tidak disertai status hukum yang jelas,” ujar Yati dikutip Tempo.

Kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil menunjukkan peningkatan dua tahun terakhir. Khusus untuk kurun Agustus 2016 hingga Agustus 2017, data KontraS menunjukkan setidaknya terjadi 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM melibatkan tentara. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Papua.

Sepanjang sejarah Indonesia, kekerasan militer terhadap sipil paling banyak terjadi selama lima bulan pada 2001. Ada 193 kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh saja. Itu adalah momen pemerintah menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan dalih Gerakan Aceh Merdeka.

Sepanjang 2010-2011, kasus kekerasan aparat terhadap sipil turun drastis, hanya 28 kasus. Lalu meningkat pada 2012, mencapai 86 kasus, kemudian turun dua tahun sesudahnya. Maka dari itu, data 2016-2017 merupakan periode terburuk kekerasan militer terhadap sipil setelah konflik militer Aceh.

Mengapa sulit menghentikan kekerasan aparat terhadap warga sipil? Dan mengapa pula keadilan nyaris mustahil digapai oleh korban, termasuk oleh keluarga La Gode?

Aktivis HAM Haris Azhar mengatakan bahwa sistem pengadilan militer yang lemah memicu pola kekerasan aparat yang terus berulang. Haris melanjutkan pergesekan kepentingan antara militer dan masyarakat sulit untuk dihindari.

“Sistem pengadilan militer kerap memberikan hukuman ringan, jadinya tidak memberi efek jera,” ujar Haris kepada VICE Indonesia.

Pada 11 November 2010, empat anggota TNI dihukum lima dan tujuh bulan penjara oleh pengadilan Militer Kodam XVII Cendrawasih Jayapura, lantaran terbukti melakukan kekerasan terhadap warga sipil di Papua. Hukuman tersebut dianggap pegiat HAM terlampau ringan, mengingat hukuman penganiayaan dalam KUHP maksimal adalah lima tahun penjara. Sementara di Kupang, seorang anggota TNI dihukum tiga bulan penjara atas kasus pembunuhan.

Peneliti dari Human Rights Wath (HRW), Andreas Harsono, mengatakan salah satu alasan mengapa warga sulit mencari keadilan atas tindak kekerasan yang dilakukan aparat adalah sistem pengadilan militer yang tidak independen secara struktural. Menurutnya perangkat pengadilan militer saat ini masih tunduk terhadap hierarki kepemimpinan.

“Oditur tidak independen karena biasanya masih tunduk terhadap atasan si tersangka,” ujar Andreas kepada VICE Indonesia. “Idealnya, jika kita berbicara tentang asas keadilan, semua pelaku kejahatan terlepas statusnya harus diadili di pengadilan umum.”

Andreas melanjutkan pengadilan militer juga jauh dari kata transparan. Selama ini sidang yang sifatnya tertutup membuat publik sulit mengawal suatu kasus. Hanya sedikit kasus kekerasan yang diproses secara hukum.

Meski reformasi pengadilan militer telah kerap didengungkan para pejuang HAM, namun pihak militer terkesan menutup mata dari fakta bahwa anggota TNI tidak seharusnya kebal hukum. Padahal, menurut Andreas, pengadilan militer gagal menyelidiki dan menuntut secara maksimal sesuai koridor hukum atas tuduhan pelanggaran HAM oleh para prajurit.

“Militer Indonesia masih belum siap diadili oleh sipil,” ujar Andreas. “Akibatnya selama ini seolah-olah anggota TNI adalah warga negara kelas I yang memiliki impunitas.”

Hanya waktu dan sejarah yang nanti membuktikan, bisakah Indonesia tak lagi meneruskan tradisi impunitas militer. Kasus La Gode akan menjadi kertas litmus pengujinya. Yanti, istri mendiang La Gode, bersumpah tidak akan berhenti menuntut keadilan saat dihubungi wartawan.

“Saya tidak terima suami saya dibunuh seperti binatang.”