Artikel ini pertama kali tayang di VICE New Zealand.
(Foto Sungai Whanganui via flickr)
Videos by VICE
Sungai Whanganui di Selandia Baru belum lama ini memperoleh status resmi seperti layaknya manusia, termasuk hak-hak setara penduduk lainnya.
Komunitas iwi—masyarakat adat Māori di Selandia Baru—yang hidup di aliran Sungai Whanganui selama 160 tahun terakhir berjuang agar sungai tersebut memperoleh status resmi seperti layaknya penduduk. Terbitnya undang-undang baru memberi dasar hukum yang menyediakan perwakilan bagi sungai. Nantinya ada satu warga yang tinggal di sekitar sungai menjadi wakil dan memperoleh tanggung jawab memelihara sungai Whanganui. Saat diwawancarai RNZ, Adrian Rurawhe selaku anggota Parlemen Selandia Baru dari perwakilan suku Māori (Te Tai Hauāuru) mengatakan konsep pemberian status penduduk terhadap sungai mungkin terdengar aneh bagi banyak orang. Tapi bagi suku Māori, Whanganui sejak dulu selalu dianggap setara mahluk hidup.
“Sungai ini sangat penting bagi orang-orang yang tinggal di sekitarnya,” ujarnya. “Kami tidak tiba-tiba saja menganggap sungai tersebut suci. Sebaliknya orang-orang lainnya mulai mengerti sudut pandang kami selama ini.”
Rurawhe dalam keterangan yang dilansir surat kabar Te Manu Korohi mengatakan kaum Iwi lebih dari satu abad selalu mendesak pemerintah Selandia Baru mengeluarkan aturan khusus menyangkut sungai tersebut.
“Dari sudut pandang warga di sekitar Whanganui, kesejahteraan sungai tersebut secara langsung mempengaruhi kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Artinya penting bila sungai tersebut mempunyai status hukum yang sah di mata hukum modern,” ungkapnya.
“Kami memperlukan sungai ini sebagai tupuna, nenek moyang orang Iwi. Sehingga kami ingin nenek moyang kami selalu dilindungi oleh hukum.”
Gerrard Albert, salah satu politikus yang memperjuangkan pemberian status hukum baru kepada Sungai Whanganui, menyatakan dengan adanya keputusan pengadilan tersebut maka Pemerintah wajib membantu melindungi sungai itu dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta terhindar dari eksploitasi ekonomi.
“Kami selalu berjuang demi martabat (mana) sungai Whanganui,” kata Albert.”Kami memperlukan sungai ini sebagai tupuna, nenek moyang orang Iwi. Sehingga kami ingin nenek moyang kami selalu dilindungi oleh hukum.”
Rancangan Undang-Undang Te Awa Tupua (Perlindungan Sungai Whangnui) telah diloloskan oleh Parlemen Selandia Baru awal pekan ini. Sungai tersebut resmi dianggap sebagai suatu kesatuan mahluk hidup mulai dari hulu di daerah pegunungan hingga ke hilir.
Perubahan status hukum itu menyerupai keputusan yang diambil parlemen tiga tahun lalu ketika Te Urewera, Pulau kediaman suku Tūhoe memperoleh status serupa.
Menteri Perjanjian dan Negosiasi Selandia Baru Chris Finlayson mengatakan undang-undang itu mengakui hubungan spiritual yang mendalam antara kaum Iwi Whanganui dan sungai nenek moyang mereka. Pemerintah akan membantu melindungi kesejahteraan sungai tersebut. “Ada banyak contoh kasus seperti ini di negara lain—ini sesungguhnya adalah cara yang baik memastikan sumber daya alam tertentu mempunyai perwakilan yang sah guna memastikan tidak adanya penyelewengan dan degradasi lingkungan yang kerap menimpa sumber daya alam lainnya.”
Jacinta Ruru, profesor hukum dari Otago University mengatakan terbitnya UU baru itu mengubah cara pandang warga Selandia Baru terhadap Tanah Air mereka. Putusan ini juga bisa menjadi patokan bagi masyarakat adat internasional.
“Cara kita berinteraksi dengan lingkungan mulai berubah, terutama akibat pergantian iklim,” kata Ruru saat dihubungi VICE. “Ketika negara memberi hak hukum secara resmi ke sumber daya alam, secara tidak langsung artinya negara memberi perhatian lebih untuk isu lingkungan. UU baru ini semacam cara agar kita bisa memastikan kesejahteraan lingkungan—entah tanah atau sungai—sekaligus mengajarkan setiap warga negara lainnya agar lebih menghargai sumber daya alam apapun bentuknya. Saya melihat konsep status hukum resmi ini sebagai terobosan hukum yang menjanjikan.”
Ruru mengaku telah menerima banyak pertanyaan dari berbagai masyarakat adat di negara-negara lain, termasuk AS dan Kanada, untuk meniru UU perlindungan Whanganui. Berbagai masyarakat adat sedang menulis rancangan undang-undang untuk perlindungan sumber daya alam di tempat tinggal mereka, untuk diusulkan pada parlemen masing-masing negara.
Beberapa delegasi negara lain dijadwalkan mengunjungi Selandia Baru tahun ini untuk mencari tahu lebih lanjut soal penarapan UU perlindungan Whanganui.
“Dari perspektif seorang Māori, lokasi adalah asal dan bagian dari identitas seseorang, jadi apabila Pemerintah memaksakan kepemilikan mereka terhadap sebuah lokasi, ini bertentangan dengan ide fundamental dari seorang manusia,” ungkap Ruru.
“Memberikan status hukum resmi ke suatu lokasi merupakan cara untuk menetralisis isu kepemilikan. Seringkali, ketika pemerintah memberikan hak swakelola sebuah sungai atau tambang, seolah-olah aturan itu mengatakan, ‘lokasi itu milik suatu suku atau masyarakat adat.’ Faktanya, pemerintah tidak memiliki,dan kaum Maori juga tidak berhak memilikinya. Sungai Whanganui memiliki detak jantungnya sendiri dan juga hak dan kewajibannya sendiri.”
Follow Tess on Twitter.