Ada satu musuh yang pasti tak pernah disangka-sangka DC Comics sanggup menaklukkan ‘sang manusia baja’ Superman: sistem hukum pendaftaran merek dagang di Indonesia.
Sejak tahun lalu, perang memperebutkan merek ‘Superman’ terjadi di Tanah Air. Hasilnya mengejutkan. Superman lokal asal Indonesia, berwujud wafer coklat produksi perusahaan asal Surabaya, sukses mematahkan klaim kepemilikan dari DC Comics, raksasa penerbitan komik asal Amerika Serikat.
Videos by VICE
Bagi bocah lahir dan tumbuh besar di Indonesia sepanjang dekade 90-an, wafer Superman adalah produk yang dikenal banyak orang. Jajanan wafer coklat ini melayani pasar menengah-bawah, dan lazim ditemui di banyak warung kelontong. Logo Superman terbang yang dipasang di bungkus oranye-nya memudahkan calon pembeli mengingat merek ini.
Kasus sengketa dua Superman bermula ketika DC Comics menggugat Superman lokal asal Surabaya ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 3 April 2018. Intinya, DC Comics selaku pemilik merk Superman resmi keberatan dengan pemakaian nama Superman sebagai merek jajanan produksi PT Marxing Fam Makmur.
DC Comics menuntut Direktorat Jenderal Haki Kementerian hukum dan HAM, selaku pihak yang mengelola pendaftaran izin hak kekayaan intelektual, mencoret pendaftaran merek Superman versi jajanan anak-anak itu.
DC Comics mengklaim sebagai pemilik sah merek Superman dan punya hak eksklusif terhadap merek yang sama di wilayah Indonesia. Nyatanya? Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan gugatan DC Comics tidak bisa diterima. Pengacara DC Comics terus berjuang hingga Mahkamah Agung, hanya untuk mendapatkan hasil yang sama.
Dalam putusan Mahkamah Agung, disebutkan “Gugatan [DC Comics] tidak dapat dikabulkan karena permintaannya kabur dan tidak jelas.”
Mahkamah Agung beralasan, gugatan DC layak ditolak karena meminta dua hal yang berbeda bersamaan. Gugatan pertama tentang pembatalan merek wafer ‘Superman’, lalu ada satu permintaan lagi, agar sertifikat pemegang merek ‘Superman’ di Indonesia hanya dipegang oleh DC. Menurut majelis hakim, gugatan tumpang tindih macam itu pantas untuk ditolak. DC perlu mendaftarkan dulu merek dagang yang sama di jenis produk sejenis, yakni jajanan wafer, sebelum mengajukan klaim macam itu.
“Penerima kuasa telah melakukan perbuatan yang melebihi kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa,” begitu kesimpulan majelis hakim.
Di Indonesia, bukan hal aneh ketika merek-merek “bootleg” macam wafer Superman-nya Marxing Fam menang sengketa di pengadilan. Sebelumnya, masyarakat juga terkejut setelah tahu sepatu Onitsuka Tiger yang masih bagian dari merek dagang ASICS, ternyata hak atas mereknya dimiliki dua orang pengusaha asal Jakarta, Theng Tjhing Djie dan Liog Hian Fa. Mereka mendaftarkan logo serta merek Onitsuka Tiger, berselang dua puluh tahun setelah Onitsuka Tiger yang asli di Jepang diciptakan dan laris manis di pasaran. Pengadilan kasus ini sempat memanas, tapi akhirnya merek lokal yang meniru tetap dimenangkan pengadilan.
Tentu saja yang apes bukan hanya DC Comics atau ASICS. Merek multinasional sekelas Toyota, produsen furnitur kenamaan Swedia IKEA, minuman Monster Energy, produsen pakaian Polo Ralph Lauren, sampai brand fesyen Pierre Cardin, semua takluk di hadapan sistem pendaftaran merek dagang Indonesia. Hakim berulang kali memenangkan pengusaha lokal yang jelas-jelas meniru merek dagang dari mancanegara. Pengadilan hak cipta di Indonesia memang unik. Tak peduli apakah kalian raksasa multinasional ataupun pemilik kios furnitur kecil, semua setara. Siapapun yang mendaftarkan pertama kali merek dagang tersebut ke lembaga negara, dialah yang berhak mengklaim kepemilikannya.
Sistem hukum di Indonesia macam ini membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) khawatir. Kebijakan itu bisa memberi celah bagi pelanggaran hak kekayaan intelektual. Akibatnya, merek-merek KW lebih dilindungi secara hukum. Putusan pengadilan serupa ke depannya dianggap bentuk melegalkan pembajakan dan pencurian properti intelektual.
Masalahnya, bagaimana bisa pengadilan memenangkan pemilik merek yang asli, jika masih ada bolong dalam dasar hukumnya? Inilah kekhawatiran yang disuarakan Ragil Yoga Edi, Kepala Bidang Hak Kekayaan Intelektual di LIPI saat dihubungi VICE Indonesia.
“Di logika hukum Indonesia, kebaruan tidak bisa diuji,” ujarnya. “Misalnya ada sebuah merek yang didaftarkan di negara lain. Kemudian pemegang merek itu gagal, lalai, atau menganggap tidak penting untuk didaftarkan di Indonesia, maka ada kemungkinan orang mendaftarkan merek yang sama.”
Menurut Ragil, longgarnya sistem hukum properti intelektual di Indonesia mengabaikan status perusahaan-perusahaan tersebut sebagai entitas bisnis multinasional. Sialnya, sengketa macam ini bisa jadi jalan bagi perusahaan lokal yang menang sengketa memanfaatkan putusan pengadilan. Misalnya, memaksa perusahaan pemilik merek dagang yang sah membeli perusahaan mereka berkali-kali lipat dari valuasi sebenarnya.
Saat merepons kasus sengketa ASICS di Indonesia dua tahun lalu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani mengatakan putusan macam ini idealnya tidak boleh terjadi lagi. Harus ada perubahan dari pemerintah dan legislatif terkait penamaan merek, supaya persepsi bisnis terjaga positif di mata investor.
“Pemerintah atau pengadilan harus memenangkan yang memang berhak punya [merek] itu. Kan enggak mungkin [perusahaan] asing terus mengawasi pemakaian merek dagangnya di semua negara,” ujarnya.
Dua tahun berselang setelah kasus ASICS, ternyata putusan sejenis kembali terjadi. Celah hukum kita cocok banget sih buat para bootleger.