Sutradara ‘Parasite’ Bong Joon-ho Susun Daftar Nama 10 Sutradara Masa Kini Favoritnya

Sutradara 'Parasite' Bong Joon-ho Bikin Daftar Nama 10 Sutradara Masa Kini Favoritnya

Bong Joon-ho seharusnya mendapatkan semua pujian pelaku industri film 10 tahun lebih cepat. Sutradara Korea Selatan itu baru saja meraih empat penghargaan bergengsi, termasuk film terbaik, dalam ajang Academy Award ke-92, atau yang biasa dijuluki Piala Oscar. Sebelum akhirnya diakui oleh para pelaku industri di Hollywood, Bong sudah menghasilkan film-film mengesankan, misalnya Memories of Murder (2003), The Host (2006) dan Mother (2009). Setidaknya, lebih baik terlambat dibanding tidak sama sekali.

Sosok yang disebut sebagai salah satu pelopor kebangkitan film Korsel di Abad 21 ini, bersama Kim Jee-woon dan Park Chan-wook, mulai menunjukkan kemungkinan menang Oscar setelah meraih Palm d’Or di ajang Festival Film Cannes 2019 untuk Parasite. Setelah kemenangan bersejarah di Academy Award, sangat wajar bila nama Bong merajai pencarian Internet. Film-film lamanya akan banyak disaksikan orang.

Videos by VICE

Sosok sutradara yang mempengaruhi Bong pastinya ikut disorot. Saat berpidato menerima penghargaan sutradara terbaik Oscar, Bong menyebut nama Martin Scorsese dan Quentin Tarantino sebagai dua sosok sineas yang dia kagumi. Sosok lain yang mempengaruhinya adalah Kim Kiyoung, sutradara legendaris Korsel yang menghasilkan The Housemaid (1960) dan Woman Of Fire (1971), disebut Bong membuka jalan bagi sineas muda di negaranya untuk mengeksplorasi tema gelap seperti seksualitas dan nafsu.

Menariknya lagi, Bong ternyata menyusun daftar sutradara berbakat masa kini, dari berbagai negara, yang dia prediksi akan sangat berperan mewarnai industri film dunia hingga 20 tahun mendatang.

“Mulai 2020 dan seterusnya, film-film fiksi ilmiah akan makin perlu disimak,” kata Bong saat diwawancarai majalah film Inggris Sight and Sound. “Sebenarnya, nama-nama yang saya pilih ini bukan untuk memberi ramalan presisi tentang arah industri di masa depan. Nama mereka muncul, sejujurnya, karena dua atau tiga film mereka sebelumnya menarik perhatian saya. Tapi prediksi macam ini penting dan bisa disimak dari karya awal sutradara yang meniti karir. Contohnya, selepas menonton film kedua sutradara legendaris Hong Kong, Wong Kar Wai, Days of Being Wild (1990), kita sebetulnya bisa menduga dia bakal menghasilkan mahakarya seperti In the Mood for Love (2000)… begitu pula saat menyaksikan Blood Simple (1985) dari Coen bersaudara, tidak perlu kaget bila dua dekade kemudian mereka menghadirkan film sehebat No Country for Old Men (2007).”

Nama-nama sutradara favorit yang dipilih Bong memang jempolan. Beberapa di antaranya mulai menggarap proyek berbiaya besar, bahkan ada yang menghasilkan box office. Sebagian lebih sering menggarap film pendek, serta baru punya satu film panjang.

Tapi kesamaannya jelas: mereka semua punya ciri khas, memiliki visi artistik yang unik, serta sangat mencintai sinema dan tak akan berhenti menghasilkan film hingga bertahun-tahun ke depan. Sutradara-sutradara yang diprediksi Bong akan jadi sosok penting ini juga rata-rata masih 30-an tahun.

Berikut nama-nama sutradara pilihan Bong Joon-ho, yang karyanya bisa jadi rekomendasi tontonan baru buat pembaca sekalian:

Alma Har’el
Kewarganegaraan: Israel
Film Terbaiknya: Bombay Beach (2011), LoveTrue (2016), Honey Boy (2019)

Har’el mulai dikenal setelah mengarahkan video klip band indie Beirut. Dia juga sering menggarap iklan. Tapi karya yang membuatnya mendunia adalah dokumenter Bombay Beach. Film terbarunya, bertema trauma kekerasan rumah tangga, Honey Boy melanjutkan ciri khasnya selama ini.

Rose Glass
Kewarganegaraan: Britania Raya
Film Terbaiknya: Storm House (2011, film pendek), Bath Time (2015, film pendek), Saint Maud (2019)

Glass adalah sutradara muda paling menarik dari kancah film Britania Raya. Dia banyak membuat film horor, yang sebenarnya upaya lain menggambarkan problem kesehatan mental. Film terbaru Glass bertajuk Saint Maud, diedarkan oleh A24, kembali mengantarkannya ke teritori horor gelap psikologis.

Alice Rohrwacher
Kewarganegaraan: Italia
Film Terbaiknya: Corpo Celeste (2011), The Wonders (2014), Happy as Lazzaro (2018)

Film-film Rohrwacher seringkali bernuansa misterius, struktur ceritanya mirip dongeng, dan mengangkat tema kedewasaan. Film terbarunya Happy as Lazzaro menghadirkan satu adegan dengan teknik tracking shot paling berkesan dalam dunia sinema selama satu dekade terakhir.

Hamaguchi Ryusuke
Kewarganegaraan: Jepang
Film Terbaiknya: Passion (2008), The Depths (2010), Touching the Skin of Eeriness (2013), Voices from the Waves (2013), Asako I & II (2018)

Hamaguchi mulai dikenal para pelaku industri dunia pada 2015, lewat filmnya Happy Hour berdurasi lima setengah jam, bercerita tentang persahabatan empat perempuan. Visi artistiknya seringkali dianggap mirip sutradara legendaris Jacques Rivette. Hamaguchi sangat lihai mengejutkan penonton dengan plot tak disangka-sangka. Simak filmnya Asako I & II, yang membuatnya dianggap sutradara paling menarik dari Asia saat ini.

Mati Diop
Kewarganegaraan: Prancis
Film Terbaiknya: Big in Vietnam (2012, film pendek), A Thousand Suns (2013, film pendek), Atlantics (2019).

Diop, sebagai anak dari imigran di Prancis, punya obsesi mengangkat cerita-cerita tentang mereka yang harus meninggalkan tanah airnya dan mengadu nasib di negara lain. Setelah menggarap sekian film pendek, namanya dikenal luas berkat keberhasilan menang Cannes Grand Prix untuk film terbarunya Atlantics.

Yoon Gaeun
Kewarganegaraan: Korea Selatan
Film Terbaiknya: Sprout (2013, film pendek), The World of Us (2016), The House of Us (2019)

Bong menilai Gaeun sebagai sutradara muda paling berbakat di Korsel saat ini. Film-film Gaeun seringkali menyorot kehidupan dan keseharian anak secara intim. Sutradara perempuan ini dikenal lihai mengarahkan aktor-aktris anak, termasuk dalam film panjang perdananya The World of Us, yang meraih berbagai penghargaan internasional.

Jordan Peele
Kewarganegaraan: Amerika Serikat
Film Terbaiknya: Get Out (2017), Us (2019)

Peele memulai karir sebagai komedian yang mengasuh program televisi sketsa humor Key & Peele. Lambat laun, dia membuktikan diri sebagai penulis skenario sekaligus sutradara handal. Film-filmnya menguliti budaya rasisme di Amerika Serikat dengan jenaka sekaligus cerdas, lewat kedok genre horor. Film terbarunya, Us, mengangkat tema ketimpangan ekonomi yang amat akut di Negeri Paman Sam.

Ari Aster
Kewarganegaraan: Amerika Serikat
Film Terbaiknya: Munchausen (2013, film pendek), Hereditary (2018), Midsommar (2019)

“Aku sempat bertemu Ari Aster di New York. Dia sangat unik dan berbakat,” kata Bong Joon-ho. Nama Aster kini mulai dikenal para pecinta film horor berkat Hereditary dan Midsommar. Bahkan film yang disebut terakhir meraih pujian, karena berhasil menyajikan horor di adegan siang hari, tanpa harus mengandalkan teknik horor klise seperti jumpscare dan permainan gelap. Aster berencana menggarap genre lain sesudah dua film tersebut, dan kita bisa berharap dia sukses mengikuti jejak Bong—menyajikan komentar sosial dalam film yang genrenya tak sekadar drama.

Chloé Zhao
Kewarganegaraan: Tiongkok/AS
Film Terbaiknya: Songs My Brothers Taught Me (2015), The Rider (2017)

Chloé Zhao mengikuti jejak Taika Waititi dan Ryan Coogler, sebagai sutradara indie yang dipercaya menggarap film adaptasi komik Marvel. Sebelum menyaksikan The Eternals sebagai proyek blockbuster pertamanya, kalian perlu menonton film-filmnya dari era festival yang amat indah dan melankolis.

Robert Eggers
Kewarganegaraan: Amerika Serikat
Film Terbaiknya: The Lighthouse (2019), The Witch (2016)

Robert Eggers, seperti Aster, adalah sosok sutradara yang dikenal berkat keberhasilan menyegarkan kembali genre horor. Dia tidak mengandalkan trik klise untuk menakuti penonton. Karya terbaru Eggers, The Lighthouse, adalah upayanya membangkitkan lagi genre ghotic dan folk horor. Film-film berikutnya dari Eggers amat layak kita nantikan.

Artikel ini pertama kali tayang di i-D