Sebulan sudah Yayuk Warga Banda Aceh 47 tahun, memendam hasrat yang tak bisa ia tuntaskan. Ia dan suami, yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Kelas II A Banda Aceh, tak bisa memadu kasih gara-gara aturan baru yang diterbitkan Kepala lapas. Keputusan itu, kata Yayuk, turut membuat para keluarga narapidana kecewa. Ia sampai menduga kasus kaburnya 113 napi dari lapas yang terjadi pada Kamis 29 November lalu, salah satunya gara-gara larangan bercinta ini.
“Semua manusia saya rasa butuh untuk berhubungan walaupun sesaat. Ini tidak dibolehkan. Kalau ketahuan, suami saya akan dikarantina dalam kamar kecil,” Kata Yayuk saat dihubungi media.
Videos by VICE
Perempuan yang sehari-hari sibuk sebagai ibu rumah tangga itu mengatakan ketatnya aturan membuat para napi, termasuk suaminya, semakin stres. Selain tak boleh bercinta, para keluarga narapidana juga tak boleh lagi memberikan makanan pada kerabat mereka yang ada di dalam penjara.
“Semuanya sulit, makanya mereka kayaknya tidak betah. Sering kok ngeluh pada saya dengan aturan baru itu,”ujarnya.
Aturan yang menurut Yayuk kurang manusiawi itu mulai ketat diberlakukan sejak Oktober lalu. Sebelum-sebelumnya, para napi dan istri-istrinya masih bisa saling melepas rindu bertemu berdua saja di ruang-ruang tertentu. Yayuk mengakui sebelum ada aturan itu, ia sering berhubungan intim dengan suaminya di sebuah kamar di dalam lapas yang mereka sewa dengan biaya Rp250 ribu untuk sekian puluh menit.
“Kamarnya ukuran 2×3 meter, tidak tersedia apapun, kasur atau tikar biasanya bawa sendiri dari kamar tahanan,” katanya.
Setor harga kamar, sudah dilakoninya sejak suaminya mendekam. Kamar sempit itu, posisinya tak jauh dari ruang berjumpa keluarga.
“Sudah banyak saya bayar kamar, dalam satu minggu sekali, banyak sekali uang sudah habis,” ujarnya. “Banyak biaya lain yang harus dikeluarkan agar berjalan lancar, di sini kalau banyak uang mudah, saya rasakan sendiri,” katanya.
Sejak Oktober lalu, para napi dan istri terpaksa memendam hasrat jasmaniahnya. Yayuk saja kelimpungan, apalagi suaminya yang di dalam. Itulah sebabnya ia tak begitu kaget mendengar kabar lebih dari 100 napi menjebol penjara dan kabur berjamaah.
Tidak ada yang menyangka narapidana dari berbagai kasus itu bisa kabur secara berjemaah pada akhir November lalu. Aparat dibuat terkejut hingga ketar-ketir mengejar para narapidana kabur, yang setelah ditelusuri jumlahnya 113 orang dari 727 napi. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai kasus lapas jebol terbesar di Aceh dan salah satu yang terparah sepanjang sejarah Indonesia setelah insiden kaburnya 1.043 napi di Palu pascagempa dan Riau melanda daerah itu.
Waktu menunjukkan pukul 18:30 WIB, di Aceh bertanda memasuki ibadah salat maghrib. Seperti biasa, kota Banda Aceh yang dihuni sekitar 300 ribu penduduk seketika lengang, semua aktivitas seperti toko tutup hingga berakhirnya ibadah.
Masa-masa lengang ini ternyata sudah dipelajari oleh warga binaan di lapas. Di lapas ketika memasuki waktu Ibadah Maghrib, semua napi boleh keluar dari sel untuk salat berjemaah di Mushalla. Tak ada yang menduga, kesempatan itu justru dimanfaatkan oleh para napi untuk kabur. Diduga insiden kabur kemarin bukan aksi spontan, tapi sudah terencana.
Para napi kabur dengan cara menjebol terali besi jendela di ruang tamu. Sejumlah alat seperti barbel, batu, kayu dan senjata tajam yang digunakan untuk membongkar terali telah disita aparat untuk dijadikan barang bukti.
Setelah berhasil menjebol, para napi serta-merta berhamburan lari terpencar melewati sawah-sawah yang mengitari lapas. Cuaca sedang gerimis pada saat itu. Mereka memanfaatkan hari yang berangsur gelap untuk lolos dari kejaran sipir.
Tonton dokumenter VICE menyorot kontes kecantikan dalam penjara yang diikuti para napi:
Sipir yang berjaga hari itu, yang jumlahnya hanya 12 orang, sontak terkejut mendapati napi kabur. Mereka segera menghubungi pihak keamanan untuk meminta bantuan. Selang 15 menit semua Polisi berkumpul di lapas dan melakukan pengejaran. Mereka berpencar mengikuti jejak para napi.
Tak butuh waktu lama bagi anggota polisi untuk mendapatkan para napi. Satu per satu diciduk, ada yang sembunyi di atas rumah warga, ada pula yang sampai menceburkan diri ke selokan.
VICE berkesempatan mengikuti pengejaran para napi dengan anggota kepolisian yang berpakaian sipil. Mereka diperintahkan oleh pimpinannya untuk memburu para napi yang kabur. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, satu napi yang berpakaian lusuh dan bercampur lumpur ditangkap.
Napi tersebut disuruh tiarap dan tangan ditarik ke belakang lalu diborgol. “Tiarap, tiarap kau,” sebut polisi yang mengeluarkan borgol dari tas kecilnya. “Ampun pak… Ampun maaf, saya menyerah,” kata napi yang ditangkap di area perkebunan warga tersebut.
Menyusuri kebun warga, aparat kembali menangkap pria paruh baya yang berlari tak tentu arah seperti napi yang tidak menguasai medan. Bagi para polisi untuk melakukan pencarian di perkebunan yang berlumpur dalam sawah, pemukiman, terminal dan pusat pembelajaan bukan hal yang sulit. Semua lokasi mereka sisir.
Lelaki tua yang telah dipenuhi lumpur itu, dibekap dan langsung dimasukkan ke dalam mobil untuk dibawa kembali ke lapas. Langsung mobil polisi itu meninggalkan lokasi dengan kencang dan melakukan penyisiran, di mana ada informasi langsung mereka datangi.
Hingga dini hari Jumat 30 November 2018 pukul 04:00 WIB, Polisi menangkap 25 napi di radius 3 kilometer dari lapas. Kemudian, jalan perbatasan antar daerah disterilkan. Di mana-mana polisi melakukan razia bagi pengendara, khususnya kendaraan roda empat dan bus antar kota.
Semua mobil yang di razia disuruh membuka pintu dan menunjukkan kartu identitas. Jika ada pengendara atau penumpang dalam bus yang tidak bisa menunjukkan kartu identitas, akan diinterogasi lebih lanjut oleh polisi. Semua yang di dalam mobil pun ikut tegang dengan razia yang tak seperti biasa itu, yang biasanya hanya menunjukkan surat-surat kendaraan.
Sebenarnya tragedi Lapas lambaro bukan pertama kali ini terjadi. Di tahun ini, sudah dua kali, yang pertama pada Januari 2018 lalu. Kapolda Aceh, Irjen Rio Septianda Djambak meminta wartawan yang terus mengawal pengejaran itu untuk bersabar. Dan juga dalam hal menungu data yang valid soal berapa jumlah yang lari dan yang ditangkap.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh Agus Toyib, mengaku tidak menyangka penjebolan lapas bisa terjadi sampai dua kali.
Agus membenarkan kondisi Lapas kelas II A Banda Aceh banyak celahnya, utamnya karena jumlah sipir tak sebanding dengan jumlah warga binaan. Ketika napi kabur petugas kemanan yang berjaga hanya 12 orang, terpencar di beberapa titik pengamanan, di antaranya pintu utama, dan blok. Sementara yang diawasi ada lebih dari 700. Rasio petugas dengan warga binaan 1 berbanding 70.
“Nah ini kan tidak ideal juga dari sisi pengawasan sebenarnya tidak hanya di Aceh daerah lain juga masih belum ideal. Meski sudah 12 orang yang berjaga-jaga tetapi jika melihat antara petugas dan penghuni tentu belum ideal,” kata Agus.