Wayan* masih ingat betul seperti apa kehidupan di Bali sebelum hotel dan vila-vila mengambil alih Pulau Dewata. Artinya empat dekade lalu, saat sawah-sawah masih dianggap berharga karena menghasilkan beras yang dikonsumsi warga, bukan sekadar menyediakan pemandangan indah untuk kartu pos.
“Sebelum para wisatawan datang, kami sangat menikmati hidup sebagai petani,” ujar Wayan. “Dulu, hidup rasanya ringan saja. Kami tak pernah terpikir untuk menjadi orang kaya, karena hidup mudah. Kini orang-orang menginginkan lebih. Jadi banyak dari kenalan saya stres karena uang.”
Videos by VICE
Dulu saat Wayan masih anak-anak, dia selalu diajak bekerja di sawah keluarganya. Bangun pagi dan berkeringat di bawah matahari bersama bapaknya. Sawah keluarganya menyediakan hampir segala keperluan hidup. Sektor wisata pulau tersebut belum menjamah kampungnya di Cemagi, pantai barat Bali. Bahkan di awal 1990-an, Cemagi masih dianggap wilayah terpencil pulau dewata. Kini, desa ini menjadi lahan villa senilai Rp13 miliar ke atas dan properti yang harganya terus meroket.
Cemagi terletak beberapa kilometer di utara Tanah Lot. Lahan ini belakangan menjadi sorotan media, karena munculnya rencana pembangunan resor terbaru hasil kongsi Hary Tanoesoedibjo dan rekan bisnisnya, Presiden AS Donald Trump. Megaproyek yang ditolak warga setempat karena mencaplok lahan adat ini merupakan contoh anyar, bagaimana aliran modal dari luar pulau senantiasa mencoba mengkapitalisasi industri wisata Bali—walau penduduk tak lagi menginginkannya.
Pariwisata mendominasi 80 persen perekonomian Bali, meski diperkirakan 85 persennya, sebetulnya dimiliki investor dari luar pulau. Bagi sebagian besar warga lokal, seperti Wayan, perkembangan turisme di pulau ini tidak memengaruhi hidup ataupun kesejahteraan mereka. Keluarga Wayah telah menjual lahan mereka lantaran bertani makin tidak menghasilkan pendapatan memadai. Tak lagi punya sawah, Wayan sekarang beralih profesi menjaga vila-vila, hotel, dan resor mewah milik sebuah perusahaan besar. Dia bekerja tiga kali lebih lama dibandingkan saat bertani dulu untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup di Bali yang terus melonjak.
“Saat para wisatawan ke sini, semua jadi serba mahal,” ujarnya kepada VICE. “Sekarang beli sayur-sayuran dan beras saja sulit, karena orang-orang Bali terus menjual lahan mereka. Ada banyak sekali gedung, tapi tidak cukup banyak sayur-sayuran di Bali pada saat ini.”
Wayan mulai menyadari ada hal lain yang hilang di pulau tersebut: air. Para petani Bali pertama kali membangun sistem irigasi komunal pada abad ke-9, yang disebut Subak, dulu saat reruntuhan Angkor Wat di Kamboja belum dibangun. Selama berabad-abad, petani Bali memiliki akses pada air segar untuk mengairi lahan serta untuk diminum. Sekarang, anugrah berupa air itu makin menyusut saja. Beberapa tahun belakangan, sudah sering diberitakan penduduk di wilayah agraris Bali kesulitan mendapat pasokan air minum.
“Sebelumnya kami tidak punya masalah dengan air, namun kini saat musim kemarau, kami punya masalah,” ujar Wayan pada saya. “Terkadang kami dapat air. Terkadang tidak cukup.”
Akibatnya petani lokal mulai mencuri air milik tetangga desa di kala malam. Wayan bilang, untuk melawan pencurian tersebut, sebagian petani tidur di ladang pada malam hari. Situasi sosial macam ini merupakan perubahan drastis dari hari-hari di mana air segar merupakan kepemilikan komunal dan tak satupun warga yang terpikir mencuri air.
Wayan mengambil jeda beberapa saat, saat ngobrol bersama saya. Dia memikirkan ke mana perginya segala air. “Mungkin karena pemanasan global ya,” ujarnya.
Biang kerok sebenarnya ada di hadapan semua orang di Bali: industri pariwisata. Sebanyak 65 persen air tanah pulau tersebut diserap bisnis turisme, seperti disimpulkan sejumlah penelitian. Berdasarkan penelitian gabungan ini ditemukan fakta bahwa di seluruh Pulau Dewata, kamar-kamar hotel dan vila-vila mengonsumsi hingga 3.000 liter air tanah setiap harinya.
Hitungan itu belum mencakup air yang digunakan pada kolam-kolam, pemandian mubazir hanya buat turis, maraknya proyek pembangunan gedung hotel atau vila baru (butuh air untuk mengaduk campuran semen), serta makin membludaknya lapangan-lapangan golf—seperti rencana lapangan 18-hole yang dibangun untuk resor Trump. Dampaknya sektor wisata mengakibatkan 260 dari 400 sungai di Bali mengalami kekeringan selama satu dekade terakhir. Praktik ekstrasi air tanah menurunkan pasokan air tanah hingga 60 persen. Sumber air segar terbesar di Bali, Danau Buyan, telah menurun 3,5 meter, sementara akuifernya sekarang dengan cepat mencapai titik yang tak bisa kembali saat air laut mulai memasuki sumber air bersih.
Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan, sampai-sampai sebagian ahli menyebutnya “krisis air.”
“Dampak penyusutan air sangat signifikan,” ujar satu peneliti senior asal Bali. “Semakin banyak kita mengambil air dari tanah, semakin kita menciptakan celah untuk air laut mengisi celah tersebut karena ada tekanan konstan bahwa air laut memasuki tanah.”
Setelah akuifer Bali terkontaminasi akibat pasokan air yang susut, kerusakannya tidak dapat diperbaiki. Kepada VICE, si peneliti minta namanya tak disebut karena pernah diancam bakal dibunuh, gara-gara menyinggung isu ini sebelumnya. Untunglah masih ada peneliti lain yang masih berani memberi pernyataan on the record tentang dampak buruk bisnis pariwisata.
“Daerah pesisir di mana akuifer terus dieksploitasi, akan mengalami kebocoran air laut ke air tanah, yang tidak akan bisa dibalikkan sampai kapanpun. Artinya, kita bergantung sepenuhnya pada tanaman-tanaman desalinasi untuk memperbaiki air laut untuk pasokan air perumahan, agrikultur dan wisata Bali,” kata Ida Bagus Putu Binyana, peneliti dari Politeknik Negeri Bali yang telah bertahun-tahun mengkaji topik keseimbangan pasokan air di Pulau Dewata.
Sejauh ini dampak-dampak berkurangnnya pasokan hanya dirasakan langsung oleh para petani berdekatan dengan area tursime. Di area-area lain milik para petani yang dihubungi VICE melaporkan kehidupan berjalan normal, dengan dua hingga tiga hasil panen selama setahun.
“Menurut saya, selama lima tahun ke depan situasi sawah-sawah akan tetap baik-baik saja,” ujar Ketut Karda, anggota Subak Singaraja, yang terletak 8 kilometer dari area wisata, saat dihubungi VICE. Dia percaya bahwa situasi sekarang mulai membaik bagi para petani.
“Kini, segalanya ditangani dengan baik,” ujarnya. “Sebelumnya, tidak ada dukungan dari pemerintah. Kini faktanya, para petani bisa mendapatkan pinjaman bank atau dukungan finansial lainnya untuk meningkatkan hasil panen mereka.”
Hanya saja, karena Bali dibebani target menarik tujuh juta wisatawan asing pada 2018, potensi “krisis air” ini akan terus berlangsung kecuali pemerintah dan pejabat bidang pariwisata memperbaikinya.
“Dengan meningkatnya pariwisata, tingkat permukaan air akan semakin menurun,” ujar sang peneliti. “Jadi, dalam jangka pendek, air bukan masalah. Namun dalam jangka panjang, ini akan menjadi isu yang lebih besar karena tingkat permukaan air menurun, dan di banyak area coastal ada intrusi air laut.”
Sebetulnya ada solusi untuk persoalan air ini. IDEP, lembaga swadaya yang membela hak petani mengakses air bersih, menyampaikan bahwa sebuah sistem “sumur isi ulang” dapat mengarahkan air bawah tanah hasil hujan buat mengisi pasokan air pulau tersebut. Sistem ini memakan biaya hingga US$1 juta—memang mahal tapi lebih kecil dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk membangun hotel-hotel ini. Tetap saja, harus ada pergerakan oleh pemerintah atau industri wisata untuk memulai proyek ini.
“Air pada dasarnya gratis jadi tidak ada insentif untuk melindungi air dan sebagian besar industri dan pemerintah hanya memikirkan jangka pendek saja,” ujar peneliti saat ditanya soal kurangnya progres dalam hal “sumur isi ulang” ini.
Saya menghubungi Perhimpunan Hotel dan Restoran Bali, untuk mengonfirmasi apakah mereka paham telah terjadi penurunan sumber air di Bali. Wayan Marta, selaku ketua PHRI setempat, menyampaikan belum menerima “informasi formal” apapun terkait kondisi tersebut dari pemerintah. Namun dia cepat-cepat menambahkan kalau beberapa LSM sudah memberitahunya bila, “krisis air di Bali akan terjadi dalam waktu dekat.”
Marta mengakui adanya peran sektor wisata dalam “mempercepat” krisis tersebut. “Pertumbuhan pesat perkembangan dan populasi yang terus meningkat,” ujarnya. Menuurt Marta, “perubahan area hijau menjadi area pembangunan adalah salah satu faktor utama yang menurut kami mempercepat datangnya krisis air.”
Pihak asosiasi hotel rencananya akan mengambil langkah proaktif, dengan “mengimbau” seluruh hotel dan bisnis dalam lingkup organisasi agar “mengimplementasi inisiatif-inisiatif ramah lingkungan.”
“Kami berbagi dan mendiskusikan banyak praktik terbaik dan ide-ide untuk mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang air yang dapat diimplementasikan langsung di area kami,” ujar Marta dalam balasannya kepada VICE melalui surel. “Hal ini termasuk mengganti keran air yang mengeluarkan air lebih sedikit, dan memberikan pilihan pada tamu-tamu apakah mereka ingin spreinya diganti setiap hari, dan hanya menggunakan mesin pencuci baju dan piring saat cucian sudah banyak, dan lain-lain.”
Bagaimanapun, melihat perubahan yang dialami petani di sekitar kawasan wisata, tak diragukan lagi bila lanskap alam Bali telah diubah sepenuhnya oleh sektor wisata. Melihat dampaknya, perubahan ini belum tentu bagus. Wayan meratapi fakta betapa sekarang banyak lahan pertanian ditinggalkan begitu saja oleh petani lokal. Wayan menyoroti masa depan bagi warga lain yang tak lagi memiliki lahan seperti dirinya.
“Saya rasa ini adalah pola pikir yang salah karena lahan mereka akan hilang dan mereka tidak akan memiliki apa-aoa lagi di masa depan untuk anak cucu mereka,” ujarnya. “Orang-orang Bali akan musnah.”
*Wayan adalan pseudonim. Dia meminta nama aslinya tidak disebut karena isu ini cukup sensitif bagi kelangsungan pekerjaannya.