Hutomo Mandala Putra adalah nama yang tak henti-hentinya membayangi Indonesia 20 tahun terakhir. Dari seluruh anggota keluarga cendana—Keluarga Presiden ke-2 Suharto yang jadi simbol Orde Baru itu—anak bungsu Suharto akrab disapa Tommy itu paling vokal mengkritik proyek Reformasi. Lelaki 56 tahun ini sekaligus menjadi anak Suharto yang paling gigih memupuk harapan bisa kembali terjun ke politik sejak bebas dari penjara pada 2006.
Tak kunjung dapat posisi strategis di Partai Golongan Karya, Tommy banting setir membuat Ormas Laskar Merah Putih, dan akhirnya pada 2016 resmi mendirikan Partai Beringin Karya (Berkarya). Agendanya jelas: mengembalikan cara pengelolaan negara seperti masa Orde Baru. Partai Berkarya ia sebut dalam sebuah wawancara sebagai, “jiwa Golkar yang sesungguhnya.”
Videos by VICE
Menjelang pemilu 2019, dia berulang kali melontarkan kritikan pedas terhadap rezim saat ini yang merasa jauh lebih berhasil ketimbang rezim ayahnya dulu. “Reformasi janjikan KKN hilang, tapi nyatanya makin parah. Utang luar negeri semakin besar. Investasi asing pun semakin dimanja,” ujarnya saat menggelar pidato politik di Sentul.
Kritikan Tommy membikin banyak orang sewot. Masyarakat kadung mempersepsi Tommy sebagai “anak emas Cendana” yang aktif terlibat membentuk citra negatif Orde Baru. Mulai dari dugaan Tommy terlibat kasus Bulog, skandal pemakaian dana Yayasan Supersemar, hingga pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Respons balik pengguna Internet akhirnya tak kalah sadis terhadap kritikan Tommy:
Saya sih justru mengajak orang-orang agar tidak perlu baper. Pertama, namanya juga musim menjelang pemilu. Om Tommy berniat jadi calon anggota legislatif lewat daerah pemilihan Papua. Biarkan dong dia cari panggung. Namanya juga politikus.
Alasan lain, Tommy cuma mengkritik kondisi sosial negara ini dan kinerja pemerintah. Apa salahnya coba Tommy melontarkan kritik di negeri yang sudah membebaskan rakyatnya untuk bicara setelah era Reformasi? Cobalah kasih kesempatan Tommy setidaknya menikmati saat-saat mengkritik pemerintah yang langka bisa terjadi saat ayahnya berkuasa dulu.
Dalam salah satu wawancara bersama jurnalis Najwa Shihab yang datang langsung ke rumah pribadinya, Tommy mengklaim niatannya masuk politik karena Ia merasa bahwa reformasi tidak membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
“Saya terjun ke politik karena keprihatinan saya sendiri terutama dan masyarakat kebanyakan bahwa kita sudah 20 tahun reformasi arahnya tidak lebih baik kehidupan berbangsa bernegaranya, utamanya kehidupan kesehatan rakyat,” ungkap Tommy saat diwawancarai dalam program Mata Najwa. “Tentunya ini bukan hal yang patut dipertahankan karena memang kita ingin jadi negara yang maju berdaulat adil dan makmur.”
Dalam beberapa hal, kita sebaiknya legowo saja mengakui sebagian poin argumen Tommy ada benarnya. Memang korupsi tidak selesai selesai hanya dengan berganti rezim. Sistem politik yang berbeda cuma akan berpengaruh terhadap bagaimana pola korupsi dijalankan. Adnan Topan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan ada perbedaan jelas antara korupsi yang dilakukan di era reformasi dan Orde Baru. Saat zaman Orde baru korupsi berlangsung sistematis, terpusat sesuai dengan bagaimana kekuasaan dikendalikan saat rezim tersebut. Kalau Adnan menyebutnya desentralisasi korupsi.
“Dalam konteks Orba kekuasaan sangat terpusat dan tidak ada lembaga lain yang bisa mengontrol kekuasaan Presiden sehingga bentuk penyalahgunaan wewenang, jabatan, kekuasaan, tersentral di Presiden,” kata Adnan saat diwawancarai CNN Indonesia. “Pada era reformasi, kekuasaan sudah terdistribusi ke pusat kekuasaan baru. Korupsi semakin menjalar dan tidak hanya dikendalikan oleh Istana tapi dilakukan juga oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan baru.”
Tentu saja Tommy tebang pilih. Semasa Orde Baru, tidak pernah ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang punya kemampuan memerangi kasus-kasus korupsi penting. Meskipun kini ada upaya melemahkannya, KPK berkontribusi setidaknya menjebloskan ratusan koruptor ke penjara. Mana ada Operasi Tangkap Tangan semasa Suharto berkuasa? Sekarang setidaknya belasan sampai puluhan kali KPK melakukan OTT. Apakah ini akibat korupsi lebih banyak atau sekarang korupsi lebih mudah ditangkap dan diadili pada era Reformasi?
Nah dari sini kita bisa lihat reformasi justru ada gunanya. Hak orang, sekalipun penuh citra negatif seperti Tommy, tidak diberangus. Kritikan Tommy pun mengingatkan kita, bahwa KPK adalah buah reformasi yang penting, yang mustahil muncul jika rezim Orde Baru tidak didongkel.
Terima kasih sudah mengingatkan kami soal pentingnya reformasi, Mas Tommy. Sekali lagi tidak perlu baper. Sekarang musim pemilu. Tak lama lagi kampanye. Politikus akan jualan barang dagangan masing-masing. Mas Tommy menjual nostalgia tebang pilih soal masa lalu. Tinggal kalian mau membeli dagangan tadi atau tidak.