PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit tentang kekerasan seksual dan penganiayaan terhadap anak-anak yang dapat memicu tekanan emosional bagi pembaca.
Takashi Kato senang bukan kepalang menemukan komik yang menggambarkan anak-anak secara vulgar—konten inilah yang paling ia cari sepanjang hidupnya.
Videos by VICE
Kato sendiri sudah sejak lama memiliki ketertarikan seksual pada anak kecil, tapi rasa penasarannya semakin kuat setelah menikmati manga yang memperlihatkan orang dewasa bersanggama dengan anak-anak. Ia mulai mengoleksi bacaan tersebut, juga bermasturbasi sambil melihat ilustrasi tak senonoh di dalamnya. Menurut Kato, komik “mampu mewujudkan fantasi yang mustahil terjadi di dunia nyata”.
Lama-lama, dia merasa kurang puas dengan konten yang dinikmati, dan menginginkan sesuatu yang lebih eksplisit. Sebagai pelampiasan hawa nafsu, Kato mulai mengincar anak-anak di dunia nyata. Dia membayangkan adegan dalam komik saat melecehkan mereka.
Warga Jepang itu mengaku, dirinya pernah memerkosa murid lesnya yang masih SMP lebih dari dua dekade lalu. Dia juga melecehkan anak-anak di depan umum, dan tega menganiaya siswa berkebutuhan khusus yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengasuh sukarelawan. Kato bahkan bepergian ke luar negeri dan membayar anak di bawah umur memenuhi hasrat seksualnya.
“Meski saya sadar telah melanggar hukum, saya meyakinkan diri sendiri, tindakanku memuaskan anak-anak, jadi hukumnya yang salah,” tutur lelaki 60 tahun. Dia mengaku sekarang sudah insyaf, dan kini berbalik lantang menyuarakan pemberantasan manga berunsur loli di Negeri Sakura.
Dinamai berdasarkan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, istilah lolicon mengacu pada obsesi terhadap gadis remaja yang belum memasuki masa pubertas. Manga loli yang menampilkan perempuan imut bertubuh seksi pertama kali diterbitkan pada 1970-an. Seluruh isi kontennya menggambarkan anak perempuan bersanggama dengan laki-laki yang jauh lebih tua.
Walau subgenre ini tidak masuk media mainstream seperti genre-genre yang lebih populer—misalnya shonen dan cerita olahraga—lolicon dan subgenre sejenisnya, shotacon (anak laki-laki sebagai objek seksual), meraup pendapatan sebesar 675,9 miliar yen (Rp71 triliun) pada 2021.
Pada 2014, Jepang menjadi negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi terakhir yang sepakat melarang kepemilikan materi yang mengandung pelecehan anak. Tapi sayangnya, langkah itu tak menghentikan peredaran konten berbau asusila terhadap orang yang belum dewasa.
Masyarakat terbelah dua menyikapi wacana seputar pornografi anak dalam budaya populer Jepang. Sejumlah mangka dan politikus beranggapan larangan ini akan membatasi kebebasan berekspresi kreator, sedangkan yang lain khawatir maraknya penggambaran anak kecil sebagai objek seksual akan mewajarkan pelecehan terhadap mereka.
Pihak yang kontra bersikukuh menyukai konten semacam ini tak serta-merta berarti orang akan mempraktikkannya di dunia nyata. Mereka menekankan belum ada bukti ilmiah yang pasti bahwa manga loli dapat mendorong seseorang bertindak kejam pada anak-anak.
Sebaliknya, aktivis dan pakar mengutarakan bukti ilmiah sulit diperoleh tanpa melakukan eksperimen. Namun, uji coba dampak negatif pornografi anak dalam manga bisa semakin membahayakan mereka.
Kazuna Kanajiri memimpin People Against Pornography and Sexual Violence, lembaga nirlaba yang memantau kejahatan seksual dalam pornografi. Dia menyebut dengan membiarkan konten sarat pornografi anak terus beredar, pemerintah sama saja “menoleransi” perilaku yang tergolong kekerasan seksual terhadap anak-anak. Menurutnya, manga semacam ini dapat menyuburkan praktik grooming karena menunjukkan cara-cara mendekati dan memanipulasi emosi anak yang belum stabil demi kepuasan pribadi. Ilustrasi dalam komik kerap menggambarkan raut wajah seolah-olah anak menikmati ajakan seksual dari orang dewasa, memberikan kesan keliru bahwa anak-anak juga mau berhubungan badan.
“Kita menciptakan masyarakat yang memaksa anak-anak belajar sejak dini bahwa mereka punya nilai seksual,” terangnya.
Budaya lolicon telah ternodai aksi brutal Tsutomu Miyazaki, yang memerkosa mayat empat anak perempuan setelah membunuh mereka pada 1989. Motif kejahatan Miyazaki memang tak pernah dikaitkan dengan konsumsi manga loli, tapi tindakannya menjadi alasan subgenre dinikmati dalam diam.
Akiyoshi Saito, pekerja sosial yang menangani terpidana pelaku kejahatan seks anak, berpandangan meski dampak langsungnya belum terbukti, bacaan semacam ini dapat menjadi penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual.
Dari 150 pelaku KS yang ia tangani, hampir semuanya mengaku menjadikan ilustrasi vulgar anak-anak sebagai bahan onani. Manga loli ibarat kotak Pandora. “Dengan mengonsumsi media semacam itu dan menjadikannya bahan masturbasi, semakin hilang saja pagar pembatas yang melindungi anak-anak dari risiko menjadi target seksual,” Saito memberi tahu VICE World News.
Namun, masyarakat Jepang juga patut disalahkan atas tingginya minat akan pornografi anak di dalam negeri. Menurut Saito, ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur bukanlah bawaan dari lahir.
“Orang dewasa seharusnya melindungi anak-anak, dan tidak menjadikan mereka bahan konsumsi,” tegasnya. “Materi semacam ini tidak akan bisa beredar seandainya hak anak untuk hidup aman diprioritaskan, terlepas dari kekhawatiran tentang kebebasan berekspresi.”
Mangaka Akio tidak setuju manga loli dicabut izin edarnya. Dia mengklaim bacaan semacam ini justru dapat mencegah pedofil melancarkan aksinya, karena fantasi seksual mereka telah disalurkan melalui ilustrasi.
“Bacaan ini bagus buat para laki-laki yang penasaran seperti apa rasanya memerkosa orang, tapi mereka tidak pernah mempraktikannya langsung,” tukas Akio yang tidak mau menyebutkan nama aslinya.
Akio mengaku bahwa sejujurnya, dia tertarik berhubungan seks dengan gadis remaja, tapi kemudian menegaskan tidak pernah melecehkan anak-anak. Menurutnya, dia menyalurkan fantasi liar lewat manga ciptaannya, yang kebanyakan terinspirasi dari kasus kejahatan seks yang terjadi di Jepang. Dia berpendapat minat masyarakat akan terus ada bahkan jika manga loli dilarang sekalipun.
“Jika melihat banyaknya jumlah pembaca, bukankah itu artinya permintaannya cukup besar?” lanjutnya. Dia menambahkan, dirinya cuma memenuhi permintaan tersebut.
Kato yang sekarang sudah insaf, menilai pandangan semacam itulah yang menjadi alasan anak-anak kerap dijadikan objek seksual di media Jepang. Para mangaka menikmati keuntungan dari fantasi yang tak sepantasnya diwajarkan. Dia percaya mangaka seperti Akio melanggar hukum karena menyebarkan konten pornografi anak. “Dengan membuat konten seperti itu, mereka menanamkan pemikiran tidak ada salahnya menjadikan anak-anak objek seks,” ujarnya.
Kato menyerahkan diri ke polisi karena hampir memerkosa anak laki-laki sekitar 21 tahun yang lalu. Dia hendak menyekapnya di kamar kecil dengan modal lakban, tali dan pisau. Kato baru tersadar dirinya bisa saja membunuh orang setelah anak itu berhasil melarikan diri.
“Saya tersadar bahwa tindakanku selama ini hanya untuk memuaskan nafsu pribadi, dan saya tidak pernah sekalipun memikirkan perasaan orang lain,” ungkapnya. “Saya jelas-jelas telah melecehkan anak kecil. Kalaupun anak itu setuju, tindakan saya tetap termasuk pelecehan.”
Kato menjalani masa percobaan empat tahun, dan wajib mengabdi pada masyarakat agar kejahatannya diampuni. Dia merasa pihak berwajib memberinya hukuman ringan karena melihat dia baru pertama kali melanggar hukum. Pasalnya, batas waktu penuntutan untuk semua kejahatan yang Kato lakukan sebelumnya telah berakhir.
Terlepas dari kencangnya seruan menghentikan peredaran manga loli, pemerintah Jepang sampai saat ini belum memiliki rencana konkret untuk menindak konten seksual yang melibatkan anak kecil. Alhasil, mangaka seperti Akio masih bisa mewujudkan fantasinya lewat ilustrasi komik.
Akio sadar tindakannya tidak dapat dibenarkan, tapi dia juga merasa dirinya tidak melanggar hukum.