Hussain Sadat tidak pernah membayangkan harus membuat paspor, berdesakan dengan ribuan orang lain yang berpikiran serupa. Dia mengira nyaris seluruh sisa hidupnya akan dihabiskan di Afghanistan. Lelaki di usia kepala tiga itu berpenghasilan minimum, sehingga paspor dan kebutuhan bepergian ke luar negeri termasuk kemewahan yang sekilas tak terjangkau baginya.
Namun, sepanjang Minggu siang hingga sore, Sadat sudah merampungkan perekaman biometrik, dan tinggal menunggu paspornya dicetak. Di tengah proses antrean itu, kekacauan dan kepanikan muncul di tengah bandara.
Videos by VICE
Pada 15 Agustus 2021, pasukan Taliban sudah memasuki Ibu Kota Kabul. Negara di Asia Tengah itu hampir pasti akan kembali dikuasai rezim militan Islamis. Bagi warga yang tak ingin kembali ke era pemerintahan sebelum 2001, keluar dari Afghanistan adalah satu-satunya opsi yang tersisa. Sepanjang hari Minggu, ribuan orang mengantre di Bandara, mengajukan permintaan pembuatan paspor.
“Saya yakin ribuan orang ini mengantre untuk paspor karena khawatir mendengar Taliban sudah memasuki Kabul,” ujar Sadat kepada VICE World News. “Orang-orang ingin segera pergi dari negara ini, saya pun demikian.”
Sayangnya karena antrean makin tak terkendali dan orang berebut minta dibuatkan paspor, Sadat batal mendapat tiketnya ke luar negeri. Kantor imigrasi bandara ditutup mendadak pada sore hari. Sadat kemudian keluar bandara, dan menyaksikan kepanikan sepanjang jalan. “Orang-orang berusaha kabur dari Ibu Kota dengan cara apapun, naik mobil sampai jalan kaki.”
Sejak akhir Juli 2021, Amerika Serikat menarik seluruh tentaranya di Afghanistan, mengakhiri proses pendudukan selama 20 tahun terakhir di negara tersebut dengan dalih “perang melawan teror”. Di tengah situasi itulah, Taliban yang selama ini bertahan di pegunungan mengambil inisiatif. Ribuan militan Taliban merangsek ke kota-kota besar Afghanistan, dan sejak awal Agustus, sudah menguasai secara de facto lebih dari 50 persen wilayah negara tersebut.
Taliban, sebelum AS melakukan invasi pada 2001, adalah penguasa resmi Afghanistan. Rezim organisasi Islamis itu dikenal mementingkan pelaksanaan syariat Islam dan memiliki reputasi buruk karena melarang perempuan sekolah maupun keluar rumah. Amerika, di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush Jr menyerang Afghanistan dengan alasan Taliban memberi bantuan bagi Al Qaeda, organisasi teroris yang melaksanakan serangan penabrakan pesawat 9-11 ke New York dan Pentagon.
Ribuan warga yang terlanjur menikmati kebebasan, meski marak korupsi dan tribalisme di bawah rezim demokratis sokongan AS, kini memikirkan cara kabur dari Afghanistan. Otoritas bandara menyatakan semua penerbangan hingga September 2021 sudah penuh.
Di kantor imigrasi yang berada di pusat kota, antrean serupa terlihat. Ribuan orang, dari anak-anak hingga lansia, mengantre untuk secercah harapan berupa paspor.
Hameed Hashimi, lelaki 30 tahun, sudah memiliki firasat pemerintahan demokratis akan berhasil ditumbangkan Taliban. Karena itulah dia sudah mengajukan permintaan pembuatan paspor, dengan duit seadanya, sejak 20 hari lalu.
“Hari ini saya dijadwalkan menjalani proses pengambilan biometrik, tapi tidak tahu apakah bisa dilaksanakan mengingat situasi seperti sekarang,” ujarnya kepada VICE World News. Hashimi sudah datang di lokasi sejak pukul 3 pagi waktu setempat, namun sampai kami mewawancarainya pada pukul 09.00, namanya masih belum dipanggil untuk pengambilan biometrik.
“Hal yang bikin sebal, kami orang biasa harus mengikut prosedur yang bertele-tele untuk membuat paspor,” kata Hashimi. “Sementara anggota parlemen dan orang-orang berduit bisa cepat mendapat paspor untuk keluarganya.”
Kalaupun berhasil mendapat paspor, masalah bagi warga yang ingin kabur dari Afghanistan tidak otomatis berhasil. Mengajukan visa tinggal di negara ketiga sama sulitnya. Mayoritas negara lazimnya meminta berbagai dokumen pelengkap bagi pemegang paspor Afghanistan sebelum diizinkan masuk.
Mulk Rahimi, perempuan berusia 40-an, pesimis bisa mendapat suaka di negara manapun, termasuk dari negara tetangga mereka. Dia bermimpi bisa terbang ke Turki atau India, yang situasinya lebih aman. Mengingat paspor Afghanistan masuk kategori yang terlemah di dunia karena rentan ditolak imigrasi manapun, Rahimi hanya bisa pasrah. “Saya sih yakin tidak ada kedutaan negara manapun di Kabul yang bersedia memberi visa di tengah situasi seperti sekarang,” ujarnya.
Rahimi merasakan sendiri hidup di bawah rezim Taliban sepanjang dekade 1990-an. Sekarang, dia sebetulnya bekerja sebagai fisioterapis. Dia yakin bila Taliban kembali berkuasa, maka seluruh hidupnya sebagai perempuan bakal kembali seperti ke zaman batu. “Hidup kembali di bawah Taliban bukan pilihan buat saya. Yang saya harapkan sekarang hanyalah enyah dari Afghanistan dan mencari suaka dari negara lain.”
Berbagai negara asing sejak tiga hari terakhir sudah mengevakuasi para diplomat, relawan kemanusiaan, dan para profesional dari Afghanistan. Sejak 14 Agustus, Amerika Serikat bahkan mengerahkan ribuan tentara untuk menyelamatkan warga mereka sendiri dari Kabul. Adapun Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, sejak 16 Agustus dilaporkan sudah kabur lebih dulu ke Tajikistan, mengundang kecaman banyak pihak.
Taliban tinggal selangkah lagi bakal berkuasa. Dalam video yang direkam kontributor Aljazeera, tampak puluhan pasukan Taliban berhasil merangsek masuk ke Istana Kepresidenan, memasuki ruang kerja presiden, dan kemudian mengambil foto di sana secara simbolis.
Tentara Afghanistan, meski mendapat bantuan miliaran Dollar dari Amerika dan NATO selama nyaris dua dekade terakhir untuk melakoni modernisasi, ternyata tak bisa lepas dari tribalisme. Mereka cenderung lebih setia pada komando ketua suku masing-masing. Alhasil, tidak ada arahan yang tegas ketika Taliban menyerang kota-kota strategis.
Sementara berbagai faksi politik di Afghanistan punya agenda masing-masing, termasuk dengan sudah berkoordinasi bersama Taliban untuk menentukan pemerintahan ke depan. Itu sebabnya, ada informasi bila Presiden Ashraf Ghani memang sengaja diusir, supaya tidak terjadi pertumpahan darah, sehingga transisi kekuasaan bagi Taliban lebih damai.
Saat diwawancarai BBC, juru bicara Taliban Suhail Shaheen menjamin bahwa keselamatan dan kesejahteraan semua penduduk Afghanistan akan menjadi fokus utama mereka setelah kembali berkuasa. “Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan,” tandasnya. “Ketakutan sebagian warga pada kami [rezim Taliban] tidak berdasar pada kenyataan.”
Taliban juga menjamin proses pemindahan kekuasaan tidak akan diwarnai kekerasan. Sehingga Shaheen meminta setiap kedutaan besar tetap beroperasi seperti biasa, karena keselamatan warga asing juga akan dilindungi oleh Taliban.
Kepada BBC, Shaheen sekaligus menjamin perempuan tidak perlu takut karena hak untuk bekerja dan sekolah diperbolehkan. “Mereka bisa hidup seperti biasa,” klaimnya.
Reputasi buruk Taliban dalam bidang kebudayaan selalu dikhawatirkan penduduk moderat, terutama di perkotaan. Sepanjang berkuasa pada kurun 1996 hingga 2001, Taliban melarang semua perempuan bersekolah dan bekerja. Selain itu film, musik, hingga tayangan televisi dilarang keras dinikmati warga, karena dianggap melanggar syariat Islam.
Meski ada klaim bahwa Taliban tidak akan berkuasa sekeras dulu, Sadat menolak percaya. Dia berkukuh ingin pergi dari tanah airnya, supaya anak-anaknya punya masa depan lebih baik.
”Kami kehilangan semua capaian 20 tahun terakhir untuk menjadi negara yang lebih modern. Kami mengira sudah punya militer dan pemerintahan yang lebih kuat karena didukung Amerika. Setidaknya situasi bakal lebih aman. Ternyata tidak ada harapan lagi,” ujar Sadat. “Saya tidak tahu harus ke mana nantinya, yang jelas, yang saya harapkan hanyalah kesempatan kerja dan pendidikan lebih baik buat anak-anak.”