Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.
“Hei,” bunyi pesan singkat dari pacar saya pagi hari pada musim semi 2013, “Kayaknya bank aku baru dirampok orang deh.”
Pacar saya ingin mengabari bahwa dia baik-baik saja sekaligus memberi tahu informasi terkait, berhubung saya adalah wartawan kriminal di kawasan Philadelphia, Amerika Serikat. Hari itu dia pergi ke bank di pinggir jalan untuk menyetor uang, melihat sekumpulan anggota kepolisian di luar gedung, dan menyimpulkan bahwa perampokan baru saja terjadi.
Dugaan pacar saya tepat. Kalau saja dia berada di dalam bank pagi itu, dia akan melihat laki-laki kekar dengan jas dan dasi, sarung tangan latex hijau, dan topeng ala Elephant Man, melenggang dengan pistol hitam semi-otomatis pada satu tangan, dan tas serut di tangan yang lainnya. Laki-laki ini meminta semua orang tiarap dan kabur dengan uang tunai mendekati USD 30,000 (sekitar Rp400 juta).
Menurut para penyelidik, ini bukan kali pertama sang pencuri beraksi. FBI connected mengaitkannya kepada beberapa perampokan bank bersenjata di Bucks and Montgomery counties—kawasan subruban dan semi-pedesaan di utara Philadelphia—pada Juni 2012. Beberapa perampokan selanjutnya terjadi pada 2013. FBI percaya bahwa laki-laki inilah pelaku semua perampokan karena “ciri khas” seperti topeng aneh yang membuat kepolisian memanggilnya “Bandit Topi Jerami” (straw hat) merujuk pada topi yang dia kenakan pada perampokan pertamanya.
Pada Juli tahun lalu, Straw Hat Bandit kembali menjadi tersangka perampokan bank dalam radius 48 kilometer. Nama panggilan yang unik itu membuat warga-warga khawatir dan mengira-ngira di mana selanjutnya dia akan merampok.
“Untungnya, selama 11 perampokan, tidak ada satupun penembakkan. Meski demikian, kami merasa hanya perkara waktu hingga akhirnya seseorang terluka,” kata agen FBI Christian Zajac saat konferensi pers. Saat itu dia mengimbau publik agar membantu mengidentifikasi pelaku perampokan yang diduga “membaur di sekitar kita.”
Pada 20 April, tersangka Bandit Topi Jerami akhirnya ditetapkan. Departemen Kehakiman AS mengumumkan bahwa Richard Boyle, 57 tahun—pemilik bisnis fotografi udara yang keluar dari rumahnya di Patriots Ridge di daerah Plumstead Township—telah diindikasikan juri atas perampokan selama empat tahun sejumlah mendekati setengah juta dolar AS.
Ketika kru TV lokal mengunjungi townhouse Boyle, beberapa tetangga kaget bahwa kriminal kelas kakap bisa tinggal di perumahannya. Mereka ingat pernah berbincang singkat dengan Boyle soal Philadelphia Eagles dan remeh-temeh lainnya. Namun mereka yang benar-benar mengenal Boyle tidak terlalu kaget. Bagaimanapun, ini bukanlah aksi perdananya.
Menurut dokumen-dokumen persidangan, riwayat kriminal Boyle bermula pada 2007, ketika dia ditangkap di Pennsylvania barat karena mencuri tas seorang perempuan sembari bekerja sebagai fotografer pada sebuah upacara wisuda, lalu menggunakan kartu kredit perempuan itu untuk membeli merchandise senilai ratusan dolar, yang membuatnya kemudian ditangkap.
Pada 4 Maret tahun itu, Boyle berjalan memasuki bank lima kilometer dari rumahnya dan—tanpa pistol ataupun topeng—dengan sopan meminta teller memberikan uang tunai, ujar jaksa. Dia kabur dengan uang hampir USD 3,500 (sekitar Rp46 juta). Sembilan bulan selanjutnya, dia merampok tujuh bank lain, berjarak tidak lebih jauh dari 41 kilometer dari tempat tinggalnya, dan dengan cara yang sama. Jarahan terbesarnya berjumlah USD 38,000 (sekitar Rp506 juta), satu hari setelah Natal. Namun, aksinya setelah itu adalah yang terakhir, setidaknya untuk beberapa saat. Pada 12 Februari 2008, para saksi mencatat plat mobil BMW yang dikendarai Boyle untuk kabur dari bank di Bucks County dengan uang tunai USD 11,000 (sekitar Rp146 ribu), dan dia ditangkap tak berapa lama di hari yang sama.
Videos by VICE
“Perampokan bank pada beragam jurisdiksi FBI sebetulnya bukan prioritas; bahkan mungkin menjadi perkara paling tidak diprioritaskan yang diurus FBI.”
Boyle mengaku telah melakukan delapan perampokan dan meraup lebih dari $100.000 (sekitar Rp1,3 Miliar). Namun, meski catatan kejahatannya lumayan panjang. Kasus Boyle hanya diproses di pengadilan lokal, alih-alih pengadilan federal. Boyle—yang mengaku bersalah atas 24 tindak kejahatan dan dituntut 160 tahun penjara—divonis tiga setengah tahun mendekam dalam penjara negara bagian. Hakim yang memberikan vonis tersebut mengaku putusan tergolong ringan. Sang hakim menyaksikan sendiri Boyle meminta maaf sambil terisak kepada keluarga para korban dalam sidang pembacaan putusan hakim. Permintaan maaf ini dibuat oleh Boyle salah satunya lantaran Boyle tidak menggunakan senjata api saat merampok, seperti yang dilansir beberapa surat kabar setempat waktu itu.
Pada bulan Agustus 2011, Boyle dibebaskan dari penjara, beberapa bulan setelah mengaku pada parole board bahwa “saya merampok bank pertama kali karena takut kehilangan rumah. Tapi, aku yakin sekali kasus perampokan itu umumnya dilatarbelakangi kemalasan dan ketamakan.”
Lantaran dihantui restitusi sebesar US$100.000 (setara Rp1,3 miliar) dari bank yang dia rampok dan tercancam diusir dari rumahnya pada bulan Mei 2012 karena menunggak iuran rumah sebesar $9.000 seperti yang diungkap oleh Jaksa pada tanggal 8 Juni 2012, Boyle mengenakan topeng, topi jerami dan kembali ke pelukan dunia kriminal. Boyle merampok sebuah bank 22 km dari rumahnya dan menggondol uang senilai US$50.000 (setara Rp665 juta).

Sosok Bandit Topi Jerami tertangkap kamera CCTV. Foto oleh FBI.
“Yang terjadi adalah ketika Boyle masuk penjara, dia justru menyempurnakan keahlian merampoknya,” tutur Bill Rehder seorang mantan agen FBI yang menghabiskan dua dekade karirnya mengawasi kerja Bank Robbery Squad FBI di Los Angeles. “Semua napi berbagi informasi, sebab apa lagi coba yang bisa kita bicarakan di dalam penjara? Saya yakin dari sinilah Boyle sadar sebesar apa uang yang bisa dia kumpul dari satu perampokan dan bagaimana mengatur frekuensi perampokan.”
Rehder, yang kini bekerja sebagai konsultan keamanan bagi perusahaan finansial dan pernah disebut sebagai “senjata rahasia Amerika Serikat dalam memerangi perampokan bank” oleh CBS, mengataan bahwa seorang perampok yang melakukan aksinya pada satu teller tanpa menggunakan senjata akan membawa pulang uang sebesar $2.000 (setara Rp26 juta) sampai $2.500 (setara Rp33 juta). Tapi seorang bandit yang nekat menyandera satu bank bisa meraup uang tunia sebanyak $25.000 (setara Rp330 juta) atau bahkan lebih sembari “menebarkan ketakutan pada semua orang,” kata Rehder.
Selepas penjara, Boyle lulus sebagai seorang perampok yang lebih metodis dan piawai menebar teror dalam aksinya. Menurut penyidik yang menanganis kasus Boyle, sang perampuk bertopi jerami ini kerap memaksa pengunjung dan pekerja bank tiarap atau menggiring mereka ke ruang belakang di bawah ancaman senjata. Boyle juga makin berani memaksa karyawan membuka brangkas uang dan menarik sejumlah uang dari ATM. selepas mendapatkan uang dalam jumlah yang sangat besar, Boyle tahu diri. Dia bakal menghilang dari peredaran bahkan sampai enam bulan lamanya. Contohnya, setelah menggondol uang sebanya $90.000 (setara Rp1,1 miliar) pada tahun 2015, Boyle dengan sabar menunggu sampai setengah tahyun sebelum beraksi kembali.
Selama rangkaian perampokan keduanya, menurut penyidik, Boyle menjalankan skema pencucian uang haramnya melalui Sky Eye View, sebuah bisnis bodong yang bergelut di bidang fotografi drone. Pada petugas parole, Boyle berbohong bahwa unit bisnisnya menghasilkan untung “lumayan.” Pada kenyataannya, sepanjang sejarahnya Sky Eye View cuma menghasilkan $2.000 (setara Rp26 juta).
Meski dikenal sebagai perampok bertopi jerami, Boyle tak lantas dicokok karena mahkotanya yang khas. Menurut FBI, Boyle punya kebiasaan unik menelepon 911 sebelum beraksi untuk mengacaukan konsentrasi polisi. Menurut Rehder, besar kemungkinan, kebiasaan ini adalah hal yang dipejari Boyle selama mendekam dalam penjara. Agen FBI akhirnya berhasil menelusuri panggilan 911 dan dari situlah keberadaannya terbongkar.
Juru bicara FBI menolak membeberkan detail investigasi terhadap Boyle—termasuk apakah FBI sudah menaruh kecurigaan ketika rangkaian perampokan “Bandit Topi Jerami” mulai terjadi lantaran Boyle adalah mantan narapidana pelaku perampokan di kawasan yang sama.
‘Tebakan saya sih kalau FBI benar-benar mencurigai Boyle dari awal, mereka akan dengan ketat mengawasinya. Dari pengamatan saya sih, sepertinya tidak begitu kondisinya.” ujar Rehder. Lagipula menurut Rehder perampokan—pasca insiden 9/11—bukan lagi jadi priorita utama FBI. “Perampokan bank di berbagai wilayah juridiksi sudah mulai kurang diutamakan. Kasus-kasus perampokan adalah prioritas kesekian FBI saat ini.”
Meski begitu, Boyle—yang mengaku tak bersalah selama diperiksa—kini didakwa oleh pengadilan federal Amerika Serikat atas sekian kasus perampokan. Dia terancam divonis 232 penjara jika terbukti bersalah. Artinya, Boyle punya waktu panjang untuk kembali menuntut ilmu perampokan di penjara. Tentu saja, kerugiannya Boyle mustahil bisa keluar dari bui untuk mengamalkan ilmunya.
Follow Michael Goldberg di Twitter .
More
From VICE
-
Screenshot: Megabit Publishing, rokaplay -
Screenshot: id Software -
Greg Doherty/Getty Images for Revolve -
Screenshot: Sony