Ajang MMA paling bergengsi Ultimate Fighting Championship (UFC) sempat ramai diperbincangkan lantaran bosnya, Dana White, bersikukuh tetap melangsungkan laga di tengah pandemi. Setelah memutar otak, dia akhirnya memutuskan untuk menggelar acara di lokasi bebas COVID-19. Tak sedikit yang meragukan rencana White dan mengira dia hanya membual. Tapi, pengusaha itu benar-benar mewujudkannya.
Pada 9 Juni, UFC mengumumkan pemerintah Uni Emirat Arab telah memberikan izin untuk menjadikan Pulau Yas di Abu Dhabi sebagai tempat pertarungan. Ajang tersebut dijadwalkan berlangsung selama dua pekan, mulai 11 hingga 25 Juli. Dari situlah istilah “Fight Island” muncul.
Videos by VICE
Idenya terlalu gila, bukan? Mana mungkin rombongan petarung bisa sampai ke pulau itu sedangkan sebagian besar negara telah memberlakukan larangan bepergian. Siapa pula yang akan menonton pertandingannya di sana? Kalaupun jadi, apakah keamanannya terjamin? Bagaimana White bisa memastikan semua yang berkunjung sehat walafiat hingga mereka pulang ke rumah masing-masing?
Tapi, apa sih yang tidak mungkin buat White? Jika dia sudah bersabda, maka terjadilah.
Gelaran UFC tahun ini menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Hanya penerima undangan yang dapat menghadiri kompetisi tersebut. Dengan kata lain, kalian tidak bisa sembarangan mendatangi Pulau Yas.
Aku menjadi salah satu dari segelintir orang yang menerima undangan. Jadi begini ceritanya, Australia mengirimkan seorang petarungnya ke Fight Island, tapi tak ada satupun jurnalis olahraga yang diizinkan meninggalkan negara mereka. Berhubung aku tinggal di luar negeri, makanya aku diminta menjadi perwakilan media Australia.
Aku membatin, tontonan macam apa sih yang bakalan disuguhkan di sana? Usai mengepak barang, aku langsung cabut ke bandara.
Bepergian di tengah pandemi jauh lebih ribet dan penuh ketidakpastian. Aku sempat khawatir tidak diizinkan terbang, mengingat visa Abu Dhabi saja tidak punya. Ternyata aku salah besar.
Bermodalkan hasil tes negatif dan surat sehat, aku menghampiri konter check-in dan bertanya: “Fight Island?”
Aku lolos begitu saja. Mereka menganggukkan kepala, lalu menukar tiket ekonomi menjadi kelas bisnis. Urusan imigrasi “sudah ditangani” katanya.
Aku diperlakukan bak seleb di dalam pesawat. Rupanya awak kabin sudah tahu kalau ada yang ingin pergi ke Fight Island. Setibanya di Abu Dhabi, aku dijemput bus berbeda dan dikawal melewati pintu belakang imigrasi. Setelah pasporku distempel, aku digiring staf bandara menuju SUV hitam yang sudah menunggu kedatanganku. Rombongan polisi mengawal perjalananku ke Pulau Yas.
Rasanya seolah-olah aku adalah manusia terakhir yang akan berjuang melawan pasukan zombie di Fight Island. Ibaratnya pandemi mendorong umat manusia ke ambang kehancuran, sehingga hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk untuk menyelamatkan semuanya. Pasukan militer berpatroli di sekitar perbatasan “zona aman”.
Sesampainya di hotel, aku baru diizinkan keluar mobil setelah petugas yang mengenakan APD selesai mensterilkan barang bawaanku. Mereka kemudian menembakkan termometer inframerah ke kening untuk mengecek suhu. Aku diantar ke kamar begitu hasilnya menunjukkan aku baik-baik saja.
Semua pengunjung wajib menjalani karantina selama 48 jam, dan hanya diperbolehkan meninggalkan kamar untuk melakukan tes COVID-19. Hasil pemeriksaan menyatakan diriku sehat, dan dari situ aku bebas berbaur dengan para tamu (promotor, panitia, petarung dan jurnalis) dan berjalan-jalan di sekitar lokasi.
Di sana ada lapangan golf, lintasan balap F1, pantai dengan fasilitas jet ski dan lapangan voli pantai yang bisa dinikmati dalam cuaca panas, sekitar 47 derajat.
Kedengarannya memang berlebihan. Segala kemewahan dan keamanan eksklusif yang tersedia meninggalkan kesan Fight Island sebenarnya merupakan strategi pemerintah mempromosikan UEA sebagai destinasi liburan begitu pandemi berakhir. Ajang MMA yang disiarkan di seluruh dunia sekaligus menjadi iklan bahwa Uni Emirat Arab menyimpan lokasi bebas COVID-19, dan negara mampu mengendalikan virus (meski kenyataannya ada lebih dari 61.000 kasus aktif di sana).
Harus diakui pengalaman ini sangat menarik. Namun, betapa disayangkan kebolehan para petarung cuma disaksikan segelintir wartawan dan panitia UFC saja, padahal mereka telah berlatih keras mengasah teknik dan kekuatannya untuk bersaing dengan lawan.
Kompetisinya diadakan dalam sebuah tenda besar megah, karena cuaca yang terik tidak memungkinkan pegulat MMA bertarung di luar ruangan. Totalnya ada 26 petarung yang mengikuti kejuaraan ini. Mereka bersiap-siap entah di mana sambil menunggu giliran memamerkan kehebatannya di atas arena Octagon.
Tak ada sorak-sorai dan keriuhan yang menandai dimulainya acara. Pertunjukan olahraga ini amat berbeda dari biasanya. Tanpa teriakan penonton, aku bisa mendengar setiap hantaman dan jotosan yang dilayangkan petarung. Suasana begitu hening ketika salah satu dari mereka KO. Cuma ada suara badan yang jatuh menabrak lantai, dan lambaian tangan wasit yang menandakan pertarungan sudah selesai.
Aku baru kepikiran betapa mustahilnya acara ini setelah KO kedua. Paling cuma ada 50 orang di pulau tertutup ini, dan kami berada di sana untuk menyaksikan atraksi gladiator modern. Kok ya aku bisa sampai sini? Pertarungan demi pertarungan tak pernah gagal membuatku terperangah kagum. Tak terasa acaranya berakhir juga. Tiga petarung dinobatkan sebagai juara dunia. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi ketika kami keluar dari arena. Daripada langsung tidur, mending juga minum-minum dulu di bar hotel.
Entah berapa biaya yang dikeluarkan UFC untuk menyewa pulau, menerbangkan ratusan orang, menyediakan penginapan dan menggelar acara. Mereka pasti bekerja sama dengan pemerintah lokal yang mengelola maskapai penerbangan, pulau, serta pasukan polisi dan militer.
Seperti yang dikatakan White, “Fight Island mahal dan gila abis. Acaranya hampir mustahil diadakan.” Perhelatan super langka ini tampaknya memang paling cocok diselenggarakan di Abu Dhabi.
Dunia tanpa COVID-19 sungguhan ada hanya untuk tiga minggu saja, dengan jumlah manusia yang tidak sampai 2.000 orang. Apakah ini gladi resik sebelum akhir zaman, iklan pariwisata UEA, atau keuntungan bagi UFC? Apapun itu, Fight Island bisa menggambarkan bagaimana sebaiknya melakukan perjalanan dan mengadakan acara di tengah pandemi, seandainya solusi mengatasi COVID-19 tak kunjung ditemukan.
Waktuku di Fight Island sudah habis. SUV hitam kembali mengantarkanku ke bandara Abu Dhabi, yang lagi-lagi dikawal polisi. Setibanya di sana, petugas menyerahkan tiket kepadaku. Kali ini dapat kelas ekonomi.
Follow Peter di Instagram dan Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.