Jika menyimak pidato-pidato pejabat, ataupun politikus yang berniat jadi pejabat, tampaknya ada tren baru: tren menakut-nakuti kemungkinan Republik Indonesia terancam bubar di masa mendatang. Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya, bukan yang pertama kali melakukannya (jenderal lain sudah duluan menebar cerita-cerita seram saat keliling berbagai kampus di Indonesia). Meski begitu, pidato Prabowo Maret lalu segera menjadi bahan perdebatan. Prabowo, menyitir “kajian” dari luar negeri, memprediksi negara kesatuan yang kita tinggali ini kemungkinan bubar pada 2030. Njir, tinggal 12 tahun lagi. Belakangan, setelah dibedah media massa, salah satu inspirasi Prabowo saat menyusun pidato tersebut adalah novel fiksi ilmiah berjudul Ghost Fleet: A Novel of the Next World War.
Lepas dari kontroversi pidato Prabowo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar, ikut memberi prediksi walau tak ramai diliput media. Dia menegaskan Indonesia bakal kesulitan memproduksi minyak bumi dalam waktu dekat. Pangkal masalahnya: cadangan minyak yang terbukti di Tanah Air hanya tersisa 3,3 miliar barel. “Mungkin (berhenti berproduksi) dalam 11-12 tahun ke depan, karena produksi akan turun,” ujarnya di hadapan awak media. Efeknya bahkan sudah terasa mulai 2019. “Tahun depan, (produksi minyak) mungkin turun menjadi 700 ribu bph dan seterusnya.”
Videos by VICE
Tunggu dulu. Kalau prediksi Tahar dalam rentang 12 tahun, artinya momen itu barengan dong sama ramalannya Om Prabowo? Waduh, 2030 Indonesia beneran bubar nih?
Enggak juga sih.
Siapa tahu ada yang sempat membaca berita soal komentar Arcandra kemudian panik, VICE akan menjelaskannya secara lebih mudah bagi kalian (tapi agak panjang ya).
Seperti sudah disebut Wamen ESDM sebelumnya, Indonesia saat ini memiliki cadangan minyak terbukti (artinya beneran ada setelah diteliti dan digali) sebesar 3,3 miliar barel. Masalah baru muncul kalau tidak ditemukan sumur minyak baru. Negara kita masih punya kandungan minyak, tapi lokasinya di mana itu yang jadi pekerjaan rumah para ahli. Katakanlah prediksi Arcandra akurat. Sampai 12 tahun ke depan negara maupun swasta gagal menemukan sumur minyak baru di nusantara, baru tuh Indonesia benar-benar tak punya pasokan minyak dari dalam negeri. Kita terpaksa 100 persen mengimpor BBM supaya listrik, mobil, motor, plus nyaris seluruh aspek kehidupan sehari-hari tetap berjalan normal. Artinya, tak punya BBM hasil produksi sendiri bukan masalah krusial sih, paling cuma malu mengingat Indonesia tiga dekade lalu adalah salah satu produsen minyak terbesar dunia.
Kalau kalian baru mengetahuinya sekarang, mungkin masih ada sedikit rasa panik. Rileks, bro dan sis. Faktanya, Indonesia memang bukan lagi produsen minyak. Negara kita sejak 2004 sudah menjadi net importer BBM untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Fakta lainnya, ramalan cadangan minyak terbukti habis bukan barang baru. Berulang kali pejabat pemerintah menyampaikan prediksi yang bikin orang awam dag-dig-dug. Prediksinya juga gonta ganti terus, kadang 11 tahun lagi, kadang 12 tahun lagi tergantung mood. Mari kita ingat momen 2012, saat Menteri ESDM kala itu Gusti Muhammad Hatta meramalkan Indonesia sudah akan kehabisan minyak dalam kurun waktu 10 tahun, yang berarti pada 2022. Prediksi ini lantas berubah pada 2015. Saat itu, disebutkan kalau Indonesia bakal kehabisan minyak dalam jangka waktu 11 tahun—yaitu 2026—itu juga kalau pemakaian minyak dalam negeri konstan sebesar 800 ribu barel per hari. Realitanya angka konsumsi per hari sudah 1,6 juta. Makanya, impor pun tetap butuh didukung pasokan dari cadangan sumur minyak baru.
Masalahnya nih, mengabaikan pandangan pesimis soal minyak kurang bijak. Toh, memang ada basis ilmiahnya. Minyak kita yang betulan sudah ketemu dan dieksploitasi tinggal sisa sedikit. Kalau Indonesia jadi negara yang sepenuhnya mengandalkan minyak impor, efeknya pasti kerasa ke kalian-kalian juga. Ingat selalu, minyak merupakan tulang punggung nyaris seluruh hidup kita. Mulai dari lampu, mobil, sampai kantong plastik, semua bisa ada berkat minyak. Bila mengandalkan 100 persen impor, maka perekonomian kita rentan dipengaruhi harga dunia. Harga per barel melonjak dikit aja, buntutnya sampai ke mana-mana. Harga sayur, telur, dan daging di pasar juga pasti ikut naik.
Plus, efek buat nilai tukarnya yang pasti ngefek berat banget, baik itu buat negara juga ke rakyat biasa. “Kalau impor BBM-nya besar, ya ketersediaan dolarnya harus besar. Hubungannya dengan nilai tukar pasti. Kondisi itu kan melemahkan nilai tukar. Ketika nilai tukar lemah, harga barang juga akhirnya mahal,” kata Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, saat dihubungi VICE Indonesia. Makin tinggi harga minyak, sebetulnya makin ciut nilai tabunganmu yang dalam Rupiah itu.
Senada dengan Pri, Komaidi Notonegoro dari ReforMiner Institute mengingatkan ketahanan nasional melemah, ketika cadangan minyak baru tak kunjung ketemu. Sangat mungkin Indonesia bakal lesu darah, ketika tak segera menemukan cadangan sumber minyak anyar untuk menyokong perekonomian nasional (kecuali kita sudah berhasil lepas sepenuhnya dari sistem ekonomi berbasis minyak dan beralih ke energi terbarukan).
“Sebuah bangsa itu kalau enggak punya energi itu otomatis akan menjadi bangsa yang mati ya. Kita khawatir pada titik tertentu kalau kita kalah saing dengan negara-negara yang lain untuk berebut energi, risiko [mati-red] itu akan sangat potensial terjadi,” kata Komaini kepada VICE.
Lagi-lagi, tenang dulu. Skenarionya tidak harus sesuram itu. Indonesia menurut pemerintah masih punya minyak, cuma belum ketemu saja. Nah, untuk menemukannya, butuh eksplorasi. Proses pencarian minyak biayanya tidak sedikit. Karena berbagai keruwetan di masa lalu, kegiatan eksplorasi di Tanah Air melambat drastis.
Di 2012, Indonesia mengongkosi BUMN maupun investor asing hingga US$1,3 miliar untuk melakukan eksplorasi lokasi blok migas anyar. Angka investasi tersebut menyusut hingga US$100 miliar pada 2016—penurunannya mencapai 92 persen.
Kenapa pemerintah, melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) tak menggenjot eksplorasi sebagai solusi? Sebenarnya upaya ke arah sana sudah dilakukan. Sepanjang 2017 ada 10 blok minyak potensial untuk dieksplorasi, di Sulawesi, Kalimantan, maupun Papua. Hanya lima yang berhasil menarik minat investor. Ditambah 24 blok minyak dan gas yang ditawarkan pemerintah tahun ini, maka sumur-sumur tersebut dapat mendatangkan pemasukan hingga US$200 miliar ke kas negara selama 10 tahun ke depan. Kalau laku lho. Untuk memuluskan niat tersebut, pemerintah sampai memangkas separuh regulasi dan perizinan sektor hulu migas.
Belum jelas apakah investor akan tetap tertarik. Tata kelola Indonesia dianggap tak kompetitif, disebabkan oleh UU Migas yang terus berubah, perizinan ribet, hingga ketidakpastian pajak yang dipandang menambah tinggi risiko investasi untuk eksplorasi di negara ini.
“UU Migasnya bermasalah, turunan dari masalah UU migas ini kan kemudian ada ketidakpastian urusan pajak, ketidakpastian urusan perizinan, ketidakpastian perpanjangan kontrak. Muaranya ketidakpastian semua,” kata Pri. “Jadi siapa [investor] yang mau? Makin sedikit pasti.”
Mengingat blok yang ditawarkan ada di wilayah-wilayah dengan infrastruktur minim, seperti Kalimantan dan Papua, maka tawaran eksplorasi pemerintah kepada perusahaan migas tambah tidak menarik. Ongkos mencari sudah mahal, kalaupun ada masih harus keluar uang lagi untuk membangun infrastruktur pengeboran sampai distribusinya kelak.
“Investasinya tentu jauh lebih mahal dibandingkan investasi di wilayah Indonesia barat, karena memang secara infrastruktur, wilayah Indonesia timur relatif jauh tertinggal,” kata Komaidi.
Fiuuhh. Lumayan panjang ya. Bisa disimpulkan, minyak bukanlah masa depan bangsa ini. Solusi buat Indonesia adalah beralih ke sumber energi terbarukan. Pemerintah berambisi menggenjot pasokan energi terbarukan—semisal panel surya, geothermal, atau angin—hingga 23 persen pada 2025. Angka riilnya sesuai data 2016 baru 7,7 persen. Lagi-lagi, rencana bagus itu masih jauh panggang dari api. Baru tiga dari 34 provinsi yang sudah menuntaskan draf rencana umum energi di daerahnya.
Kalian boleh sedih. Bakal lebih baik lagi jika fokus anak muda mendorong pemerintah serius beralih ke energi terbarukan. Sebab, yakinlah, minyak memang masa lalu.
Skenario terburuk memang pasti ada, apalagi jika kita bicara minyak, tetapi bukan berarti semudah itu Indonesia ‘bubar’ seperti diwanti-wanti para politikus. Peneliti ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhy menyebut Indonesia tak perlu khawatir runtuh pada 2030 gara-gara isu energi. Sebab, pendapatan negara tak semuanya bertumpu pada sektor migas dan sudah mulai dominan di sektor non-migas yang kontribusinya mencapai 20,65 persen dari total PDB nasional—tertinggi dibandingkan sektor ekonomi lainnya.
“Kalau misalnya nanti cadangan minyak menurun lalu habis, Indonesia sudah siap. Tidak akan bubar pada 2030,” kata Fahmi kepada VICE. Menurutnya, apa yang disampaikan Arcandra tentang menipisnya candangan minyak bumi Indonesia dapat diambil sebagai imbauan dan pengingat kalau Indonesia bukan lagi negara penghasil minyak. “So far so good, Indonesia lebih siap kok kalau [minyak] habis.”
Jadi jangan keburu harap-harap cemas merencanakan masa depan hidup di Indonesia sampai 12 tahun ke depan.