Kita kerap menyalahkan diri sendiri ketika gagal mewujudkan apa yang sangat diinginkan. Kita merasa bodoh karena tidak dapat mengantisipasi dan menghindari kegagalan. Kebiasaan ini jelas tidak bagus, terlebih lagi jika kita melakukannya kepada orang lain.
Banyak dari kalian yang suka menyalahkan perbuatan seseorang atas kekurangan yang mereka miliki, baik itu secara ekonomi, akademi maupun profesional. Contoh yang paling sering kita jumpai adalah menganggap orang bisa miskin karena malas. Padahal, masalah kemiskinan jauh lebih kompleks dari sebatas malas tidaknya individu.
Videos by VICE
David Kinney, ahli epistemologi yang mendalami teori-teori sistem kompleks, menganggap sudut pandang ini sangat salah dari perspektif matematika.
Sebagaimana terungkap dalam esai terbarunya, teori matematika menjelaskan bahwa individu yang memiliki niat baik tak sepantasnya disalahkan saat mereka menghadapi situasi tak terduga yang mengubah rencananya. Kinney mengambil contoh sopir taksi yang dipecat. Pemecatan ini tak melulu salahnya. Sang sopir terjebak dalam sistem kompleks di luar kendalinya — perusahaan, modal, hukum dll — sehingga tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari.
“Saya sering menggunakan perangkat matematis… untuk memikirkan cara kerja kepercayaan manusia terhadap pengetahuan dan juga batasannya,” kata Kinney saat diwawancarai Motherboard. “Ada semacam batasan pengetahuan atau epistemik ketika seseorang disalahkan atas kemalangan yang mereka hadapi.”
Itu artinya bukan salah kalian saat mengalami situasi sulit atau kegagalan, karena kalian tak pernah terpikir sebelumnya bahwa keputusan yang diambil akan dipengaruhi variabel lain (misal beli rumah sebelum krisis ekonomi). Kinney menggunakan teori kompleksitas komputasi untuk membuat pernyataan ini.
Kompleksitas komputasi adalah cabang ilmu matematika yang mempertimbangkan bagaimana sumber daya, seperti memori komputer atau daya komputasi, memengaruhi algoritma. Ilmuwan komputer dapat membuat prediksi probabilistik tentang efisiensi algoritma yang berbeda jika memahami seperti apa distribusi sumber daya dan variabel lain yang berinteraksi. Menurut Kinney, segalanya akan menjadi kacau jika kalian menerapkan pola pikir yang sama seperti ini ke dunia nyata.
Dia berujar, akan semakin sulit untuk bangkit dari keterpurukan (algoritma) ketika hal-hal tak terduga (variabel) terus berdatangan. Tidak ada solusi yang masuk akal sehingga penyelesaiannya menjadi mustahil.
Ilmuwan komputer menyebut masalah semacam ini “NP-hard”, mengacu pada fakta bahwa masalahnya tidak dapat diselesaikan dalam waktu polinomial, yang kira-kira seumur hidup alam semesta.
Kinney mengutarakan, kalian baru bisa menyalahkan seseorang atas kemalangan mereka begitu kalian benar-benar memahami variabel yang selalu berubah, seperti politik, inovasi dan ekonomi. Sayangnya, kompleksitas komputasi menunjukkan hal itu mustahil terjadi.
Kalau begitu, apakah kita memang ditakdirkan untuk membuat keputusan “buta” yang berpotensi merugikan? Belum tentu.
Kalian membutuhkan sumber daya yang lebih besar, seperti waktu atau uang, untuk memastikan kalian bisa menghadapi hal-hal tak terduga dengan lebih baik. Kinney melihatnya sebagai contoh klasik untuk tidak memfokuskan segala sesuatunya pada satu hal saja. Tentunya tak semua orang memiliki privilese seperti ini.
Kinney berpandangan tindakan kelompok bisa menjadi solusi yang baik untuk melindungi individu dari kemalangan dan cercaan yang mungkin mereka terima karenanya.
“Pada tingkat individu, [penting bagi kita] untuk memanfaatkan apa yang bisa kita lakukan sebagai kolektif dan secara bersama-sama,” tuturnya. “Dengan begini, kita mampu menghindari risiko yang tak mungkin bisa kita hindari saat melakukannya sendiri.”