Arthur Harahap adalah manusia multitalenta, hidup di Indonesia, tapi tidak akan pernah kalian dengar namanya atau kalian temukan di buku-buku sejarah. Ada banyak versi cerita yang mengklaim tahu siapa sebenarnya sosok Arthur. Sebagian orang menyebut dia seorang penulis, ada yang bilang nama ini milik pengangguran yang patut dikasihani, bahkan informasi lain menuding dia sekadar juru masak restoran padang.
Sabda Armandio, penulis yang pertama kali memperkenalkan sosok Arthur melalui postingan blog pribadinya dan beberapa kali seri cuitan di Twitter, mengaku sampai sekarang masih belum sepenuhnya paham siapa sebenarnya Arthur. Setidaknya, dia kini cukup yakin menyebut Arthur adalah penulis yang tak ingin karyanya dibaca orang lain.
Dia semacam penulis yang terus menghasilkan karya bagus, tapi tak seorangpun membacanya. Bila kalian percaya ada manusia seperti itu di dunia, maka kalian harus meyakini sosok Arthur Harahap benar-benar nyata. Penulis seperti Arthur Harahap disibukkan oleh upaya tragis meningkatkan kualitas tulisannya: mendekam berhari-hari di kamar merombak cerpen atau novel yang dia anggap bagus, mencari pola dan hal-hal yang membuat cerpen atau novel enak dibaca, tapi karenanya kesibukannya itu akhirnya dilupakan orang lain. Arthur Harahap bisa jadi tetanggamu, atau orang yang kamu tak sengaja temui di dalam metromini. Arthur Harahap adalah seseorang sekaligus semua orang.
Dio, panggilan akrab Sabda Armandio, tak pernah secara terbuka menyebut Arthur Harahap sebagai karakter alter egonya. Setidaknya dalam sebuah wawancara, penulis kelahiran Tangerang 18 Mei 1991 ini menyebutkan pandangan pribadinya yang menyerupai Arthur Harahap. “Saya pikir mungkin memang naskah saya tidak layak untuk dicetak dan diperbanyak.”
Dio sangat rajin menulis berbagai macam fiksi: horor, fantasi, kisah sureal nihilis, hingga menerjemahkan sastra mancanagara dari Ryu Murakami hingga Etgar Keret. Dia pun memiliki sinisme cukup besar pada para fanatik agama dan kaum intoleran sejenis. Sayang, kebanyakan naskah Dio tak pernah beranjak dari folder komputer pribadinya. Sebagian kecil saja yang beruntung bisa melihat dunia setelah muncul di blog atau zine bawah tanah. Dio bertahun-tahun enggan menempuh jalan lazim penulis sastra agar dikenal di Indonesia, mengirim naskah fiksi ke surat kabar atau ke penerbit. Cerpen–cerpennya, punya kekuatan yang dalam beberapa hal menyamai mutu karya sastra koran, tapi dia enggan mendatangi pembaca. Sampai akhirnya semua berubah ketika dua tahun lalu Dio menerbitkan novel pertamanya KAMU: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya yang segera disambut hangat penikmat fiksi Indonesia.
VICE Indonesia menemui sosok penulis muda enigmatik ini, memastikan kembali siapa sebetulnya Arthur Harahap. Hal ini perlu dilakukan, sebab Arthur memberi kata pengantar di novel terbaru Dio, 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif, yang tahun lalu meraih penghargaan Sayembara Manuskrip Novel Dewan Kesenian Jakarta. Dio sekaligus mengizinkan VICE memuat cuplikan naskahnya yang akan diterbitkan segera oleh Penerbit Buku Mojok.
Sudahlah mengaku saja. Arthur Harahap itu cuma tokoh rekaanmu kan?
Sabda Armandio: Arthur Harahap bisa jadi tetanggamu, atau orang yang kamu temui di dalam metromini. Hehe. Saat bikin dia aku membayangkan orang semacam itu. Namanya gabungan dari dua tokoh favoritku. Aku membayangkan mengumpulkan semua naskah yang dia buang, berpikir seperti dia, dan ternyata menyenangkan. Maka kuminta dia bikin pengantar.
Kamu beberapa kali menulis cerita mengenai karakter terjebak absurditas dunia modern di lanskap perkotaan. Kenapa sekarang beralih membuat cerita detektif?
Benturan antara novel detektif yang selalu menyimpan pesan moral ‘di suatu tempat di kota yang terkutuk masih ada orang-orang baik’ dan game-game jahat yang kumainkan, melahirkan pertanyaan ‘apa itu baik dan apa itu jahat?’ Hal itu semakin rumit saat aku membaca Beyond Good and Evil-nya Friedrich Nietzsche di usia 20 tahun. Semakin banyak buku yang kubaca semakin jauh pula jawabannya. Mengapa dalam sebuah cerita kebaikan harus selalu menang, bagaimana pun caranya? Dan seringnya kebaikan menang dengan cara mengada-ada: Tuhan mengirimkan azab kepada para pendosa atau tokoh jahat dibunuh dengan cara kejam oleh para pahlawan, dan sebagainya. Bukankah itu kejahatan dalam bentuk lain?
Belum ada sinopsis untuk ‘Gaspar’, kecuali beberapa cuplikan pendek saja. Mungkin yang betul-betul tahu jalan ceritanya hanya kamu dan juri sayembara novel DKJ. Bisa kamu jelaskan, secara umum novel ini bercerita tentang apa sih?
Saya ingin tahu apa itu ‘baik’? Hitler membasmi Yahudi atas nama kebaikan, Suharto melenyapkan orang atas nama kebaikan, motivator memberi kesadaran palsu kepada para pendengarnya atas nama kebaikan. Lalu, sekali lagi, apa itu ‘baik’? Gaspar lahir dari pikiran-pikiran seperti itu, terdengar serius, bukan? Padahal tidak. Yang kulakukan cuma memampatkan semua pikiran tadi secara serampangan ke dalam tokoh-tokoh di dalam novel Gaspar, dan mencampurnya dengan permainan ‘Kumbang Dalam Kotak’ ala Ludwig Wittgenstein. Semua itu melahirkan tokoh bertopeng dan berjaket naga yang ada di sampul novelnya.
Karater di novel ini mengendarai sepeda motor yang punya kesadaran bernama Cortazar. Ada hubungannya dengan sastrawan Argentina Julio Cortazar?
Dari era James Joyce hingga hari ini, banyak penulis menggunakan monolog interior. Tetapi baru Cortazar-lah, melalui cerpen-cerpen canggihnya di Blow Up and other stories dan novelnya Hopscotch, yang berhasil—setidaknya bagiku—mengubah kejadian sehari-hari yang biasa saja menjadi begitu misterius dan sekaligus mempertanyakan batas kewarasan kita. Jorge Luis Borges melakukan hal hampir mirip. Bedanya: Borges membuatku merasa tolol dan mengikis kepercayaan diriku saat membaca karyanya, sementara Cortazar tidak. Cortazar hanya bilang: “lemparlah kenyataan ke jendela, dan lemparlah jendelanya juga.” Perkataan itu yang menjadi benih karakter Cortazar di dalam novelku. Sebetulnya, selain Cortazar ada satu novel lagi yang kubaca serius saat menulis Gaspar, yakni Jealousy karya Alain Robbe-Grillet. Tetapi nama ‘Alain’ kurang mantap diucapkan dan ‘Robbe-Grillet’ terdengar seperti nama menu di restoran Perancis abal-abal. Jadi kuputuskan untuk memakai nama Cortazar, selain sebagai penghormatan kepada Julio Cortazar, juga nama Cortazar terdengar kejam dan nama itu cocok dengan cerita Gaspar.
Videos by VICE
Lantas apa alasanmu memberi nama tokoh utamanya Gaspar?
Aku tak pandai memilih nama, Gaspar misalnya, muncul karena kemalasanku saja. Saat sedang bingung menentukan nama tokoh utama, tiba-tiba aku teringat sutradara Gaspar Noé, nama itu kuucapkan keras-keras, kurekam dengan ponsel, dan kudengar sendiri, dan terdengar enak. Jadi kupakai saja.
Rancang sampul Gaspar terinspirasi sosok Ryan Gosling di film Drive ya?
Drive? Hahaha. Mungkin karena jaketnya, ya? Saat menulis Gaspar aku membayangkan saat usiaku 8 hingga 15 tahun. Di usia itulah aku menikmati cerita detektif seperti Trio Detektif, seri Detektif Cilik, Lima Sekawan, seri Agatha Christie, Sherlock, atau yang erotis seperti Nick Carter, karena cuma ada novel mereka di perpustakaan sekolah dan di rumah (kecuali Nick Carter yang kubaca di kamar kakakku). Di rentang usia itu pula pertama kalinya aku menonton film Akira dan main game Rise of the Dragon, Diablo, Strider 2, Front Mission 3, lalu bertemu game yang mengubah pandanganku terhadap dunia, SMT Nocturne, sampai game sejuta umat seperti WWF Smackdown dan Road Rash.
Aku membaca sekilas, ada karakter mengganggu di naskah barumu ini bernama Wan Ali. Adakah sosok yang jadi ilham awalnya?
Soal Wan Ali… Mungkin kau pernah pula bertemu dengannya: mereka ada dan terus beranak pinak, barangkali sampai 3.000 tahun mendatang. Aku pernah kenal orang seperti Wan Ali dan aku ingin mengirimkan kraken ke rumahnya. Seberapa sering niat jahat muncul di dalam kepalamu dan kau tidak bisa melakukannya karena kau sadar itu salah? Kesadaran, my love, adalah penjara yang amat menyebalkan sekaligus seksi.
Berikut Nukilan Novel ’24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif’ yang dimuat eksklusif di VICE Indonesia:
Betapa pun menyebalkan manusia, tetap saja ada sisi lucunya. Aku tidak mahir-mahir amat main catur, bahkan jarang berpikir visioner ketika berhadapan dengan bidak-bidak, meski begitu setahuku kuda, persetan apakah ia berwarna putih, hitam, atau toska sekalipun, akan selalu berjalan dengan langkah L. Awalnya kupikir aturan ini sudah tertulis di buku Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap dan umat manusia telah menyepakatinya, atau cuma Wan Ali yang tidak bersepakat atau cuma Wan Ali yang bukan manusia atau cuma Wan Ali yang sebenar-benarnya manusia di muka bumi, tidak tahulah, yang jelas ia melangkahkan kuda dengan mengambil lima kotak untuk membentuk huruf S. Dan ia melakukannya penuh kepastian, maksudku, sambil mengusap-usap jenggot tipisnya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku untuk meminta persetujuan.
Aku menjalankan kuda dan memakan pionnya dengan cara yang kuketahui. Semacam teguran halus, ia seharusnya menjalankan kuda seperti aku dan semua orang yang pernah bermain catur denganku dan semua pertandingan catur yang pernah kusaksikan. Ia malah marah-marah dan menuduhku antek liberal.
“Kautahu,” katanya, telunjuknya mengarah kepadaku.
“Langkah L itu sengaja diciptakan orang-orang kafir untuk menyisipkan paham Liberal. L untuk Liberalisme. Itu pesan yang sangat jelas. Kau jangan teperdaya muslihat murahan seperti itu.”
Ia mengoreksi langkah kudaku, mengembalikan pionnya yang hilang, dan mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pengandaian seekor tupai meski aku yakin aku tak terlihat seperti seekor pengerat. Aku cuma meletuk-letuk sambil berpikir betapa kecilnya diriku di dunia ini, betapa banyak hal yang tak kuketahui, dan betapa lucunya umat manusia sampai-sampai saat itu aku menyimpulkan secara serampangan bahwa tiap manusia memang dilahirkan untuk menjadi pelawak.
Sejak aku melangkahkan bidak putih untuk pertama kali hingga akhirnya aku diskakmat, ia terus mengoceh hal-hal konspiratif. Aku ingin bilang kepada Wan Ali bahwa sesungguhnya seluruh penduduk Bumi tahu dan terlibat langsung dalam konspirasi, kecuali Wan Ali. Bahwa kami bukan hanya mempercayai teori persekongkolan tetapi juga menjadi bagian di dalamnya, kecuali Wan Ali. Tetapi kuurungkan, aku tak tega membuat orang lain merasa nelangsa. Aku pun tak mendebat gaya main caturnya. Beberapa orang jadi menarik karena mempertahankan sifat polosnya. Saat kau kecil kau akan tampak imut setengah mati dengan kepolosanmu yang pelan-pelan berubah menjadi ketololan yang tentu tak kalah lucunya seiring usia bertambah. Tak perlu-perlu amat mengoreksi orang tolol, kukira, aku bisa menikmatinya seperti menikmati lenong atau komedi tunggal Rowan Atkinson.